WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

9.23.2010

Mengajak Masyarakat Melirik Pangan Nonberas

Kebergantungan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap beras masih terbilang tinggi. Agar upaya diversifikasi pangan berjalan lancar harus sembari mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi masyarakat.

Setiap manusia tentunya membutuhkan gizi seimbang demi kesehatan dan perkembangan tubuhnya. Kecukupan gizi itu bisa terpenuhi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi.

Namun, persoalannya, tidak ada satu pun jenis makanan yang mengandung unsur-unsur gizi lengkap seperti yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.

Untuk menyiasati kekurangan itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan ialah diversifikasi pangan. Memang, diversifikasi pangan bukanlah isu baru, bahkan selalu mengemuka dalam peringatan Hari Gizi Nasional dan Makanan yang jatuh tiap 25 Januari.

Upaya diversifikasi atau penganekaragaman pangan pun kerap didengung-dengungkan untuk dipercepat, apalagi ketika beras sebagai pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia harganya beranjak naik. Kenaikan itu terjadi pula pada beberapa pekan belakangan ini.

Harga beras rata-rata melonjak 1.000 rupiah per kilogram. Untuk beras jenis IR 64 yang berkualitas rendah, misalnya, harganya naik dari 5.300 rupiah menjadi 6.200 rupiah per kilogram.

Diversifikasi pangan, dijelaskan Hermanto, Sekretaris Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, merupakan upaya pemilihan pangan oleh seseorang dan tidak bergantung pada satu jenis saja, melainkan banyak pilihan bahan pangan.

Adapun pangan pokok utama didefinisikan sebagai pangan yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk secara rutin sehari-hari dalam jumlah besar sebagai sumber energi.

Secara historis, pangan pokok lokal penduduk Indonesia sebenarnya sudah beragam. Lihat saja, penduduk di Provinsi Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Papua terbiasa mengonsumsi sagu, sementara masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Madura kerap mengonsumsi jagung.

Masyarakat di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung pun sudah familiar mengonsumsi ubi kayu sebagai pangan pengganti beras.

Namun, seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman, proses introduksi beras dengan berbagai macam keunggulan dan kemudahannya untuk dimasak menggeser pola konsumsi seluruh penduduk Indonesia. Bahkan hingga saat ini, tingkat kebergantungan masyarakat Indonesia pada beras sebagai bahan pangan pokok masih tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sampai saat ini, tingkat konsumsi beras di Indonesia mencapai 104 kilogram per kapita per tahun (kg/kap/tahun).

Angka itu dianggap masih tinggi. Karena itu, pemerintah mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan penduduk.

Strategi yang dilakukan untuk tujuan tersebut ialah menginternalisasi penganekaragaman konsumsi pangan dan mengembangkan bisnis serta industri pangan lokal.

Menurut Hermanto, strategi tersebut dibagi dalam dua periode. Periode pertama berlangsung dari tahun 2009 sampai 2011 dan periode kedua dari tahun 2012 sampai 2015.

Pada periode pertama, strategi yang ditempuh masih difokuskan pada internalisasi penganekaragaman konsumsi pangan dengan gizi seimbang dan aman.

Untuk menerapakan strategi itu, pemerintah telah melakukan berbagai macam gerakan berupa kampanye, sosialisasi, advokasi, dan promosi percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, khususnya di daerah-daerah marginal.

Tidak hanya itu, BKP juga menggandeng Kementerian Pen didikan Nasional untuk memasukkan materi makanan pokok lokal ke kurikulum pendidikan di tingkat sekolah dasar (SD).

BKP juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menerjunkan tenaga penyuluh memberi pembinaan kepada para ibu rumah tangga maupun industri skala kecil untuk membuat produk dari sumber daya pangan lokal.

Menteri Pertanian juga pernah mengimbau seluruh pemerintah daerah untuk menyediakan makanan nonberas sebagai makanan yang dikonsumsi ketika rapat.

Imbauan untuk menyediakan menu makanan nonberas ditujukan pula pada maskapai penerbangan Garuda dan beberapa hotel.

“Tak lupa pemerintah juga mengembangkan ketersediaan bahan baku dan pasar domestik aneka ragam pangan, baik segar maupun olah an,” ujar Hermanto.

Berbagai upaya pengalihan perhatian penduduk dari beras itu diharapkan dapat menurunkan tingkat konsumsi beras hingga mencapai 99,3 kg/kap/tahun pada 2011 dan 91 kg/kap/tahun pada 2015.

Lantas, apakah strategi percepatan penganekaragaman pangan itu akan berhasil? Harry Susianto, pengamat perilaku konsumen dari Universitas Indonesia, pesimistis akan hal itu.

Menurutnya, pola konsumsi seseorang merupakan proses belajar yang juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi.

Sebagai contoh, berbagai menu makan siap saji (fast food) asal Amerika Serikat, seperti makanan yang tersedia di McDonald, membutuhkan waktu 15 tahun untuk bisa diterima oleh masyarakat Belanda.


Ada dua alasan yang melatari masyarakat Negeri Kincir Angin itu tidak bisa menerima makanan siap saji dalam waktu singkat.

Pertama, mereka kerap berpikir ulang mengeluarkan uang untuk mengubah pola konsumsi yang selama ini telah mereka jalani.

Alasan lainnya, masyarakat Belanda memiliki kesadaran tinggi bahwa makanan siap saji kurang sehat untuk dikonsumsi sehari-hari. Kelas Dua Kondisi yang berbeda terjadi di Indonesia.

Masyarakat Indonesia justru sangat welcome dengan makananmakanan siap saji. “Hal itu bisa terjadi lantaran kebanyakan masyarakat di negeri ini hanya memburu gengsi.

Dari kondisi itu, bisa dikatakan bahwa faktor sosial ekonomi masyarakat di suatu negara turut memengaruhi pola konsumsi masyarakatnya,” ujar Harry yang juga mengamati behavioral economics itu. Dengan demikian, lanjutnya, upaya Pemerintah Indonesia mendorong masyarakat untuk tidak bergantung pada beras masih terlalu berat.

Sebab, sampai sekarang, sebagian besar masyarakat masih berasumsi bahwa makanan nonberas seperti umbi-umbian merupakan makanan kelas dua yang biasa dikonsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Bisa dikatakan pola konsumsi sebagian besar masyarakat masih berorientasi pada pencitraan diri. Semakin tinggi tingkat sosial seseorang, makanan yang dipilih pun cenderung berupa exotic food (makanan asing).

Mereka beranggapan makanan itu bisa menaikkan gengsi. Untuk itu, lanjut Harry, salah satu cara mengubah pola konsumsi makanan pokok masyarakat ialah melalui pendekatan pencitraan yang baik terhadap makanan nonberas.

Ada banyak cara yang bisa dilakukan sebagai bentuk konkret sosialisasi pengalihan konsumsi bahan pangan, termasuk sumber karbohidrat nonberas.

Salah satunya Presiden memberi contoh mengonsumsi singkong, kentang, atau jagung setiap Senin dan Kamis. “Dengan demikian, masyarakat tidak akan merasa malu untuk turut mengonsumsi makanan- makanan itu karena Presiden juga mengonsumsinya,” papar Harry.

Menanggapi upaya sosialisasi yang dilakukan pemerintah, Mulyono Machmur, Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan BKP, menyatakan sebenarnya pemerintah pusat sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang mengajak masyarakat mengurangi konsumsi beras setidaknya satu hari dalam satu bulan atau satu pekan.

Kebijakan itu telah diterapkan di beberapa daerah, antara lain di Kabupaten Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara, melalui gerakan one day no rice.

Meski demikian, Mulyono mengakui bahwa dalam pelaksanaannya, gerakan itu tidak berjalan lancar akibat adanya pemberitaan miring di media masa.

Sebagai contoh, ketika masyarakat Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, pada bulan tertentu mengonsumsi tiwul sebagai makanan pokok, media massa justru memberitakan di daerah itu terjadi krisis pangan.

Padahal, kata Mulyono, pola konsumsi itu berkaitan erat dengan kearifan lokal yang masih dianut sebagian masyarakat setempat. “Ini yang menjadi tantangan pemerintah saat ini,” tandasnya.


sumber: Koran Jakarta

[+/-] Selengkapnya...

Read More..