WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

5.05.2009

SINGKONG SEBAGAI SALAH SATU SUMBER BAHAN BAKAR NABATI (BBN)

A. Pendahuluan

Kenaikan harga minyak dunia memaksa pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Dengan meningkatnya harga BBM maka muncul kata baru Bahan Bakar Nabati (BBN). Berbeda dengan BBM dari fosil yang terbentuk dari tanaman dan hewan selama ratusan juta tahun,BBN lebih berbasiskan pada industri perkebunan dan pertanian.
BBN lebih menekankan pada budidaya energi (energy rarming). Energy farming lebih mengedepankan pengumpulan dan penyimpanan energi matahari yang dapat diperbaharui dengan sendirinya (self sustainable) dan tidak merusak lingkungan karena tidak menyebabkan polusi. Energy farming berpikir tentang membudidayakan energi melalui tumbuhan hijau sehingga dikenal sebagai energy hijau (Green energy).
Sebenarnya BBN bukan hal yang baru dalam kehidupan masyarakat hanya teknologinya yang berbeda. Salah satu contoh pemanfaatan BBN pada zaman purba yaitu dengan membakar biji jarak untuk penerangan. Saat ini dengan kemajuan IPTEK aplikasi BBN telah berubah lebih modern dan lebih populer dengan nama bioetanol dan biodiesel,keduanya disebut sebagai biofuel.
Penelitian dan pengembangan BBN telah dilakukan sejak adanya Kebijakan Umum Bidang energi (KUBE) pada tahun 1981. Salah satu wujud diversifikasi energi yang menonjol adalah penelitian dan pengembangan bioetanol. Penelitian bioetanol yang dirintis oleh Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) pada tahun 1983 berbahan dasar singkong.
Penelitian dan pengembangan biodiesel mulai dilakukan secra ekstensif pada tahun 1990 oleh Lembaga Minyak Dan Gas(Lemigas),Pusat Penelitian Kelapa Sawit dan lembaga-lembaga yang lain.

B.Peningkatan Produksi Singkong

Pada saat ini di berbagai daerah di Indonesia telah tersedia lahan yang cukup luas,tetapi sumber daya lahan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal karena kondisinya yang kritis. Kekritisan lahan ditandai dengan dengan terbatasnya suplai air dan kurangnya unsure hara tanaman.
Lahan-lahan kritis tersebut saat ini biasanya hanya ditanami dengan singkong tetapi singkong yang dihasilkan masih rendah. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan petani sehingga penanaman singkong tidak disertai teknik budidaya yang baik dan tanpa sentuhan teknologi. Sehingga tidak mengherankan jika banyak kemiskinan terjadi di lahan-lahan kritis. Sebenarnya lahan tersebut sangat berpotensi untuk ditanamai tanaman bahan baku BBN sehingga bisa dijadikan sumber pendapatan yang lumayan. Hanya saja diperlukan penerapan teknologi yang tepat dan penanganan yang intensif. Salah satu tanaman bahan baku BBN khususnya bioetanol yang bisa dikembangkan secara besar-besaran di lahan kritis adalah singkong.
Selain kondisi lahan yang kritis adanya degradasi lahan juga dapat menyebabkan penurunan hasil produksi singkong. Salah satu penyebab degradasi lahan yang cukup penting adalah penurunan kualitas fisik tanah,dalam hal ini adalah rusaknya struktur tanah. Kerusakan struktur tanah dimulai dari terbentuknya lapisan (seal) dan kerak (crust) dipermukaan tanah (surface sealing dan crusting). Keadaan tersebut dapat menyebabkan kesulitan perkecambahan biji,menghambat pertumbuhan tanaman dan pengurangan laju infiltrasi tanah. Penurunan laju infiltrasi tanah dapat mengurangi persediaan air dalam tanah,meningkatkan jumlah dan laju aliran permukaan serta meningkatkan bahaya erosi pada tanah.
Soil crusting merupakan lapisan tipis yang mengeras dipermukaan tanah dan biasanya banyak terjadi ditanah kering sedangkan soil sealing terjadi jika agregat-agregat yang hancur menjadi partikel-partikel yang lebih kecil masuk ke dalam pori tanah membentuk horizon tanah yang padat dan kemudian dapat menurunkan infiltrasi. Faktor penting yang dapat mempermudah terbentuknya sealing adalah tingginya kadar debu dan rendahnya kadar bahan organik tanah (Ramos et al 2000).
Bissonnais (1996) mengemukakan bahwa terbentuknya struktur crust pada permukaan tanah disebabkan energi kinetik hujan yang menimpa permukaan tanah dan terjadi pembasahan secara cepat yang menyebabkan slaking (perpecahan agregat) dan dispersi liat yang selanjutnya menutupi pori-pori tanah. Lapisan seal yang tipis berkembang dan setelah kering menjadi lapisan crust yang keras.
Terbentuknya crust dipermukaan tanah tergantung pada sifat dan proses pembentukan crust,pengaruh pengelolaan lahan dan tindakan pengelolaan untuk mengurangi degradasi struktur tanah. Kondisi struktur tanah cukup bervariasi tergantung pada jenis tanah,iklim dan pengelolaan lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara komplek dan selanjutnya akan mempengaruhi proses-proses fisik dan biologi dalam tanah untuk mengontrol struktur tanah.
Pengelolaan tanah yang dapat mempengaruhi pembentukan sealing dan crusting antara lain pengolahan tanah,sistem pertanaman dan penambahan bahan kimia ke dalam tanah. Ketiga faktor tersebut sulit untuk dipisahkan pengaruhnya karena dalam pelaksanaan dilapangan sering dilakukan secara bersama-sama (dilakukan secara kombinasi).
Pengaruh pengkerakan permukaan tanah pada pertumbuhan tanaman melalui berbagai cara antara lain (1) kerak dipermukaan tanah dapat menurunkan infiltrasi dan permeabilitas tanah dipermukaan. Hal ini dapat mengurangi imbibisi biji dan selanjutnya akan menghambat perkecambahan biji dan pertumbuhan tanaman. Kerak dipermukaan tanah juga dapat menghambat permeabilitas udara.(2) Dalam keadaan kering kerak dipermukaan tanah memiliki ketahanan penetrasi yang cukup tinggi sehingga dapat menghambat penyerapan hara dan selanjutnya akan berpengaruh pada produksi tanaman.
Upaya pengendalian crusting dapat dilakukan dengan pencegahan kerusakan struktur tanah dan perbaikan struktur tanah yang telah rusak. Pencegahan dan perbaikan kerusakan struktur tanah dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik dan melindungi permukaan tanah dari energi kinetik hujan dengan mengatur sistem pertanaman.
Penambahan bahan organik ke dalam tanah dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah sehingga dapat mengurangi surface sealing. Penambahan bahan organik dapat dilakukan dengan dengan pemberian pupuk kandang,pengembalian sisa tanaman maupun pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah.
Pengaturan sistem pertanaman meliputi pola tanam dan jenis tanaman yang diusahakan. Dengan mengatur pola tanam yang disesuaikan dengan distribusi hujan sepanjang tahun maka perlindungan terhadap permukaan tanah dapat terjadi secara terus menerus. Sehingga pada saat curah hujan tinggi tanah telah tertutup dengan vegetasi secara sempurna.
Perbaikan kondisi fisik tanah akibat berkurangnya crusting dapat meningkatkan produksi singkong sampai 30,92 ton/ha dibanding kontrol yang hanya 4,33 ton/ha (Therfaelder,2002)
Penanaman dan pemeliharaan singkong relatif mudah dan memiliki tingkat produksi yang sangat tinggi. Singkong mempunyai daya adaptasi yang cukup luas,mampu bertahan hidup di daerah-daerah yang cukup ekstrim dan umumnya beriklim tropis.Tanaman singkong termasuk jenis herba tahunan. Tingginya dapat mencapai 7 meter. Daunnya bertangkai panjang dengan bentuk menjari antara 5 – 9.
Singkong merupakan tanaman yang fleksibel karena dapat tumbuh dan berproduksi di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi,mulai dari ketinggian 10 – 1500 m dpl. Singkong juga cocok dikembangkan di lahan marginal,kurang subur dan kekurangan air. Lahan-lahan ini masih banyak tersedia terutama di luar pulau Jawa.
Singkong dalam pengembangannya selain sebagai tanaman pangan juga sebagai bahan baku bioetanol.Dalam budidaya singkong yang diambil adalah umbinya,sebagai bahan pangan umbi ini kaya akan karbohidrat tetapi miskin akan protein namun hal ini bisa dipenuhi dari daun singkong yang juga merupakan sumber protein cukup tinggi. Beberapa jenis singkong memiliki umbi yang beracun karena mengandung asam sianida. Saat ini singkong racun ini dianggap sebagai obat kanker.


C. Mengolah Singkong Menjadi Etanol
Sebagai bahan baku BBN singkong diolah menjadi bioetanol pengganti premium. Singkong merupakan salah satu sumber pati. Pati merupakan senyawa karbohidrat yang komplek. Sebelum difermentasi pati diubah menjadi glukosa,karbohidrat yang lebih sederhana. Dalam penguraian pati memerlukan bantuan cendawan Aspergillus sp. Cendawan ini akan menghasilkan enzim alfaamilase dan glikoamilase yang akan berperan dalam mengurai pati menjadi glukosa atau gula sederhana. Setelah menjadi gula baru difermentasi menjadi etanol.
Sebelum difermentasi menjadi etanol pati yang dihasilkan dari umbi singkong terlebih dahulu diubah menjadi glukosa dengan bantuan cendawan Aspergillus sp. Langkah – langkah dalam pembuatan bioetanol berbahan dasar singkong adalah :
1. Mengupas singkong segar,semua jenis dapat dimanfaatkan,kemudian membersihkan dan mencacah berukuran kecil.

2. Mengeringkan singkong yang telah dicacah hingga kadar air maksimal 16 % sama dengan singkong yang dibuat gaplek. Tujuan pengeringan ini untuk pengawetan sehungga produsen dapat menyimpan sebagai cadangan bahan baku.

3. Memasukkan 25 kg gaplek kedalam tangki berkapasitas 120 liter,kemudian menambahkan air hingga mencapai volume 100 liter dan memanaskan gaplek hingga suhu 100° C sam diaduk selama 30 menit sampai mengental menjadi bubur.

4. Memasukkan bubur gaplek kemudian memasukkan kedalam tangki skarifikasi. Skarifikasi merupakan proses penguraian pati menjadi glukosa. Setelah dingin memasukkan cendawan Aspergilus sp yang akan menguraikan pati menjadi glukosa. Untuk menguraikan 100 liter bubur pati singkong memerlukan 10 liter larutan cendawan Aspergillus atau 10 % dari total bubur. Konsentrasi cendawan mencapai 100 juta sel/ml. Sebelum digunakan cendawan dibenamkan ke dalam bubur gaplek yang telah dimasak agar adaptif dengan sifat kimia bubur gaplek. Cendawan berkembang biak dan bekerja mengurai pati.

5. Setelah dua jam bubur gaplek akan berubah menjadi 2 lapisan yaitu air dan endapan gula. Mengaduk kembali pati yang sudah berubah menjadi gula kemudian memasukkanya kedalam tangki fermentasi. Sebelum difermentasi kadar gula maksimum larutan pati adalah 17 – 18 % karena itu merupakan kadar gula yang cocok untuk hidup bakteri Saccaromyces dan bekerja untuk mengurai gula menjadi alcohol. Penambahan air dilakukan bila kadar gula terlalu tinggi dan sebaliknya jika kadar gula terlalu rendah perlu penambahan gula.

6. Menutup rapat tangki fermentasi untuk mencegah kontaminasi dan menjaga Saccharomyces agar bekerja lebih optimal. Fermentasi berlangsung anaerob atau tidak membutuhkan oksigen pada suhu 28° - 32° C.

7. Setelah 2 – 3 hari larutan pati berubah menjadi 3 lapisan yaitu lapisan terbawah berupa endapan protein,lapisan tengah air dan lapisan teratas etanol. Hasil fermentasi disebut bir yang mengandung 6 – 12 % etanol.

8. Menyedot larutan etanol dengan selang plastik melalui kertas saring berukuran 1 mikron untuk menyaring endapan protein.

9. Melakukan destilasi atau penyulingan untuk memisahkan etanol dari air dengan cara memanaskan pada suhu 78° C atau setara titik didih etanol sehinnga etanol akan menguap dan mengalirkannya melalui pipa yang terendam air sehingga terkondensasi dan kembali menjadi etanol cair.

10. Hasil penyulingan berupa 95% etanol dan tidak dapat larut dalam bensin. Agar larut diperlukan etanol dengan kadar 99% atau disebut etanol kering sehingga memerlukan destilasi absorbent. Destilasi absorbent dilakukan dengan cara etanol 95% dipanaskan dengan suhu 100° C sehingga etanol dan air akan menguap. Uap tersebut dilewatkan pipa yang dindingnya berlapis zeolit atau pati. Zeolit akan menyerap kadar air tersisa hingga hingga diperoleh etanol dengan kadar 99 %. Sepuluh liter etanol 99% membutuhkan 120 – 130 liter bir yang dihasilkan dari 25 kg gaplek.








Daftar Pustaka
Angers,D.A.1998. Water stable aggregation of Quebec silty clay soils,some factors controlling its dynamics. Soil Tillage Research.

Anonim. 1999. Pengembangan Usaha Agrobisnis Singkong.

Bresson,L.M.1995. A Review of Physical management for crusting control in Australian ropping systems research opportunities. Aust.J.Soil Res.

Chalifah A. 2007. Mengubah singkong menjadi bioetanol : Sebuah Upaya Meningkatkan Nilai Tambah Singkong di Kabupaten Gunung Kidul,Yogyakarta.

Le Bissonnais,Y.1996. Agregate stability and assessment of crustability and erodibity. Theory and methodology.Europ.J.Soil Sci.

Ramos,M.C.S Nacci. 2000. Soil sealing and its influence on erosion rates for some soils in the Mediterranean area. Soil sci.

Tatang, 2007. Mengebor Bensin di Ladang Singkong.

Tim Nasional Pengembangan BBN,2007. Bahan Bakar Nabati. Penebar Swadaya.Jakarta.


C Tri Kusumastuti JURUSAN ILMU-ILMU PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA


[+/-] Selengkapnya...

Read More..

Singkong Bioetanol Inspirasi dari Mukibat

Tiga puluh lima tahun silam Gerard H de Bruyn, peneliti pertanian Belanda, terpesona dengan teknik mukibat. Penemuan Mukibat, pekebun asal Kediri, itu mendongkrak produksi singkong hingga 15-20 kg per tanaman. Sayang, teknik itu tak berkembang karena sulit diterapkan. Beruntung 23 tahun berselang, KH Abdul Jamil-kerabat Mukibat-menemukan varietas baru: darul hidayah. Di Malang, Jawa Timur, lahir pula singkong berkadar gula tinggi, 45%. Dua temuan itu menjadi harapan bioetanol di masa depan.

Nama Mukibat memang menjadi sumber inspirasi bagi pekebun dan peneliti ubikayu. Pria yang hidup pada 1903-1966 itu menyambung singkong biasa sebagai batang bawah dengan singkong karet sebagai batang atas. Hasilnya, panen singkong konsumsi yang lazimnya 3-5 kg per tanaman melonjak menjadi 3- 6 kali lipat. ‘Jadi sebetulnya selama ini salah kaprah. Mukibat menemukan teknik mendongkrak panen, bukan menemukan varietas baru hasil silangan,’ kata Kartika Noerwijati, peneliti ubikayu di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang.

Sayang, di lapangan teknik ala Mukibat sulit diterapkan. ‘Tak semua pekebun terampil menyambung. Apalagi untuk luasan 1 ha singkong yang mencapai 4.500-10.000 tanaman (tergantung jarak tanam, red),’ tutur Kartika. Penangkar yang siap memproduksi bibit pun langka karena harga jual bibit rendah, Rp500 per tanaman. Akibatnya, teknik ala Mukibat hanya menjadi legenda. Banyak disebut orang, tapi langka dipakai. Persepsi keliru pun berkembang, mukibat dianggap nama varietas yang telah punah.

Toh, peran Mukibat tak berarti nihil. ‘Ia menjadi sumber inspirasi pekebun lain,’ kata Kartika. Sebut saja di Tulangbawang, Lampung Utara. Sukses Mukibat memicu KH Abdul Jamil, pengasuh pondok pesantren Darul Hidayah, Tulangbawang, untuk mengeksplorasi ubikayu di hutan Panaraganjaya, Lampung Utara. ‘Ia masih kerabat Mukibat. Ia mengeksplorasi sambil berdzikir kyai pun menemukan singkong aneh berumbi besar,’ kata Niti Soedigdo, pekebun ubikayu di Lampung Timur, yang juga orang kepercayaan Abdul Jamil.

Semaian bijiSingkong berumbi besar itu lalu dikembangkan oleh Soedigdo. Ia memodifikasi teknik mukibat. Bila Mukibat menyambungkan singkong karet sebagai batang atas, maka cara Soedigdo sebaliknya. Ia menjadikan singkong karet sebagai batang bawah. ‘Di atas singkong karet, disambungkan singkong temuan Kyai yang berumbi besar,’ ujar Soedigdo. Pria kelahiran Lamongan 72 tahun silam itu menyambung 40 tanaman.

Dari 40 tanaman itulah, selama 1,5 tahun diperoleh 800 biji. Soedigdo menyeleksi biji unggul lalu menyemainya. ‘Hanya 480 yang layak semai,’ katanya. Tanaman dari semaian itulah yang menjadi cikal-bakal singkong darul hidayah. Pada umur 8 bulan per tanaman sanggup menghasilkan umbi di atas 10 kg. Umbi itu menjalar secara horizontal, bukan menembus secara vertikal. Karakter itu membuat panen darul hidayah relatif mudah. Pada umur 10- 12 bulan, mencapai 15 kg per tanaman.

Pada 1998, temuan Abdul Jamil dan Soedigdo itu menarik perhatian Dr Ir Koes Hartojo Hendroatmodjo dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Di tahun itu pula darul hidayah dilepas sebagai varietas unggul nasional. Dalam waktu 2 tahun singkong itu berkembang cepat hingga luasan 100 ha. Sayang, pada 2000 harga singkong terjun bebas dari Rp350 menjadi Rp70 per kg. ‘Harga itu tak mampu menutup biaya panen. Saya merugi hingga Rp0,5-M,’ kata Soedigdo. Nasib darul hidayah nyaris seperti mukibat.

Luka Soedigdo karena merugi dideranya selama 7 tahun. Hingga pada 2007 demam bioetanol menyerang Nusantara. ‘Tiba-tiba saja saya kebanjiran telepon. Mereka meminta bibit darul hidayah. Saya pontang-panting karena bibit tak tersedia,’ ujar ketua Gabungan Koperasi Pertanian Lampung itu. Ayah 2 putra itu harus mengumpulkan indukan yang tercerai berai. Maklum, dari 100 ha yang dikembangkan 7 tahun silam, hampir seluruhnya musnah dijarah. Yang tersisa hanyalah tanaman yang ditanam para tetangga di pekarangan. Ia menduga pasokan bibit untuk 100 ha-setara 450- ribu-1-juta tanaman baru tersedia 1-2 tahun ke depan.

Klon CMMYang juga pontang-panting gara-gara demam bioetanol tak hanya Niti Soedigdo. Di Malang, Dr Titik Sundari MS dan Ir Erliana Ginting MSc, peneliti ubikayu, pun dibuat repot. Bedanya, bila Soedigdo diserbu permintaan bibit karena singkongnya berproduksi tinggi, Titik Sundari lain lagi. Ia diberondong permintaan karena menemukan klon harapan ubikayu berkadar gula tinggi. ‘Ada 2 cara untuk memenuhi permintaan publik terhadap singkong sebagai bahan baku bioetanol. Mencari singkong berproduksi tinggi (seperti darul hidayah, red) dan mencari singkong dengan kadar gula tinggi. Apalagi bila keduanya genjah, sekitar 6 bulan,’ kata Prof Ir Nasir Saleh, koordinator penelitian umbi-umbian di Balitkabi, Malang.

Titik memilih cara yang kedua. Tujuh tahun silam-bersama tim pemulian di Balitkabi-ia menemukan klon CMM 99008-3. CMM diambil dari kata cross manihot malang alias silangan singkong malang. Klon itu istimewa karena berkadar gula 45%. Singkong biasa, 28%. ‘Pada singkong berkadar gula tinggi, jumlah bahan baku lebih sedikit. Biaya produksi bisa ditekan,’ kata Titik. Maklum, bioetanol berasal dari gula yang difermentasi menjadi alkohol. Sederhananya, produksi tinggi tak akan berarti bila kadar gula rendah, kurang dari 30%. Sayang, penelitian itu hanya dilakukan di lapangan belum diuji multilokasi.

Tengok saja hitung-hitungan ini. Untuk 1 liter bioetanol diperlukan singkong klon CMM 99008-3 sebanyak 4,23 kg. Bandingkan dengan varietas lain yang membutuhkan 8 kg. Artinya, dengan harga 1 kg singkong Rp350 di tingkat pekebun, hanya diperlukan bahan baku Rp1.500. Sementara dengan varietas lain dibutuhkan Rp2.800. ‘Bagi pengolah, dengan singkong berkadar gula tinggi, jauh lebih hemat dan menguntungkan,’ tutur Erliana. Lantaran itulah Erliana dan Titik terus meneliti singkong berkadar gula tinggi.

masjamal.blogdetik.com

[+/-] Selengkapnya...

Read More..