Pentingnya keberadaan penyuluh pertanian lapangan (PPL) sejak tahun 1970-an sampai sekarang sudah tidak diragukan lagi. Mereka selalu menjadi garda terdepan tumpuan pemerintah untuk menyukseskan program-program di bidang pertanian. Sejak zaman program BIMAS (Bimbingan Masal) pada tahun 1970-an hingga program P2BN (Program Peningkatan Beras Nasional) di tahun 2000-an, PPL adalah tulang punggung harapan pemerintah sebagai eksekutor lapangan. Terlepas dengan betapa pentingnya peran PPL, marilah kita bersama-sama melihat kembali sejarah bagaimana pendekatan PPL dalam program-program pembangunan pertanian selama ini serta hasil/dampak dari program tersebut. Peninjauan kembali ini adalah sebagai upaya untuk mencari format pendekatan komunikasi PPL di masa yang akan datang sehingga dapat memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi petani.
Pada zaman BIMAS yang merupakan implementasi dari the Green Revolution di Indonesia yang bertujuan untuk mendongkrak produksi beras ditengah cekaman paceklik masa itu, PPL dengan berbagai cara mengupayakan agar petani mau melaksanakan paket program berupa benih padi baru, skema kredit untuk operasional dan paket penyuluhan. Pendekatan yang digunakan adalah model “training and visit” dimana PPL melatih petani kontak yang mana petani kontak tersebut diharapkan mampu mengajak petani yang lain untuk menerapkan paket teknologi. Dengan system top-down, komando dari pusat untuk peningkatan produksi beras harus dilaksanakan disemua wilayah menggunakan satu paket program tanpa memperdulikan perbedaan biofisik lahan dan kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat setempat. Anjuran PPL bahkan tidak jarang disertai dengan tekanan dan intimidasi dari aparat desa dan aparat keamanan (Van de Fliert & Roling, 2000).
Pendekatan PPL pada masa BIMAS menganut pola Transfer of Technology. Pola ini berasumsi bahwa teknologi hanya bisa dihasilkan oleh para ilmuwan di pusat-pusat penelitian dengan peralatan canggih. Petani dianggap bodoh, tidak rasional dan tidak berfikiran maju sehingga perlu dibimbing dan diajari oleh PPL. Untuk meningkatkan produksi pertanian mereka, hasil-hasil penelitian dari laboraturium perlu ditransferkan ke petani melalui PPL.
Lalu bagaimana hasil program BIMAS dengan pola top-down itu pada kehidupan petani? Tidak dapat dipungkiri bahwa program BIMAS memiliki andil besar mengantarkan Indonesia meraih gelar “Swasembada” beras pada tahun 1983, walaupun pada tahun-tahun berikutnya Indonesia harus terseok-seok mempertahankan status ini. Akan tetapi, disamping gelar swasembada beras yang disandang, program BIMAS dengan pola penyuluhan top-down meninggalkan banyak catatan pahit. Secara tidak langsung program ini menurut Manning (1988) telah menimbulkan ketimpangan dan kecemburuan sosial pada masyarakat pedesaan karena program tersebut cenderung menargetkan petani yang lebih mapan. Pertimbangannya adalah petani yang mapan cenderung lebih mudah diajak bekerjasama serta memiliki akses modal yang lebih mudah untuk menunjang pelaksanaan program. Dengan kata lain PPL akan lebih mudah memperlihatkan hasil kerjanya di lapangan dengan dengan membidik kelompok petani yang lebih mapan ini. Walhasil petani kecil dan marginal seringkali terlupakan dan tertinggalkan. Kehidupan mereka yang miskin semakin bertambah miskin.
Pada konteks bio-fisik pertanian, program top-down BIMAS ini juga memberikan pelajaran pahit yang mestinya kita jadikan acuan dimasa ini. Van de Fliert & Roling (2000) dengan tegas mengatakan Program BIMAS yang hanya menekankan pada peningkatkan produksi padi tidak disertai dengan peningkatan kapasitas analisa petani dan penggunaan pupuk dan pestisida. Akibatnya terjadi penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan, mengakibatkan pencemaran air, lingkungan dan perusakan keseimbangan hara tanah. Benih padi unggul yang digembar gemborkan oleh laboraturium canggih itu juga ternyata rentan terhadap hama wereng coklat jika dibandingkan dengan beberapa varietas lokal yang sudah ditanam oleh petani secara turun temurun. Namun karena gencarnya anjuran pelaksanaan BIMAS, varietas-varietas lokal yang seharusnya menjadi sumber plasma nutfah kita perlahan-lahan punah. Akibat serangan wereng ini, sebagian besar petani peserta program BIMAS gagal panen. Akibatnya petani tidak mampu membayar hutang kredit pupuk dan pestisida yang terlanjur dibeli sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk menanam benih varietas unggul baru tersebut.
Perilaku PPL pada masa BIMAS ini juga mendapat sorotan dari Van de Fliert (1993) dimana PPL seringkali mengambil keuntungan pribadi dari petani. Banyak PPL menganjurkan petani untuk membeli pupuk dan pestisida sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan komisi dari distributor pupuk, walaupun sebenarnya pupuk tersebut tidak akan bermanfaat untuk petani. Bila terjadi gagal panen, PPL akan berusaha lagi mempengaruhi petani mengambil kredit untuk membeli benih baru dengan paket pupuk dan pestisida yang dianjurkan. Demikian seterusnya hingga akhirnya petani tidak mampu lagi bercocok tanam karena terbelit hutang yang ciptakan oleh sebuah program yang katanya akan mampu mensejahterakan petani.
Dari pengalaman pahit itu, banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Program berdana besar yang meninggalkan hutang bagi Indonesia itu sudah membuktikan bahwa program standar dengan pola top down tidak akan bias efektif diterapkan untuk semua lapisan petani. Masing-masing petani memiliki kondisi sosial, ekonomi, budaya, system pertanian dan permasalahan yang berbeda-beda yang tidak akan mungkin diselesaikan oleh satu paket program standar. Program BIMAS juga sudah mengajarkan bahwa asumsi petani itu bodoh dan tidak rasional adalah sebuah kesalahan besar. Terbukti benih unggul baru yang digembar gemborkan oleh peneliti justru tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi bio-fisik setempat, dibandingkan dengan benih lokal. Hal ini sudah diketahui oleh petani yang sudah turun temurun melakukan pengamatan dan penelitian sendiri. Hasil penemuan benih unggul di IRRI (International Rice Research Institute) pun 90% berasal dari pengalaman yang didapatkan oleh peneliti ketika berinteraksi dengan petani-petani di desa dan dusun di Asia Tenggara (Rhoades, 1991). Namun seringkali arogansi sebuah program dengen semena-mena mengikis habis pengetahuan dan kearifan-kearifan lokal yang diwariskan oleh “papuk balok”. Pelajaran yang tak kalah pentingnya dari BIMAS adalah bahwa PPL tidak bisa lagi menggunakan pola komunikasi satu arah dimana hanya PPL yang menyampaikan informasi untuk didengarkan dan dituruti sementara petani sebagai pendengar dan penurut. Banyak ilmu dan pengalaman yang dimilki oleh petani yang seharusnya bisa menjadi bahan bertukar fikiran oleh PPL. Menurut Farrington (1989), PPL yang datang ke petani dengan memasang style “sang ahli” untuk mengatasi permasalahn petani kemungkinan besar akan kehilangan muka. Karena ada kecenderungan besar petani untuk memodifikasi sebagian atau keseluruhan dari informasi teknologi yang disampaikan guna disesuaikan dengan situasi, kondisi dan domisili mereka.
Pola PPL sebagai “sumber informasi untuk memecahkan masalah petani” sudah ditinggalkan oleh banyak Negara lebih dari 20 tahun yang lalau karena sudah terbukti tidak efektif membawa perbaikan kesejahteraan petani. Sudah saatnya PPL merubah paradigma penyuluhan itu sendiri. PPL mestinya tidak lagi melihat dirinya sebagai “suluh” yang menerangi petani yang dianggap berada dalam kegelapan ilmu pengetahuan. Peran PPL yang lebih penting adalah sebagai fasilitator yang mampu membangkitkan dan memunculkan kemampuan dan kepercayaan diri petani untuk menganalisa pilihan-pilihan yang ada serta konsekuensi dari setiap pilihan itu serta menumbuhkan rasa percaya diri petani untuk memecahkan persoalan mereka sendiri. Sehingga bila kelak persoalan lain muncul, petani tanpa harus tergantung pada orang lain akan mampu berfikir dan memecahkan masalahnya. Kondisi, situsi dan permasalahan petani selalu berubah setiap saat. Namun bila PPL sebagai fasilitator telah mampu menumbuhkan kemampuan petani untuk beradapatasi dengan perubahan, maka akan ada adaptasi-adaptasi dan inovasi yang terus menerus oleh petani menuju sesuatu yang lebih baik bagi kehidupan mereka.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita benar – benar mengambil pelajaran dari pengalaman mahal di era-era sebelumnya? Saya khawatir kita belum cukup berlapang dada untuk menyadari kekeliruan masa lalu untuk dijadikan perbaikan pada masa ini. PPL masih lebih banyak menggunakan kemampuan berbicaranya daripada kemampuan mendengarkannya. Dalam paket-paket pembekalan PPL pun yang lebih banyak diajarkan adalah bagaimana menjadi pembicara yang baik, bukan bagaimana menjadi pendengar dan fasilitator yang baik. PPL masih dididik untuk mencapai target sebuah program yang didisain nun jauh tinggi di kantor-kantor pejabat yang mungkin jarang merasakan pahit getir menjadi seorang petani/peternak. Program yang seringkali hanya mengamati petani dari kejauhan lalu menebak-nebak apa yang kira-kira dapat memeperbaiki kondisi kehidupan petani menurut sudung pandang para pembuat program yang mungkin kurang memahami kompleksitas kehidupan petani. Program-program baru datang silih berganti, namun petani miskin tetap saja semakin miskin karena pelaksanaan program masih didominasi oleh kepentingan administratif pembuat program yang seringkali melihat petani hanya sebagai objek.
Akankah BIMAS dengan seribu nama lain terulang dan terulang lagi? Jawabnnya ada pada keinginan untuk merubah paradigma, sudut pandang dan orientasi PPL serta pemegang kebijakan lainnya dalam perencanaan, implementasi serta monitoring dan evaluasi program pembangunan pertanian. “Put Farmer First”, utamakanlah kepentingan petani, jadikan mereka sebagai subyek dan belajarlah bersama mereka. Inti dari perubahan sudut pandang ini adalah komunikasi timbal balik antar stakeholders. Mudah – mudahan tulisan ini dapat berguna dan dapat menggugah para PPL dan para pembuat program pertanian diseluruh Indonesia untuk merubah paradigma penyuluhan kita dari banyak berbicara menjadi lebih banyak mendengarkan petani.
Oleh : Nurul Hilmiati