Situasi perbenihan di Indonesia sudah menjurus ke arah krisis. Nilai impor benih di Indonesia masih terbilang tinggi. "Hingga 2006, menunjukkan defisit impor benih tanaman sayuran sebesar 2,05 juta dollar AS dan benih tanaman buah sebesar 1,08 juta dollar AS. Sebagian besar benih tanaman pangan dikuasai dan didistribusikan perusahaan multinasional," ungkap Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Ir.Henri Saragih dalam Diskusi 'Politik Perbenihan dalam Kerangka Kedaulatan Pangan', Kamis (19/2) di Ruang Sidang Rektor Gedung Andi Hakim Nasoetion Kampus IPB Darmaga.
Diskusi yang dimoderatori Dr.Ir.Dwi Andreas Santosa ini diselenggarakan Direktorat Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor (IPB). Henri Saragih mencontohkan benih jagung hibrida 43 persen dipasok perusahaan besar seperti Syngenta dan Bayer Corp. Monsanto menguasai 90 persen pasar benih dunia. Kesuksesan perusahaan transnasional dalam menguasai input eksternal -benih, pupuk dan sarana produksi lain- pertanian nasional tak lepas dari kesepakatan Indonesia di World Trade Organization (WTO). " Berbeda dengan Amerika Serikat dan Cina yang masih mensubsidi dan berhati-hati dalam membuka pasar komoditas pertaniannya, Indonesia malah membuka lebar-lebar liberalisasi perdagangan komoditi pertanian nasionalnya terutama bidang perbenihan,"ujar Henri. Meski anggota WTO juga, Amerika Serikat dan Cina tak mengadopsi dan mengimplementasi kesepakatan internasional tersebut sepenuhnya.
Sisi lain, pemerintah Indonesia mendorong pengembangan benih melalui industri perbenihan "Model Waralaba" (Franchising). Namun, menurut Henri ini hanya semakin melanggengkan industri transnasional dalam menguasai pasar benih. Dengan kebijakan ini petani secara halus dipaksa untuk menanam benih hibrida yang diproduksi perusahaan. "Saat ini petani yang menanam benih padi varietas lokal hanya tinggal 10-15 persen."
Henri mengkritisi kebijakan pemerintah dianggap menindas petani seperti Undang -Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Pertanian dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. "Melalui peraturan ini Tukirin, petani Kediri ditangkap dan dipenjara, karena mengembangkan benih jagungnya sendiri. PT. BISI menuntut Tukirin dengan tuduhan sertifikasi ilegal dan melanggar UU No 29 Tahun 2000," kata Henri.
Henri juga menyayangkan kebijakan sistem pertanian industrial yang dikembangkan di Indonesia. Sistem ini malah meningkatkan jumlah petani gurem di Indonesia. "Dengan lahan terbatas dan pengeluaran tetap untuk biaya input eksternal yang kian bertambah, menyebabkan keuntungan petani kian menurun," tandas pria asal Petumbukan Sumatera Utara ini.
Pria yang dinobatkan Guardian sebagai 50 tokoh yang dapat menyelamatkan planet ini memaparkan strategi petani menghadapi tantangan tersebut. " Dari segi kebijakan kedua UU tersebut harus direvisi, karena peraturan ini menghambat kreativitas petani dalam mengembangkan benih-benih lokal yang sudah semakin menghilang," tandasnya.
Petani perlu mendapat pendidikan dan pelatihan penyimpanan serta pengembangan benih-benih lokal melalui kerjasama antara organisasi tani, pemerintah dan akademisi.Disamping itu, perlu pengembangan pertanian berkelanjutan berbasis keluarga tani dan mengurangi ketergantungan petani terhadap input eksternal seperti benih, pupuk dan sarana produksi lainnya. "Hendaknya kontrol terhadap benih jangan sampai dikendalikan oleh segelintir perusahaan seperti yang terjadi saat ini," ujar Henri.
Berdasarkan peraturan perundangan yang ada, Pakar Benih Indonesia dan Guru Besar Perbenihan IPB, Prof. Sjamsoe'oed Sadjad mengatakan tidak ada kewajiban bagi penangkar dan pembuat benih bahwa benih harus disertifikasi. "Jadi kurang tepat jika ada kewajiban sertifikat setiap benih. Memang untuk benih bina, yang harus dirilis pemerintah harus disertifikasi."
Dalam produksi benih, petani tidak perlu melakukan uji multilokasi. Petani hanya butuh pengakuan atas benih yang diproduksinya sendiri dari masyarakat setempat. Sebab, kebutuhan benih masing-masing daerah berbeda. Pengembangan benih lokal ini sangat penting untuk melindungi plasma nutfah dan memenuhi kebutuhan benih petani setempat, disamping mengurangi dominasi segelintir orang dalam penguasaan benih. " Barangkali perlu kebijakan baru mengenai ini. Tidak perlu -judicial review terhadap kebijakan benih yang sudah ada," tegas Prof. Sjamsoe'oed.
Terkait pertanian industri, Prof. Sjamsoe'oed sepakat mendukung sistem ini. Pertanian industri yang dimaksud disini yakni mengembangkan industri desa. Keluarga petani berkumpul mengelola potensi pertanian dalam desa melalui koperasi atau industri bersama. Hal senada diungkapkan Kepala Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (PKBT) IPB, Dr.Ir. Sobir M.Sc. "Saya setuju industri desa. Jika 500 petani berkumpul, maka penggilingan padi dilakukan di dalam desa. Katakanlah hasil produksi gabah 2500 ton. Sedangkan biaya penggilingan padi sebanyak Rp300 per kilogram, modal sebanyak Rp 750 juta akan kembali ke petani," paparnya. Patut diketahui pula tiap tahun, petani telah merilis sekitar 240 varietas baru.
Selama ini, PKBT IPB telah melakukan pendampingan petani mengembangkan Respatory plant breeding. Kegiatan ini bertujuan membantu petani meningkatkan kualitas varietas, sehingga kedaulatan pangan terwujud dan menguntungkan petani bukan malah merugikan.
Direktur Perbenihan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian RI Ir.Rahman Pinem, MM menyampaikan kebijakan perbenihan yang dibuat pemerintah bertujuan melindungi petani. "Supaya petani membeli benih yang berkualitas dan tidak tertipu dengan benih palsu." Menurutnya, kemungkinan telah terjadi mispersepsi memahami kebijakan tersebut, sehingga perlu sosialiasasi dan perbaikan implementasi dalam perundang-undangan tersebut. Ia menyatakan setuju adanya pembentukan industri desa. " Departemen Pertanian telah menggelontorkan dana Rp 100 juta per desa sebagai modal untuk mengembangkan apa pun termasuk industri desa. Ada 10 ribu desa yang ditargetkan memperoleh modal tersebut"
Hadir dalam diskusi tersebut Wakil Rektor Bidang Riset dan Kerjasama Dr.Anas Miftah Fauzi, Direktur Riset dan Kajian Strategis Dr.Arif Satria, Prof.Hidayat Pawitan, Prof.Dudung Darusman, Ir.Gunawan Wiradi, MA, Dr.Satyawan Sunito, Dr.Sam Herodian, Dr.Muhamad Syukur, Dr.Aji Hermawan, Dr.Drajat Martianto, Dr. Prastowo, Dr.Ervizal A,M. Zuhud, Dr.Harianto, Dr.Munif Ghulamahdi, Prof.Bambang S Purwoko, dan sejumlah peneliti IPB lainnya. Hadir pula para petani binaan IPB dan Serikat Petani Indonesia.
ipb.ac.id