WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

2.27.2009

Tragedi Pendidikan Pertanian

Tidak ada yang mengejutkan saat melansir berita 2.894 dari 9.019 kursi kosong di 47 perguruan tinggi negeri adalah program studi pertanian dan peternakan.


Kekosongan merata di hampir semua perguruan tinggi yang membuka program studi pertanian. Bahkan, kekosongan kursi hingga 50 persen dari daya tampung. Ini bukan hal baru. Sudah lebih satu dasawarsa program studi pertanian sepi peminat.

Tutup

Yang paling mengejutkan, meski program studi pertanian kian sekarat, tidak satu pun muncul keprihatinan dari para pemangku kepentingan. Jangankan dari presiden, sang doktor pertanian dengan predikat excellent, para rektor, dekan atau pengamat pertanian tergerak. Jika prihatin saja tidak muncul, bagaimana mungkin berharap akan ada langkah nyata. Program studi pertanian kini benar-benar sekarat.

Saat ini ada 82 PTN dan 2.500-an PTS yang mengasuh 14.000-an program studi. Dari jumlah itu ada 60-an PT yang mengasuh bidang pertanian. Di sebagian kecil PT ternama jumlah peminat bidang pertanian tidak surut, tetapi di sebagian besar PT studi pertanian tak lagi jadi magnet. Data Depdiknas, rentang 2005-2006 ada 40 fakultas pertanian di seluruh Indonesia tutup karena tak ada peminat.

Keterpurukan studi pertanian hanya akibat sektor pertanian dimarjinalkan. Tidak hanya dukungan pendanaan dan kelembagaan, perhatian pun mengendur. Bahkan, lebih dari dua dasawarsa dikampanyekan segera meninggalkan pertanian, melompat ke industri dengan proyek industri mercusuar, footloose, kandungan impor tinggi, dan dibiayai dari utang luar negeri.

Karena industri tak berbasiskan resource based sektor pertanian menjadi marjinal. Maka, terjadi dualisme ekonomi: sistem tradisional yang padat tenaga kerja di pedesaan dengan koefisien teknis produksi dapat berubah dan sistem modern yang padat modal di perkotaan dengan koefisien teknis produksi tetap.

Dualisme ekonomi itu menciptakan wilayah pedesaan dan perkotaan bersifat tertutup satu sama lain. Pertumbuhan ekonomi dari sektor industri perkotaan tidak menetes ke wilayah pedesaan sehingga kesenjangan pendapatan antara kedua wilayah itu cenderung kian melebar.

Sektor pertanian akhirnya identik dengan gurem, udik, miskin, dan tidak menarik tenaga terdidik menekuninya. Masyarakat dan komunitas petani terancam lenyap. Kajian pedesaan selama 25 tahun (Collier dkk, 1996) menemui fakta getir: tenaga kerja muda di pedesaan amat langka, hanya tersisa pekerja tua renta dan lambat responsnya terhadap perubahan dan teknologi. Terjadilah gerontokrasi sektor pertanian. Jika studi pertanian kering peminat dan dilihat sebelah mata, kalah pamor dengan studi farmasi, teknik, komputer, manajemen dan akuntansi, itu semua hanya dampak ikutan.

Restrukturisasi

Dirjen Dikti menyodorkan solusi, studi pertanian direstrukturisasi menjadi dua. Studi agronomi, hortikultura, ilmu tanah, pemuliaan tanaman dan teknologi benih, arsitektur lanskap, hama dan penyakit tanaman masuk studi agroekoteknologi, sedangkan agribisnis, ekonomi pertanian dan sumber daya, gizi masyarakat dan sumber daya keluarga, dan komunikasi dan pengembangan masyarakat dilebur jadi studi agribisnis. Apakah ini solusi mujarab dan bukan sekadar kosmetik penarik minat?

Menurut evaluasi Dirjen Dikti, penguasaan ilmu mahasiswa S-1 pertanian terlalu spesifik, monodisiplin dan lebih berorientasi pada pendalaman ilmu. Dulu, perancang dunia pertanian berpikir sederhana. Menghadapi petani gurem dan kapasitasnya minim, pemikiran dibuat sederhana. Kini polarisasi baru dibuat antara pertanian berteknologi sederhana dan maju. Bahkan, karena desakan di luar pertanian, yang sederhana didorong maju, termasuk agroindustri. Desakan dari luar diupayakan dipenuhi kurikulum pendidikan tinggi pertanian. Sampailah pertanian yang berkaidah industrial dan bisnis.

Para dosen diberi kesempatan studi ke luar negeri. Mereka pulang membawa dimensi masing-masing untuk mengembangkan almamater. Sayang, jarang yang berpikir multidimensional. Hidroponik, aeroponik, kultur jaringan, sampai transgenik jadi bahan di kelas. Padahal, kondisi riil yang dihadapi adalah calon sarjana pertanian yang pertanian rakyatnya tetap gurem dan pendidikannya amat rendah.

Mestinya, hasil survei Subdirektorat Kurikulum dan Program Studi (2005) bisa jadi pemandu mencari jalan keluar. Survei itu menunjukkan, kompetensi minimal sarjana pertanian yang sesuai kebutuhan di lapangan pertanian adalah memiliki kompetensi umum di sektor pertanian, menguasai dan paham kearifan lokal (agar jadi pengembang wilayah), bisa memanfaatkan ICT, problem solver, punya jiwa wirausaha, memiliki pengetahuan bisnis, komunikatif dan kolaboratif, serta punya kemampuan superleader.

Jika kita berhasil merumuskan kurikulum studi pertanian, itu belum cukup tanpa perubahan cara pandang masyarakat atas sektor pertanian. Selama ada praanggapan yang salah, budaya tani harus dipermodern. Pola pikir ini memasung petani dan anak- anaknya. Dari segi pendidikan, anak-anak petani telah dididik untuk cita-cita di luar pertanian, yakni jadi salah satu faktor produksi bagi industri yang tak berbasis pertanian.

Khudori Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian

[+/-] Selengkapnya...

Read More..

PERTANIAN ORGANIK; DALAM PERSPEKTIF SOSIAL, BUDAYA, DAN EKONOMI

Saat ini pertanian organik menjadi teknologi pertanian alternatif yang banyak diterapkan oleh petani. Istilah "organik" itu sendiri, di kalangan tertentu dimaksudkan untuk membedakan ciri antara pertanian dengan menggunakan asupan buatan secara kimia dan pertanian yang dibuat berdasarkan atas ketersediaan bahan di lokal tertentu. Dalam berbagai diskusi, terutama di kalangan Non Government Organization (NGO) sebagai fasilitator petani di tingkat grass root, penggunaan pilihan istilah tersebut masih beragam. Istilah lain yang sering dipergunakan ialah pertanian lestari, pertanian alami, pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), pertanian selaras alam dan LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture).

Reijntjes, et.al, (1992) mengatakan bahwa paling tidak ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam konsep pertanian berkelanjutan, (1) mantap secara ekologis, (2) bisa berlanjut secara ekonomi, (3) adil, (4) manusiawi, dan (5) luwes. Salah satu lembaga yang turut mempromosikan pertanian dengan asupan luar rendah adalah ILEIA (Information Centre for Low External Input And Sustainable Agriculture), sebuah lembaga informasi pertanian di Belanda sebagi pusat informasi dan promosi pertanian dengan asupan luar rendah dan berkelanjutan. Selain itu ILEIA juga memfasilitasi pengembangan pertanian di lokasi yang tidak sesuai untuk penggunaan asupan luar yang tinggi dan kepentingan memadukan LEISA dengan sumber-sumber dan pengetahuan lokal yang menggunakan asupan luar secara arif (Reijntjes, C, et al, 1999).

Namun dari berbagai istilah yang dipergunakan, setidaknya terdapat tiga muatan penting yang perlu ditekankan sebagai ciri yang mengikutinya, yaitu (1) basis pada sumberdaya lokal, (2) teknologi yang dipergunakan, dan (3) berkelanjutan. Ketiga hal tersebut merupakan buah refleksi atas pengalaman bertani pada masa lalu bahwa intervensi pemerintah pada sektor pertanian terlalu besar, dan petani hanya dijadikan obyek pembangunan saja sehingga petani tidak memiliki kreativitas untuk mengembangkan usaha taninya secara mandiri (Hamengku Buwono X, 2000).

Selain masalah peran petani di atas lahannya sendiri, kelemahan bertani pada masa lalu menimbulkan banyak persoalan antara lain masalah biaya operasional yang tinggi, degradasi lahan, hama yang tidak terkendali, berkurangnya kesempatan kerja perempuan, berkurangnya sumberdaya genetik dan varietas lokal, ketergantungan, dan kemiskinan di perdesaan (Maria Muris., et al, 2000; William Collier, et al, 1996; F. Rahardi, 2000; Francis Wahono, 1999; Kasumbogo Untung, 2000; Vandana Shiva, 1999; Hüsken. F, 1998). Meski demikian, beberapa penulis juga mengakui bahwa (1) introduksi berbagai varietas padi unggul berumur pendek, (2) supplai yang besar untuk pupuk yang disubsidi, (3) perbaikan dan penyempurnaan jaringan irigasi, dan (4) komitmen di semua lini birokrasi pemerintahan untuk menaikkan produksi padi mengakibatkan kenaikan produksi yang spektakuler (Fox, J.J, 1997), dan mengakibatkan Jawa Timur sebagai "rice basket" pada tahun 1980-an, dan menyebabkan propinsi Jawa Timur memberikan kontribusi terbesar dibandingkan propinsi lain di Jawa, yakni sebesar 20,1% dari total produksi nasional pada tahun 1986. Pada kisaran tahun yang sama, secara nasional produksi beras juga mengalami kenaikan yang cukup berarti. Namun Francis Wahono (1999) mengemukakan fakta yang lain bahwa import beras Indonesia benar-benar nol persen itu hanya terjadi pada tahun 1985 saja, setelah tahun 1990 impor beras nasional tidak pernah nol lagi.

Persoalan-persoalan pertanian pada masa lalu tersebut bisa dikatakan terjadi dalam seluruh lini proses bertani. Persoalan tersebut bukan lagi berada pada tataran bertani sebagai unit usaha, namun sudah meluas ke persoalan sosial, dan kebudayaan bertani itu sendiri. Maka dalam konteks persoalan pertanian secara keseluruhan, pertanian organik saat ini menjadi sebuah "solusi" terutama yang berkaitan dengan persoalan lingkungan dan sumberdaya pertanian, kultur bertani, keragaman hayati, independensi pelaku bertani, dan keadilan pasar (fair trade), seperti yang dinyatakan oleh Gunnar Rundgren (2001), presiden IFOAM tentang pertanian organik.
Karena keterbatasan literatur yang menampilkan data empiris mengenai pertanian organik di Indonesia, maka tulisan ini lebih banyak mengemukakan pertanian organik secara normatif dengan mengoptimalkan informasi yang ada. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan melihat pertanian organik secara holistik, akan tetapi mencoba "meraba" kekuatan pertanian organik dalam mengatasi persoalan di atas. Penulis mencoba mengkontekstualisasikan pertanian organik dalam situasi saat ini, di mana bangsa Indonesia mengalami krisis multi dimensi, dan bagaimana peluang pertanian organik dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya bertani.

Pertanian Organik sebagai Media Pendidikan Horisontal
Presiden IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement), Gunnar Rundgren, (2001) melaporkan bahwa terdapat banyak solusi yang ditawarkan melalui bertani secara organik. Salah satu yang penting untuk diberi highlighted adalah masalah peningkatan kapasitas organisasi tani.

Tabel 1. Beberapa kelebihan pertanian organik menurut IFOAM (2001)

Masalah yang dipecahkan
Solusi yang ditawarkan
Kesehatan yang diakibatkan oleh pestisida
Tidak menggunakan pestisida
Hormon antibiotik, dan sebagainya dalam hewan ternak yang berpotensi mengganggu kesehatan
Mengembangkan sistem ternak
Integrasi antara ternak dan tanaman
Memenuhi kebutuhan pengobatan penyakit ternak
Lingkungan akibat pestisida dan asupan kimiawi
Tanpa asupan kimia
Polusi karena kotoran ternak dan limbah organik
· Integrasi ternak dan tanaman
· Pengurangan kepadatan ternak/ternak memenuhi kebutuhan pangannya sendiri
Penurunan keragaman hayati lingkungan
Tanpa asupan kimia
Tanpa tanaman hasil rekayasa (GMO crops)
Diversifikasi produksi
Degradasi sosio kultural
Revitalisasi nilai lama dan pembentukan nilai baru
Pendapatan petani yang rendah
Mengurangi biaya produksi
Meningkatkan pendapatan
Diversifikasi pasar
Rendahnya efisiensi biaya untuk asupan
· Mengembangkan manajemen dan teknologi
· Efisiensi penggunaan sumberdaya lokal (pertanian) lebih tinggi
Urbanisasi yang mengakibatkan kemiskinan di desa dan kota
Meningkatkan pendapatan perdesaan, dan mengurangi aliran uang ke luar wilayah
Peningkatan kapasitas organisasi
Ancaman keamanan pangan
Peningkatan produksi
Ketersediaan asupan untuk produksi
Mengurangi ketergantungan asupan
Peningkatan pendapatan
Sabilitas produksi
Peningkatan keanekaragaman sumberdaya
Penggunaan sumberdaya lahan optimal

Sumber: http://www.IFOAM.org, diolah dengan berbagai penyesuaian
Bila diartikan secara lebih dalam, ungkapan peningkatan kapasitas organisasi tani mengandung muatan "pendidikan". Pendidikan yang terdapat di sini lebih ditekankan pada proses bernalar dengan pendekatan participatory action research, karena petani tidak punya sekolah dan guru, petani hanya memiliki fasilitator entah dari pemerintah, atau lembaga publik lainnya. Proses inilah yang memberikan jaminan akan partisipasi petani dalam bertani. Pengalaman empiris yang terjadi di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, diseminasi bertani secara organik lebih banyak dimulai di tingkat petani, sehingga bertani secara organik mempunyai arti sebagai media pendidikan horisontal, yang selama ini tidak diemban secara serius oleh organisasi tani "formal". Dalam hal ini sebenarnya dengan bertani secara organik yang berbasis pada konteksnya akan memberikan kontribusi pada pemberian peluang yang luas bagi petani untuk menjadi manusia cerdas (Diartoko, P, 2000), dan berdasarkan atas pengalaman pelaku petani di pegunungan kapur selatan Jawa Timur pertanian organik yang saat ini dijalankan merupakan kombinasi antara pertanian intuitif yang terwariskan secara turun temurun dengan nalar yang selalu diperbaharui menurut konteksnya. Dan inilah yang dimaksud oleh Gunnar Rundgren bahwa akan terjadi revitalisasi nilai lama dan pembentukan nilai baru dalam masyarakat petani.

Karena salah satu muatan pertanian organik adalah berbasis pada sumberdaya lokal seperti penggunaan dan pemeliharaan bibit lokal, pemanfaatan ulang sampah organik dan kotoran organik, maka nilai kearifan terhadap pengelolaan dan penataan sumberdaya dengan sendirinya akan didialogkan di tingkat horisontal menjadi point of view dalam bertani secara organik. Dengan sendirinya, peran pihak luar hanya diperlukan ketika petani memerlukan solusi khusus mengenai persoalan praktis di lapangan dan memfasilitasi hubungan keluar dengan pihak lain. Interaksi terus menerus yang menekankan pada proses mencari dan menemukan akan menjadikan pertanian di Indonesia maju, bukan dalam konsepsi Iptek dan konsepsi matematika, namun dalam konsepsi budaya (Sri-Edi Swasono, 2001).

Pertanian Organik, Lingkungan, Ketersediaan, dan Kecukupan Pangan
Dalam sejarah bertani seperti yang disebutkan Website of Indonesia Environment and Development (http://www.lablink.or.id), bahwa perkembangan pertanian dari zaman ke zaman banyak dipengaruhi pengetahuan lokal (indigenous knowledge). Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang berada dalam suatu masyarakat dimana selalu dikembangkan sepanjang waktu dan diteruskan untuk pembangunan yang bersifat berdasarkan atas pengalaman, selalu dikaji ulang penggunaannya, diadaptasikan dalam budaya dan lingkungan lokal, selalu berubah dan dinamis (http://www.panasia.org.sg). Pada konteks di atas, secara budaya[2], proses bertani organik adalah bertani yang bisa dikategorikan "masih konsisten" dalam keberlanjutan pertanian masa lalu. Artinya bahwa introduksi pertanian organik ditingkat petani akan mempengaruhi perubahan budaya yang dicirikan oleh perubahan nilai hidup komunitas. Perubahan budaya yang dimaksudkan di sini adalah perubahan yang lebih baik dan beradab selain menjawab isu-isu mendasar saat ini seperti demokrasi, gender, relasi patron-client, ketimpangan kepemilikan dan penggunaan sumberdaya.

Francis Wahono, seorang ekonom, dalam Wacana (2000) mengatakan bahwa masalah dalam kebertanian bukan semata-mata penataan lahan, produksi, dan distribusi. Tetapi kegiatan bertani adalah kegiatan yang melibatkan penataan dan pengolahan lahan, produksi dan distribusi, yang tidak hanya untuk memperbanyak makanan sehingga cukup sampai berkelimpahan, tetapi dengan bekerja demikian manusia akan semakin memaknai dan dihargai hidupnya. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa hal yang penting dalam bertani adalah faktor manusia, alam, dan teknologi [3]. Definisi yang diberikan di atas sebenarnya sudah bermuatan tujuan, dan secara argumentatif, tujuan berupa kemakmuran rakyat menurut batasan di atas, dalam konteks kini lebih ditekankan pada "kelangsungan hidup" rakyat, dimana istilah tersebut mengandung muatan kesadaran baru akan kelestarian lingkungan hidup, yaitu kelestarian terhadap hidup petani, keturunannya, alam dan isinya.

Salah satu kekuatan pertanian organik dengan muatan yang sudah didiskusikan di atas, adalah kekuatan dalam mempengaruhi cara berfikir dan sikap petani dalam memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdaya untuk produksi dan distribusi, mempertimbangkan kelangsungan hidupnya dan keturunannya. Pertimbangan memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdaya bukan lagi didasarkan oleh pertimbangan "praktis" mengenai harga dan ketersediaan barang di pasaran, akan tetapi justru akan memperluas cakrawala kreatif terhadap upaya memperpanjang siklus energi. Dengan demikian maka, dengan sendirinya kekhawatiran mengenai kelangkaan sumberdaya akan teratasi, dan petani tidak tercabut dari akar budayanya dalam kegiatan bertani.

Kembali pada kemakmuran rakyat sebagai tujuan dalam bertani, pengalaman petani di kabupaten Pacitan Jawa Timur menyebutkan bahwa penanaman padi cempo welut (salah satu jenis padi lokal) pada musim tanam yang lalu di atas lahan seluas 900m², dengan menggunakan pupuk kompos, pencegahan hama dengan gadung, dan benih sebanyak 25 beruk (sekitar 17,5kg) menghasilkan gabah kering sebanyak 450kg, hal ini berbeda sangat significant jika dibandingkan dengan pengalaman tanam pada masa lalu yang sarat dengan asupan dari luar baik pupuk maupun pestisida, bahwa dengan jumlah benih yang kurang lebih sama hanya menghasilkan gabah kering sekitar 200 hingga 250kg (Thukul, edisi 2, Maret 2001). Panenan yang diperoleh lalu dibagikan ke anggota dan non anggota kelompok tani dengan mekanisme "ijol"[4]. Mekanisme seperti ini adalah karya dari indigenous knowledge yang dimiliki petani, dipelihara dan dikembangkan secara terus menerus. Dari sisi kepentingan "lumbung benih" petani yang membagikan benih mencatat siapa saja yang menyimpan benih tersebut, dan demikian seterusnya. Dengan demikian jaminan akan ketersediaan benih yang beragam dan sesuai dengan tanahnya akan selalu menjadi bagian tanggungjawab komunitas (kolektif), seperti dalam penggunaan air. Dalam pertanian organik hal ini disebut sebagai lumbung benih komunitas yang hidup, karena bukan bersifat material seperti gudang untuk menempatkan gabah panenan, tetapi justru ditanam, dan ditanam kembali. Hal ini sebenarnya adalah usaha kolektif dalam proses stabilisasi strain (varietas) yang cocok dengan kondisi tanah setempat.

Keuntungannya selain diperoleh varietas yang "stabil" produksinya, juga varietas tersebut tidak akan punah karena kerusakan fisik, kimia, perubahan cuaca, atau kerusakan lain karena penanganan yang tidak sesuai. Dengan demikian maka pertanian organik dalam konteks lingkungan dan kemakmuran rakyat lebih berfungsi dalam membangun supporting system dalam memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdayanya. Dengan kemampuan manusia pelaku bertani, supporting system secara kolektif tersedia, maka lingkungan, keberlanjutan produksi, dan ketersediaan pangan akan terjaga. Dari sisi kecukupan pangan petani tidak akan kehilangan jenis dan jumlah pangan yang sehat.

Pertanian Organik dan Pendapatan Petani
Sebagai salah satu tumpuan hidup 44,97% penduduk Indonesia (Sakernas, 1998), pertanian justru memberikan kontribusi (17,3%) lebih rendah dari sektor industri (25,2%) (BPS, 1993). Terlepas dari persoalan penambahan tenaga kerja ke perdesaan, namun jua karena perhatian pemerintah dalam pemulihan ekonomi (economic recovery) hanya dikhususkan untuk sektor industri dan perbankan. Kalaupun ada, tidak seserius di sektor industri dan masih mengalami kendala perilaku birokrasi. Selain masalah ketertinggalan sektor pertanian sektor industri, hal ini menunjukkan pula bahwa sektor pertanian sebagai salah satu sektor perekonomian tidak mampu memberikan kehidupan (insentif) yang layak bagi penduduk yang bekerja pada sektor tersebut.
Hal ini diperkuat oleh studi yang dilakukan Collier (1996)[5], bahwa banyak buruh tani tuna kisma (landless) di Jawa mempunyai sumber-sumber pendapatan yang amat terbatas, dimana kecil peluang untuk mendapatkan pekerjaan di luar pertanian. Dan selama masa tersebut kemiskinan terdapat secara meluas baik di perdesaan maupun perkotaan di Jawa. Beberapa persoalan ini muncul akibat konversi lahan pertanian menjadi lahan industri, yang mengakibatkan penguasaan lahan pertanian menjadi lebih kecil (kurang dari 05 ha), dan penurunan nilai tukar petani.

Jika dirunut lebih jauh terdapat dua pertanyaan yang menjadi kunci dalam bertani, yaitu (1) persoalan lahan yang sempit dapat ditingkatkan produksinya, dan (2) masalah nilai tukar produk pertanian organik. Menghadapi persoalan yang begitu rumit di perdesaan, pertanian organik tidak mampu menjawab secara langsung saat ini. Akan tetapi sebagai sebuah peluang, pertanian organik tetap akan mempunyai peluang yang kuat dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga petani. Pengalaman bertani organik yang dilakukan sebuah NGO di Cisarua Bogor, menunjukkan bahwa pertanian organik mampu mengatasi persoalan lahan untuk produksi. Dari pengalaman tersebut dapat dikatakan bahwa pola bertanam yang multikultur dengan diversifikasi jenis dan pola tumpangsari bisa mengatasi hal ini. Khusus untuk sayuran, sangat memadai untuk dibudidayakan secara organik di lahan yang sempit, karena harga sayur relatif lebih baik sehingga penerimaan petani masih cukup untuk menutup biaya produksi.

Saat ini yang dapat dilakukan masih dalam taraf penghematan akibat pemanfaatan bahan sisa di komunitas petani. Bagi rumah tangga petani tambahan pendapatan masih disebabkan karena kenaikan harga produk pertanian organik karena pergeseran selera konsumen, terutama konsumen yang memiliki kesadaran akan makanan yang sehat. Pergeseran ini menyebabkan kenaikan permintaan akan produk organik. Beberapa pengalaman lapangan menyebutkan bahwa bagi petani yang belum mempunyai pasar khusus produk pertanian organik masih menggunakan acuan harga pasar umum yang belum menggunakan acuan kualifikasi produk yang ditawarkan. Artinya bahwa pertanian organik masih berada pada tataran upaya mengurangi cost untuk produksi, bukan dalam meningkatkan nilai tukar produk pertanian. Sedangkan mengenai nilai tukar produknya sendiri sangat ditentukan oleh pasar.

Beberapa hal yang paling tidak perlu dipersiapkan adalah peran pemerintah dalam menggairahkan produksi produk pertanian organik. Hal ini pernah dilakukan dalam program Jaringan Pengaman Sosial, yaitu PMT-AS (Pemberian Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah) untuk anak sekolah dasar. Sayangnya kegiatan tersebut tidak disertai dengan insentif yang memadai kepada petani sebagai penyedia bahan. Namun sebagai sebuah promosi, hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa peran pemerintah cukup baik dalam memberikan wacana baru tentang produk organik. Beberapa saat yang lalu, di sebuah media massa juga disebutkan sebuah NGO di Boyolali "membangun" pasar alternatif khusus untuk produk pertanian organik (termasuk juga warung organik SAHANI), dengan harga yang lebih tinggi daripada harga produk non pertanian organik. Pada sisi pendapatan petani, hal tersebut akan menjadi peluang yang baik, namun bagi masyarakat yang bekerja di luar sektor pertanian dan tinggal di perkotaan akan kesulitan membeli makanan yang sehat, karena makanan yang layak dan sehat baru dimiliki oleh masyarakat yang mampu secara ekonomi.

Penutup
Sebagai sebuah alternatif, pertanian organik tetap menarik untuk ditindak lanjuti, entah di lapangan atau dengan pengembangan riset di lembaga riset atau perguruan tinggi. Konsep yang ditawarkan menjawab persoalan sustainability dari pembangunan pertanian. Selain itu juga memberikan banyak manfaat bagi pelaku bertani mengenai lesson learned kebertaniannya melalui fasilitasi jaringan (networking) petani di tingkat horisontal. Selain berfungsi sebagai media untuk desiminasi, hal ini juga berperan dalam pendidikan orang dewasa agar petani juga mempunyai kesempatan untuk menjadi manusia cerdas. Pada sisi budaya, hal ini akan memberikan wacana dan proses kristalisasi nilai kebertanian yang selalu mendorong petani untuk mengalokasikan sumberdayanya secara arif. Pertanian organik akan berkembang dan meluas, maka tanpa mengabaikan pertimbangan mengenai pendapatan petani bagaimanakah peran-peran stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan) dalam memberikan dukungan pasca panen hingga pasar, sehingga pangan yang sehat akan menjadi hak dan dimiliki oleh semua.***




DAFTAR PUSTAKA


Badan Pusat Statistik (BPS), Sakernas 1998, Jakarta.

Badan Pusat Statistik (BPS), Laporan Perekonomian Indonesia 1993, Jakarta.

Collier, L.William, Santoso, Kabul., Soentoro, Wibowo, Rudi., 1996, Pendekatan Baru Dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa; Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Diartoko, Paulus, 2000, Pendidikan yang Partisipatif; artikel ilmiah yang disampaikan dalam lomba penulisan artikel ilmiah tentang Pendidikan Indonesia di Masa Depan dalam rangka Dies Universitas Negeri Yogyakarta.

Fox, JJ, 1997, Pembangunan yang Berimbang; Jawa Timur dalam Era Orde Baru, PT. Gramedia, Jakarta, halaman 167.

Francis Wahono, 2000. Menuju Penguatan Hak-hak Petani Melalui Gerakan Petani Organik. Dalam Wacana; Jurnal ilmu Sosial Transformatif VII, 2000, INSIST Press, Yogyakarta.
Francis, Wahono, 1999, Demokrasi Ekonomi; Agenda Pemerdekaan Indonesia Ke-2, Pidato Dies; disampaikan pada Dies Natalis XLIV Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Poerwanto, Hari, 2000. Kebudayaan dan Lingkungan; dalam Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Koentjaraningrat, 1985. Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara baru , Jakarta.

Hüsken, Frans, 1998, Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman; Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, PT Gramedia, Jakarta.

IIRR, 2001, Indigenous Knowledge; What is Indigenous Knowledge?, Panasia: dalam http://www.panasia.org.sg/iirr/ik.htm.

Reijntjes, C, et.al, 1992, Pertanian Masa Depan; Pengantar Untuk pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah, ILEIA, edisi terjemahan: Y. Sukoco, SS, Kanisius, Yogyakarta.

Rundgren, Gunnar, 2001, Reasons and Arguments for Organic Agriculture, International Federation For Organig Agriculture Movement (IFOAM); Reports on Organic Agriculture Worldwide, http://www.ifoam.org.

Schumacher, E.F, 1973, Small is Beautiful; A Study of Economics as if People Mattered, london: Blond and Briggs.

Shiva, Vandana, 1999, Monocultures, Monopolies, Myths, and Masculinisation of Agriculture, Ecologia Politicacns-rivista telematica di politica e cultura, http://quipo.it/ecologiapolitica/web/1-2/articoli/shiva.htm.

Swasono, Sri-Edi, Arief, Sritua, Nurhadiantomo, Hatta, Mohamad, 2001, Ekonomi Kerakyatan, Muhammadiyah University Press, Suarkarta.

Thukul, edisi 2, Maret 2001, Melawan Kekerasan Dengan Cinta, Plan International Program Unit Pacitan-Kelompok Tani Pacitan, halaman 3.

-, 2001, Perkembangan Pertanian Dari Zaman ke Zaman, Website of Indonesia Environment and Development, http://www.lablink.or.id.





[1] Diajukan sebagai bahan tulisan untuk Seminar Mahasiswa, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada , Senin Kliwon, 9 April 2001.
[2] "Budaya" berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal) (Poerwanto, Hari, 2000. Kebudayaan dan Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, halaman 51. Lihat juga budaya menurut Koentjaraningrat (1985:180-181) bahwa budaya adalah …keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia sendiri dengan belajar".
[3] Menurut Francis Wahono, Menuju Penguatan Hak-hak Petani melalui Gerakan Petani Organik, dalam Wacana; edisi 5. Tahun II 2000, INSIST Press, halaman 129, bahwa istilah "manusia" dipilih daripada tenaga kerja karena kecenderungan ekonomi neo-klasik dan secara berseberangan Marxis/Leninis, mereduksi atau percaya manusia sebagai tenaga kerja sejajar dengan barang-barang komoditi. Sedangkan istilah "alam" lebih dipilih daripada 'tanah, bumi, sumber-sumber agraria'. Istilah "alam" meliputi ekosistem dan keanekaragaman hayati. Sedangkan "teknologi" yang dimaksud bukan saja mekanisasi, elektronikisasi, bio-teknologi, tetapi juga tecno-culture dan techno-socio. Singkat kata, teknologi adalah bagaimana manusia menyelenggarakan, mengolah, menyimpan, mendistribusikan, dan melestarikan sumber-sumberdaya alam, sehingga berguna bagi usaha menciptakan kemakmuran dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tentang hal ini, lihat juga Schumacher, E.F. 1973. Small is Beautiful; A Study of Economics as if People Mattered. London: Blond and Briggs.
[4] "Ijol" adalah proses pertukaran antar petani satu dengan petani lainnya. Mekanisme ini sudah ada secara turun temurun di tingkat komunitas petani di Pacitan. Mekanisme ini didsarkan atas kebutuhan bagi petani yang panen untuk mencukupi kebutuhan pangan (nasi) keluarganya, dan kebutuhan petani lain yang akan tanam karena butuh benih yang baik untuk ditanam di lahannya. Sedangkan jumlah yang dipertukarkan tergantung kesepakatan dari yang bertransaksi, ada kalanya dengan jumlah yang lebih sedikit, sama, atau lebih banyak.
[5] Secara lengkap dapat dilihat pada buku hasil studi William L. Collier, et.al, 1996, Pendekatan Baru Dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa; Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, halaman 1-2 dan 36-55.


diartokop.blogspot.com

[+/-] Selengkapnya...

Read More..

Diskusi Masa Depan Perbenihan Nasional di IPB

Situasi perbenihan di Indonesia sudah menjurus ke arah krisis. Nilai impor benih di Indonesia masih terbilang tinggi. "Hingga 2006, menunjukkan defisit impor benih tanaman sayuran sebesar 2,05 juta dollar AS dan benih tanaman buah sebesar 1,08 juta dollar AS. Sebagian besar benih tanaman pangan dikuasai dan didistribusikan perusahaan multinasional," ungkap Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Ir.Henri Saragih dalam Diskusi 'Politik Perbenihan dalam Kerangka Kedaulatan Pangan', Kamis (19/2) di Ruang Sidang Rektor Gedung Andi Hakim Nasoetion Kampus IPB Darmaga.



Diskusi yang dimoderatori Dr.Ir.Dwi Andreas Santosa ini diselenggarakan Direktorat Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor (IPB). Henri Saragih mencontohkan benih jagung hibrida 43 persen dipasok perusahaan besar seperti Syngenta dan Bayer Corp. Monsanto menguasai 90 persen pasar benih dunia. Kesuksesan perusahaan transnasional dalam menguasai input eksternal -benih, pupuk dan sarana produksi lain- pertanian nasional tak lepas dari kesepakatan Indonesia di World Trade Organization (WTO). " Berbeda dengan Amerika Serikat dan Cina yang masih mensubsidi dan berhati-hati dalam membuka pasar komoditas pertaniannya, Indonesia malah membuka lebar-lebar liberalisasi perdagangan komoditi pertanian nasionalnya terutama bidang perbenihan,"ujar Henri. Meski anggota WTO juga, Amerika Serikat dan Cina tak mengadopsi dan mengimplementasi kesepakatan internasional tersebut sepenuhnya.



Sisi lain, pemerintah Indonesia mendorong pengembangan benih melalui industri perbenihan "Model Waralaba" (Franchising). Namun, menurut Henri ini hanya semakin melanggengkan industri transnasional dalam menguasai pasar benih. Dengan kebijakan ini petani secara halus dipaksa untuk menanam benih hibrida yang diproduksi perusahaan. "Saat ini petani yang menanam benih padi varietas lokal hanya tinggal 10-15 persen."



Henri mengkritisi kebijakan pemerintah dianggap menindas petani seperti Undang -Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Pertanian dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. "Melalui peraturan ini Tukirin, petani Kediri ditangkap dan dipenjara, karena mengembangkan benih jagungnya sendiri. PT. BISI menuntut Tukirin dengan tuduhan sertifikasi ilegal dan melanggar UU No 29 Tahun 2000," kata Henri.



Henri juga menyayangkan kebijakan sistem pertanian industrial yang dikembangkan di Indonesia. Sistem ini malah meningkatkan jumlah petani gurem di Indonesia. "Dengan lahan terbatas dan pengeluaran tetap untuk biaya input eksternal yang kian bertambah, menyebabkan keuntungan petani kian menurun," tandas pria asal Petumbukan Sumatera Utara ini.


Pria yang dinobatkan Guardian sebagai 50 tokoh yang dapat menyelamatkan planet ini memaparkan strategi petani menghadapi tantangan tersebut. " Dari segi kebijakan kedua UU tersebut harus direvisi, karena peraturan ini menghambat kreativitas petani dalam mengembangkan benih-benih lokal yang sudah semakin menghilang," tandasnya.


Petani perlu mendapat pendidikan dan pelatihan penyimpanan serta pengembangan benih-benih lokal melalui kerjasama antara organisasi tani, pemerintah dan akademisi.Disamping itu, perlu pengembangan pertanian berkelanjutan berbasis keluarga tani dan mengurangi ketergantungan petani terhadap input eksternal seperti benih, pupuk dan sarana produksi lainnya. "Hendaknya kontrol terhadap benih jangan sampai dikendalikan oleh segelintir perusahaan seperti yang terjadi saat ini," ujar Henri.



Berdasarkan peraturan perundangan yang ada, Pakar Benih Indonesia dan Guru Besar Perbenihan IPB, Prof. Sjamsoe'oed Sadjad mengatakan tidak ada kewajiban bagi penangkar dan pembuat benih bahwa benih harus disertifikasi. "Jadi kurang tepat jika ada kewajiban sertifikat setiap benih. Memang untuk benih bina, yang harus dirilis pemerintah harus disertifikasi."



Dalam produksi benih, petani tidak perlu melakukan uji multilokasi. Petani hanya butuh pengakuan atas benih yang diproduksinya sendiri dari masyarakat setempat. Sebab, kebutuhan benih masing-masing daerah berbeda. Pengembangan benih lokal ini sangat penting untuk melindungi plasma nutfah dan memenuhi kebutuhan benih petani setempat, disamping mengurangi dominasi segelintir orang dalam penguasaan benih. " Barangkali perlu kebijakan baru mengenai ini. Tidak perlu -judicial review terhadap kebijakan benih yang sudah ada," tegas Prof. Sjamsoe'oed.



Terkait pertanian industri, Prof. Sjamsoe'oed sepakat mendukung sistem ini. Pertanian industri yang dimaksud disini yakni mengembangkan industri desa. Keluarga petani berkumpul mengelola potensi pertanian dalam desa melalui koperasi atau industri bersama. Hal senada diungkapkan Kepala Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (PKBT) IPB, Dr.Ir. Sobir M.Sc. "Saya setuju industri desa. Jika 500 petani berkumpul, maka penggilingan padi dilakukan di dalam desa. Katakanlah hasil produksi gabah 2500 ton. Sedangkan biaya penggilingan padi sebanyak Rp300 per kilogram, modal sebanyak Rp 750 juta akan kembali ke petani," paparnya. Patut diketahui pula tiap tahun, petani telah merilis sekitar 240 varietas baru.


Selama ini, PKBT IPB telah melakukan pendampingan petani mengembangkan Respatory plant breeding. Kegiatan ini bertujuan membantu petani meningkatkan kualitas varietas, sehingga kedaulatan pangan terwujud dan menguntungkan petani bukan malah merugikan.


Direktur Perbenihan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian RI Ir.Rahman Pinem, MM menyampaikan kebijakan perbenihan yang dibuat pemerintah bertujuan melindungi petani. "Supaya petani membeli benih yang berkualitas dan tidak tertipu dengan benih palsu." Menurutnya, kemungkinan telah terjadi mispersepsi memahami kebijakan tersebut, sehingga perlu sosialiasasi dan perbaikan implementasi dalam perundang-undangan tersebut. Ia menyatakan setuju adanya pembentukan industri desa. " Departemen Pertanian telah menggelontorkan dana Rp 100 juta per desa sebagai modal untuk mengembangkan apa pun termasuk industri desa. Ada 10 ribu desa yang ditargetkan memperoleh modal tersebut"


Hadir dalam diskusi tersebut Wakil Rektor Bidang Riset dan Kerjasama Dr.Anas Miftah Fauzi, Direktur Riset dan Kajian Strategis Dr.Arif Satria, Prof.Hidayat Pawitan, Prof.Dudung Darusman, Ir.Gunawan Wiradi, MA, Dr.Satyawan Sunito, Dr.Sam Herodian, Dr.Muhamad Syukur, Dr.Aji Hermawan, Dr.Drajat Martianto, Dr. Prastowo, Dr.Ervizal A,M. Zuhud, Dr.Harianto, Dr.Munif Ghulamahdi, Prof.Bambang S Purwoko, dan sejumlah peneliti IPB lainnya. Hadir pula para petani binaan IPB dan Serikat Petani Indonesia.


ipb.ac.id

[+/-] Selengkapnya...

Read More..