Tiga puluh lima tahun silam Gerard H de Bruyn, peneliti pertanian Belanda, terpesona dengan teknik mukibat. Penemuan Mukibat, pekebun asal Kediri, itu mendongkrak produksi singkong hingga 15-20 kg per tanaman. Sayang, teknik itu tak berkembang karena sulit diterapkan. Beruntung 23 tahun berselang, KH Abdul Jamil-kerabat Mukibat-menemukan varietas baru: darul hidayah. Di Malang, Jawa Timur, lahir pula singkong berkadar gula tinggi, 45%. Dua temuan itu menjadi harapan bioetanol di masa depan.
Nama Mukibat memang menjadi sumber inspirasi bagi pekebun dan peneliti ubikayu. Pria yang hidup pada 1903-1966 itu menyambung singkong biasa sebagai batang bawah dengan singkong karet sebagai batang atas. Hasilnya, panen singkong konsumsi yang lazimnya 3-5 kg per tanaman melonjak menjadi 3- 6 kali lipat. ‘Jadi sebetulnya selama ini salah kaprah. Mukibat menemukan teknik mendongkrak panen, bukan menemukan varietas baru hasil silangan,’ kata Kartika Noerwijati, peneliti ubikayu di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang.
Sayang, di lapangan teknik ala Mukibat sulit diterapkan. ‘Tak semua pekebun terampil menyambung. Apalagi untuk luasan 1 ha singkong yang mencapai 4.500-10.000 tanaman (tergantung jarak tanam, red),’ tutur Kartika. Penangkar yang siap memproduksi bibit pun langka karena harga jual bibit rendah, Rp500 per tanaman. Akibatnya, teknik ala Mukibat hanya menjadi legenda. Banyak disebut orang, tapi langka dipakai. Persepsi keliru pun berkembang, mukibat dianggap nama varietas yang telah punah.
Toh, peran Mukibat tak berarti nihil. ‘Ia menjadi sumber inspirasi pekebun lain,’ kata Kartika. Sebut saja di Tulangbawang, Lampung Utara. Sukses Mukibat memicu KH Abdul Jamil, pengasuh pondok pesantren Darul Hidayah, Tulangbawang, untuk mengeksplorasi ubikayu di hutan Panaraganjaya, Lampung Utara. ‘Ia masih kerabat Mukibat. Ia mengeksplorasi sambil berdzikir kyai pun menemukan singkong aneh berumbi besar,’ kata Niti Soedigdo, pekebun ubikayu di Lampung Timur, yang juga orang kepercayaan Abdul Jamil.
Semaian bijiSingkong berumbi besar itu lalu dikembangkan oleh Soedigdo. Ia memodifikasi teknik mukibat. Bila Mukibat menyambungkan singkong karet sebagai batang atas, maka cara Soedigdo sebaliknya. Ia menjadikan singkong karet sebagai batang bawah. ‘Di atas singkong karet, disambungkan singkong temuan Kyai yang berumbi besar,’ ujar Soedigdo. Pria kelahiran Lamongan 72 tahun silam itu menyambung 40 tanaman.
Dari 40 tanaman itulah, selama 1,5 tahun diperoleh 800 biji. Soedigdo menyeleksi biji unggul lalu menyemainya. ‘Hanya 480 yang layak semai,’ katanya. Tanaman dari semaian itulah yang menjadi cikal-bakal singkong darul hidayah. Pada umur 8 bulan per tanaman sanggup menghasilkan umbi di atas 10 kg. Umbi itu menjalar secara horizontal, bukan menembus secara vertikal. Karakter itu membuat panen darul hidayah relatif mudah. Pada umur 10- 12 bulan, mencapai 15 kg per tanaman.
Pada 1998, temuan Abdul Jamil dan Soedigdo itu menarik perhatian Dr Ir Koes Hartojo Hendroatmodjo dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Di tahun itu pula darul hidayah dilepas sebagai varietas unggul nasional. Dalam waktu 2 tahun singkong itu berkembang cepat hingga luasan 100 ha. Sayang, pada 2000 harga singkong terjun bebas dari Rp350 menjadi Rp70 per kg. ‘Harga itu tak mampu menutup biaya panen. Saya merugi hingga Rp0,5-M,’ kata Soedigdo. Nasib darul hidayah nyaris seperti mukibat.
Luka Soedigdo karena merugi dideranya selama 7 tahun. Hingga pada 2007 demam bioetanol menyerang Nusantara. ‘Tiba-tiba saja saya kebanjiran telepon. Mereka meminta bibit darul hidayah. Saya pontang-panting karena bibit tak tersedia,’ ujar ketua Gabungan Koperasi Pertanian Lampung itu. Ayah 2 putra itu harus mengumpulkan indukan yang tercerai berai. Maklum, dari 100 ha yang dikembangkan 7 tahun silam, hampir seluruhnya musnah dijarah. Yang tersisa hanyalah tanaman yang ditanam para tetangga di pekarangan. Ia menduga pasokan bibit untuk 100 ha-setara 450- ribu-1-juta tanaman baru tersedia 1-2 tahun ke depan.
Klon CMMYang juga pontang-panting gara-gara demam bioetanol tak hanya Niti Soedigdo. Di Malang, Dr Titik Sundari MS dan Ir Erliana Ginting MSc, peneliti ubikayu, pun dibuat repot. Bedanya, bila Soedigdo diserbu permintaan bibit karena singkongnya berproduksi tinggi, Titik Sundari lain lagi. Ia diberondong permintaan karena menemukan klon harapan ubikayu berkadar gula tinggi. ‘Ada 2 cara untuk memenuhi permintaan publik terhadap singkong sebagai bahan baku bioetanol. Mencari singkong berproduksi tinggi (seperti darul hidayah, red) dan mencari singkong dengan kadar gula tinggi. Apalagi bila keduanya genjah, sekitar 6 bulan,’ kata Prof Ir Nasir Saleh, koordinator penelitian umbi-umbian di Balitkabi, Malang.
Titik memilih cara yang kedua. Tujuh tahun silam-bersama tim pemulian di Balitkabi-ia menemukan klon CMM 99008-3. CMM diambil dari kata cross manihot malang alias silangan singkong malang. Klon itu istimewa karena berkadar gula 45%. Singkong biasa, 28%. ‘Pada singkong berkadar gula tinggi, jumlah bahan baku lebih sedikit. Biaya produksi bisa ditekan,’ kata Titik. Maklum, bioetanol berasal dari gula yang difermentasi menjadi alkohol. Sederhananya, produksi tinggi tak akan berarti bila kadar gula rendah, kurang dari 30%. Sayang, penelitian itu hanya dilakukan di lapangan belum diuji multilokasi.
Tengok saja hitung-hitungan ini. Untuk 1 liter bioetanol diperlukan singkong klon CMM 99008-3 sebanyak 4,23 kg. Bandingkan dengan varietas lain yang membutuhkan 8 kg. Artinya, dengan harga 1 kg singkong Rp350 di tingkat pekebun, hanya diperlukan bahan baku Rp1.500. Sementara dengan varietas lain dibutuhkan Rp2.800. ‘Bagi pengolah, dengan singkong berkadar gula tinggi, jauh lebih hemat dan menguntungkan,’ tutur Erliana. Lantaran itulah Erliana dan Titik terus meneliti singkong berkadar gula tinggi.
masjamal.blogdetik.com