Berlin (ANTARA News) - Pergeseran dari penggunaan bahan makanan untuk ketahanan pangan (food security) ke ketersediaan energi (energy security) melalui biofuel membawa dunia memasuki fase menentukan.
Apakah memberi "makanan" pada kendaraan dan pabrik jauh lebih bermakna daripada memberi makanan pada manusia.
Fakta yang muncul saat ini, memang mengindikasikan timbangan kepentingan lebih menguntungkan pada tujuan pertama daripada tujuan kedua.
Pembuktiannya pun sederhana, yaitu tinggal melihat bagaimana harga produk-produk agrofuel (produk pertanian sebagai sumber biofuel) membumbung di pasaran internasional, hingga pengusaha lokal "ngiler" dan lebih memilih mengekspor daripada melepas ke pasar domestik untuk kepentingan perut rakyat.
Menurut situs pasar Chicago per tanggal 29 Februari 2008, harga jagung untuk pengiriman dua bulan lagi (Mei) sudah mencapai 556,4 dolar AS per bushel. Sedangkan harga kacang kedelai untuk pengiriman pada bulan yang sama di pasar berjangka Chicago juga ikut-ikutan naik menjadi 1.536,50 dolar AS per bushel, dan harga minyak kedelai menjadi 68,820 dolar AS per pon.
Padahal menurut situs yang sama, kenaikan harga komoditas jagung dunia saat ini dibanding tahun lalu sudah mencapai 32,3 persen, harga produk kedelai naik 42,0 persen dan harga produk minyak kedelai sebesar 39,4 persen.
Belum lagi, produk agrofuel lainnya seperti tebu, yang menjadi produk andalan Brazil untuk memenuhi lebih dari 50 persen kebutuhan BBM domestik, semakin menjadi "produk mahal".
Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh ini, Indonesia sudah membanjiri produk kelapa sawit dan jagung ke pasar global untuk memenuhi kebutuhan energi dunia akan biofuel.
Sebagai negara yang dikenal memiliki keunggulan alam tanah yang subur, Indonesia memiliki banyak peluang untuk menggelontorkan hasil buminya dalam rangka memenuhi dahaga negara-negara industri di dunia akan energi yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Menyadari hal itu, pemerintah pun dengan gencar mendorong agenda pemanfaatan lahan-lahan kritis untuk tanaman jarak pagar (jatropha curcas).
Peluang besar juga dimiliki produk tebu yang cocok ditanam di beberapa wilayah di Indonesia, demikian pula singkong, aren dan lain-lain.
Momentum, di mana banyak negara di dunia membutuhkan energi dalam jumlah besar, dan semakin mahalnya bahan bakar fosil harus dimanfaatkan Indonesia dengan sebaik-baiknya.
Tetapi, tentu saja tanpa mengorbankan ketahanan pangan sehingga rakyat kelaparan, dan tanpa mengorbankan lahan hutan sehingga tidak berdampak pada lingkungan dan perubahan iklim (climate change).
Rekayasa genetika
Pakar Biofuel asal Inggris, Richard Warburton, mengemukakan bahwa selain pemanfaatan lahan-lahan kritis, negara berkembang seperti Indonesia seharusnya dapat mengembangkan teknologi rekayasa genetika (Genetically Modified Technology) untuk menghasilkan tanaman-tanaman agrofuel.
"Ini adalah saat yang tepat untuk merangkul teknologi rekayasa genetika, kecuali jika nanti muncul teknologi yang lebih mampu meningkatkan produksi secara signifikan," kata Warburton.
Diakuinya, memang banyak pihak yang menyangsikan teknologi tersebut karena rekayasa genetika masih menjadi hal yang kontroversial, terutama untuk menghasilkan bahan pangan bagi manusia, seperti yang terjadi di Eropa Barat.
"Para petani tradisional di sana sangat menentang karena bisa mematikan usaha mereka," ujarnya.
Menurut dia, mereka yang masih menentang teknologi itu masih belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah yang tengah berkembang di dunia, terutama tentang defisitnya bahan makanan akibat `demam biofuel.
Pilihan pemanfaatan teknologi rekayasa genetika untuk menghasilkan agrofuel juga menjadi perhatian Uni Eropa (EU).
Komisi Eropa, lembaga eksekutif UE, baru-baru ini menyampaikan ke Dewan Eropa, yang beranggotakan perwakilan dari anggota UE, sebuah proposal yang intinya mengizinkan penggunaan teknologi rekayasa genetika untuk memproduksi kacang kedelai (kode A2704-12) dan sutera (kode LL25) sebagai bahan makanan dan produk impor.
Meski belum ada tanggapan dari Dewan, proposal itu menyebutkan bahwa berdasarkan kajian yang dilakukan, teknologi tersebut tidak memiliki resiko apapun terhadap manusia atau hewan atau lingkungan.
Warburton juga mengingatkan, jika kebijakan menghasilkan makanan dengan rekayasa genetika diadaptasi oleh sebuah negara, maka yang terpenting adalah bagaimana menjaga agar tidak ada ruang bagi peredaran makanan hasil rekayasa genetika yang tidak memperoleh izin atau tanpa uji kesehatan.
Kebijakan pemerintah
Sementara itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Arief B. Witarto, mengatakan bahwa bagaimana adaptasi teknologi rekayasa genetika tersebut pada produk pertanian sepenuhnya bergantung pada kebijakan pemerintah.
"Untuk pemanfaatan teknologi rekayasa genetika, dukungan pemerintah sangat krusial untuk mendorong bioteknologi ini menjadi motor penggerak ekonomi kita di masa depan," katanya.
Meskipun demikian, dia mengusulkan agar penerapan teknologi rekayasa genetika itu lebih diarahkan pada tanaman pertanian non pangan untuk mengurangi pertentangan.
Dengan begitu, Indonesia bisa terhindar dari krisis pangan dan pada saat yang sama masih bisa kecipratan kue keuntungan dari "booming" biofuel di dunia.
Dalam workshop ilmiah beberapa waktu lalu di Cibinong, diuraikannya, terungkap fakta bahwa Jepang tengah memanfaatkan teknologi serupa untuk menghasilkan jamur yang bisa menghancurkan komponen-komponen lignoselulosa dan selulosa dari chip kayu sehingga bisa dihasilkan biofuel berbasis selulosa
"Akhirnya kembali lagi ke regulasi pemerintah yang tegas dan konsisten agar pengembangan teknologi dan upaya industri, bisa saling mendukung, malah tidak menyaingi," tukasnya.
Selain dukungan regulasi, tambahnya, pemerintah juga perlu menciptakan suasana yang kondusif untuk pengembangan bioteknologi di Indonesia, seperti dengan memberi informasi yang jelas, tepat dan tidak berpotensi menciptakan konflik di masyarakat.
"Jangan sampai masyarakat bertanya, aman atau tidak?" katanya.
Tarik menarik di dunia internasional mengenai pemanfaatan tanaman pertanian untuk bahan bakar nabati atau bahan pangan memang seharusnya bisa dimanfaatkan Indonesia, termasuk dengan pemanfaatan teknologi rekayasa genetika, ujarnya.
Indonesia tentu tidak ingin menjadi korban perang kepentingan negara-negara industri yang terus membutuhkan energi dalam jumlah yang semakin besar dan harga produk komoditas pertanian semakin mahal.
"Kita memang menikmati keuntungan dari semakin mahalnya harga CPO, tetapi kita juga terpukul oleh semakin mahalnya minyak goreng dan impor kacang kedelai yang menjadi bahan baku beberapa makanan pokok seperti tahu dan tempe," katanya.
Apalagi pada kenyataannya, keuntungan dari ekspor CPO hanya dinikmati segelintir pengusaha, sementara semakin mahalnya impor kedelai menjadi berita buruk bagi pemerintah dan masyarakat kecil.
Jika memang dibutuhkan, pemerintah dapat mengajukan rancangan peraturan tentang penerapan teknologi rekayasa genetika, apakah dapat diterapkan pada tanaman pertanian pangan atau hanya tanaman pertanian non pangan.
Tentu saja, ini artinya termasuk kebutuhan pembiayaan yang dibutuhkan untuk pengembangan teknologi tersebut, katanya menambahkan. (*)
Dari: Antara.co.id