WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

2.13.2009

Republik Ini Milik Kita Bersama

Oleh Hazairin Pohan*

Prolog

Reformasi di tanah air baru berusia sekitar sepuluh tahun. Dalam kurun waktu singkat, transformasi mendasar telah mengubah postur republik ke dalam bentuknya yang sekarang.


Wajah baru "The New Indonesia" telah muncul dalam bentuk dan format yang tepat. Menurut saya, bentuk ini telah final, dan akan terus berlanjut dalam satu generasi (kurang lebih 20 tahun) ke depan.

"We are on the right track now". Dengan bangga, kita dapat mengklaim kepada anak dan cucu nanti di kemudian hari. Bisa dibilang, kita telah membuat suatu keputusan yang sangat krusial dan benar dalam kurun 10 tahun, dengan apa yang saya sebut?reinventing Indonesia?.

Dalam sejarah dunia, bangsa-bangsa timbul dan tenggelam. Pada jamannya, ada yang pernah berjaya, bahkan menjadi superpower, namun kemudian kehilangan elan-nya, tenggelam dan bahkan hampir pupus dari sejarah dan ingatan.

Ada pula bangsa yang tadi tidak terdaftar di sejarah, seperti bangsa Amerika, yang kemudian menjelma pada abad ke-20 (terutama setelah PD II) sebagai negara adikuasa.

Ada bangsa-bangsa yang bangkit dan menemukan identitasnya pada abad pertengahan dan dalam sejarahnya mengalami masa turun dan naik, bahkan sempat ternista karena, seperti kata Obama ?on the wrong side of history?, dan membuat keputusan yang salah seperti Jerman, Jepang, Italia, Spanyol.

Bersama Inggris, Prancis, Rusia dan Polandia, tiga negara Eropa yakni Jerman, Italia, Spanyol pada masa kini menjadi penentu masa depan Eropa. Negara Polandia pernah hilang dari peta politik Eropa selama 123 tahun, tetapi bangsa itu tidak punah bahkan bangkit kembali setelah PD I dan meletakkan batas-batas negerinya kurang lebih di tempat asalnya.

Ada yang membawa peradaban (civilization) baru seperti China, India, Mesir, Irak, Syria, Persia, Ottoman Turki, dan menguasai dunia. Ada juga yang sedang-sedang saja seperti Austro-Hongaria, Prussia, atau sekadar hidup bertahan terombang-ambing ke kiri ke kanan di bawah tekanan negara-negara tetangganya.

Polandia pernah menjadi ibukota pakta militer "The Warsawa Pact" dalam Perang Dingin, dikuasai rejim komunis sampai akhir 1980-an yang ditumbangkan oleh Lech Walesa, seorang tokoh buruh Solidarnosc, yang kemudian mengawali runtuhnya Tembok Berlin diikuti oleh berbagai dampak perubahan pada political landscape di Eropa dengan ramifikasinya.

Muncullah bangsa-bangsa "baru" di Eropa yang sebenarnya dari dulu sudah ada, seperti Croatia, Serbia, Montenegro, Slovenia, Bosnia, Latvia, Lithuania, Estonia, Georgia, Armenia, dan puluhan etnis baru di bekas Uni Soviet dan di Eropa (seperti di Belgia, ternyata ada etnis Flanders yang berbahasa Belanda, dan Wallonia yang berbicara Prancis).

Semua berujung pada konfigurasi atau rekonfigurasi entitasnya. Ada yang berhasil membentuk kesatuan "negara" sebagai entitasnya, sedangkan yang lainnya masih dalam perjalanan, seperti Kosovo, Abkhazia, Tatar, atau masih giat memperjuangkan separatisme seperti Basque (Spanyol), Quebec (Kanada).

Ada pula, seperti Rusia, selalu terombang-ambing apakah mereka bangsa Eropa atau Eurasia, karena daratannya lebih banyak di Asia daripada Eropa. Negara ini pernah menjadi adikuasa, pada saat bernama Uni Soviet dengan atribut komunisme-nya.

Pada saat saya tinggal di sana (1986-1989), Negara ini mengalami proses transformasi luar biasa, tidak saja tercerai berai dari 15 republik menjadi 1 republik, tetapi juga meninggalkan ideologi komunisme yang telah mengubah peta Eropa dari calon teater PD III menjadi zona kerjasama politik dan ekonomi.

Transformasi di Eropa masih belum final, masih menyisakan soal-soal etnis, politis, tetapi lebih kurang, situasi di sana sudah terkendali. Mereka sudah bisa tidur nyenyak.

Bangsa-bangsa dapat bangkit kembali bilamana menemukan kembali jati-dirinya, apabila berani melakukan proses "reinventing", dalam menetapkan formatnya ke depan. Semua bangsa-bangsa senantiasa menghadapi ujian-ujian yang terus beruntun datang.

Ujian terberat dan paling krusial, adakalanya menentukan daya juang suatu bangsa. Jika berhasil, bangsa-bangsa ini disebut telah lulus dan bolehlah duduk dalam pergaulan bangsa-bangsa, atau masuk ke dalam kategori "college of the graduates".

Crisis is over?

Indonesia bagaimana? Menurut saya, kita sudah melampaui masa-masa kritis dan telah berada "on the right track". Mungkin saya berbeda pandangan dengan pakar, pengamat atau mengaku pakar yang masih menggambarkan potret Indonesia yang hancur-hancuran. Seakan-akan "the very concept of Indonesia" sudah usang, dan oleh karena itu semua komponen bangsa dipersilahkan mengambil jalan sendiri masing-masing.

Menurut saya, krisis terberat yang telah kita atasi sebagai bangsa adalah dalam kurun waktu 10 tahun yang lalu. Krisis moneter di tahun 1998 yang melahirkan gerakan reformasi dan kejatuhan Soeharto setelah menggenggam Republik selama 32 tahun, berkuasa dengan segala penyakit kronis warisannya.

Situasi chaos terjadi di tanah air, diikuti dengan semangat separatisme kedaerahan dan konflik terbuka kesukuan, politisasi agama, terorisme dsb. Enough is enough!

Menurut pengamatan saya, seperti bangsa-bangsa besar lainnya di dunia kita telah lulus, tidak sekadar mampu melewatinya dengan baik tetapi menghasilkan berbagai prestasi yang membanggakan.

Dengarlah pendapat internasional dari berbagai pakar keilmuan yang menyimpulkan setelah menganalisis data (hard facts). Dengarlah pendapat para generasi muda kita dan tokoh-tokoh yang berfikir kritis tetapi positif.

Keterpurukan "now belongs to history! Things of the past". Di mata internasional kita telah bangkit. Sudah cukup alasan untuk berbangga-bangga? Belum juga. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan.

Pelayanan publik kita masih parah. Menurut saya, yang terpenting sekarang adalah jaminan bahwa ke depan bangsa ini tidak akan mengalami situasi sampai ke titik nadir, seperti pada era reformasi 1998. Saat itu, seakan-akan kita sendiri tidak bisa melindungi diri sendiri secara fisik. Malang benar.

Sekarang kita menjadi bangsa yang telah lulus ujian berat. Suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa membuat keputusan nasional secara tepat pada waktu yang tepat.

Lihat Amerika Serikat, dengan memilih Obama, citra negara adikuasa ini melambung jauh di mata internasional. Dia memiliki sumber legitimasi terbesar dari seluruh pemimpin AS, karena lahir di saat krisis terberat menimpa bangsanya.

Kita juga telah membuat keputusan terbesar pada saat yang tepat: yakni menjadi negara demokratis. Untuk melihat betapa berharganya demokrasi, sulit kita membayangkan bagaimana China menghadapi arus arus demokratisasi.

Tidak satupun pakar tingkat dunia yang bisa memprediksi situasi China dalam 5-10 tahun ke depan. Tetapi, semua ahli bisa memprediksi seperti apa Indonesia dalam 20-30 atau bahkan 50 tahun ke depan. Potretnya, positif sekali.

Mari saksikan negara-negara tetangga di sekitar kita dan juga di kawasan Asia Pasifik lainnya masih mengalami "democratic deficit", belum memenuhi persyaratan sebagai negara demokrasi. Bentuk akhirnya juga sulit diramalkan, sedangkan, bagi Indonesia "democratic path" telah menjadi hasil terbesar karya anak bangsa, setelah Sumpah Pemuda dan Proklamasi.

Indonesia Reinvented

Indonesia baru saja merayakan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. "We are a very young nation" yang baru memperoleh bentuk entitasnya sebagai Negara pada tahun 1945. Bandingkan dengan negara-negara atau bangsa-bangsa yang telah berusia lebih 1000 tahun (Polandia, Bulgaria, Rusia etc), atau bahkan 5000 tahun seperti Mesir, China, India, Mongolia dsb.

Bangsa-bangsa muda seperti Amerika (belum mencapai 250 tahun), Australia, dan Indonesia adalah Negara yang dibentuk berdasarkan konsep negara modern, bukan ethnic-based, seperti Jerman, Italia, Inggeris, Prancis, Rusia, Polandia, atau berdasarkan agama. Nama negara-negara ini diambil dari nama etnis utamanya.

Indonesia? Saya kira tidak ada ahli antropologi dunia berani meng-klaim adanya etnis Indonesia. Lebih dari 300 etnis yang membentuk bangsa Indonesia. Menurut Menlu Hassan Wirajuda, keliru jika orang mengatakan Indonesia adalah Jawa, karena etnis Jawa itu hanya sekitar 40 persen, karena di Jawa masih ada etnis Sunda, Banten, Madura dan sebagainya.

Menlu Wirajuda memang secara konsisten berupaya untuk menampilkan wajah Indonesia di "Indonesian Foreign Service", dengan merekrut semua potensi bangsa, kalau perlu, dari suku-suku terasing sekalipun! Tidak relevan kayaknya berbicara diplomasi di luar negeri atas nama Indonesia tetapi perspektifnya etnis dan lokal. Indonesia itu hanya satu: yakni Indonesia yang menjadi milik kita bersama.

Kembali ke pokok persoalan, "statement" saya di awal tulisan yang mengajak kita semua bersama-sama mendeklarasikan "Indonesia Milik Kita Bersama", yang didasari oleh beberapa argumen pokok.

Pertama, klaim ini bisa saya cetuskan untuk menggambarkan transformasi luar biasa yang terjadi di tanah air. Bahwa kita memiliki Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, dari dulu memang begitu. Semua sudah tahu. Bahwa negeri ini memiliki luas wilayah sekitar 7 juta km2, 17 ribu pulau, sedikitnya 300 etnis yang juga memiliki sub-etnis dengan ribuan bahasa, semua juga sudah tahu.

Kita sudah menjadi negara demokratis dengan sistem partisipasi yang inklusif, dan berani berbicara tentang HAM pada tingkat global. Kita berani karena memiliki prestasi. Pada zaman orde baru, pada isu ini kita tiarap, menjadi sasaran tembak. Sial betul!

Sulit menjelaskan, bagaimana transformasi berlangsung dari Indonesia yang dikenal sebagai bangsa perusak lingkungan (di jaman era order baru kita juga tiarap) menjadi bangsa yang dipercaya dalam troika perubahan lingkungan (bersama Polandia dan Denmark).

Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak memiliki masalah di sini. Yang ingin saya katakan adalah bahwa kerusakan lingkungan di tanah air lebih banyak berkaitan dengan kemampuan kita dalam penegakan hukum dan undang-undang. Kerusakan yang bukan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah (part or inherent in the policy), seperti di negara-negara lainnya.

Sekarang, muncul "perasaan" yang kuat bagi kita sebagai bangsa setelah melalui proses reinvention, di kancah pergaulan antar-bangsa (bukan chauvinisme). Argumen saya pada poin pertama ini, berkaitan dengan atribut (identitas) dan semangat baru. Indonesia tidak lagi menganut paham "low profile", kita harus duduk di "driving seat", meminjam istilah Menlu Wirajuda.

Ada perasaan kebanggaan yang menguat sebagai "orang Indonesia", tidak perlu ada perasaan minder atau keterpurukan. Ada kebanggaan bahwa dalam kurun 10 tahun ini kita telah berkembang menjadi negara demokratis dengan segala kelengkapan institusi dan normanya.

"Indonesia reinvented" telah dilengkapi dengan semangat inklusivitas, semua untuk semua. Kita tidak memiliki etnis minoritas, semua adalah warganegara. Selebihnya warga negara asing. Kita telah menjadi Negara demokrasi ke-3 terbesar di dunia.

Ini lahan yang sangat luas bagi orang yang menetapkan karirnya di politik, karena banyak lowongan dengan berbagai jaminan-jaminan. Banyak penduduk yang perlu diurus, sehingga bakal tidak ada pengangguran!

Kita dapat berjalan dengan kepala tegak sekarang karena Indonesia telah menjadi negara yang menghormati hak asasi manusia. Bahkan menurut saya, UU Kewarganegaraan kita yang baru adalah sistem yang paling maju di antara seluruh negara di dunia. Bayangkan, di banyak negara di Asia dan Eropa, banyak orang asing (etnis minoritas) yang sudah lahir turun-temurun masih belum memperoleh kewarganegaraan di tempat dia lahir dan mati!


Economic Downturn: A New Crisis?

Ada kebanggaan, ketika negara-negara di dunia menghadapi krisis pangan, krisis energi dan bahkan krisis ekonomi keadaan di tanah air tidak separah itu. Pada saat kelesuan ekonomi melanda dunia, ekspor turun drastis sehingga Negara yang mengandalkan pertumbuhan domestiknya berdasarkan ekspor sekarang ketar-ketir.

Ekspor cuma menyumbang sekitar 30 persen dari seluruh kegiatan ekonomi di dalam negeri (PDB). Turunnya permintaan di pasar dunia tentu akan berdampak pada tingkat ekspor, tetapi saya kira situasinya berbeda dibandingkan dengan negara-negara yang sangat tergantung dari ekspor seperti Singapura dan Vietnam, misalnya. Kedua negara ini sekarang terancam resesi.

Dalam situasi resesi, negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia sebenarnya tidak perlu khawatir. Jumlah penduduk besar menjadi pasar yang besar.

Bayangkan, tukang sepatu kita memiliki order 250 juta pasang sepatu, toke sembako perlu berfikir keras untuk mengupayakan stok sembako untuk 250 juta mulut. Sektor transportasi harus menyediakan angkutan untuk 250 juta orang. Pengusaha hiburan harus memikirkan bagaimana menyiapkan paket hiburan bagi 250 juta orang! Ini pekerjaan massif!

Dalam situasi resesi ekonomi dunia, kita konsentrasi ke dalam negeri saja sementara ini. Amerika dapat hidup sendiri karena penduduknya besar, tetapi seperti Indonesia mereka tidak dapat menghasilkan sendiri kebutuhannya. Mereka manja, kita?

Berbagai lembaga ekonomi internasional dan pers telah menampilkan wajah Indonesia yang penuh pengharapan. Data-data yang dilampirkan oleh majalah Economist, misalnya menempatkan potret Indonesia yang tidak jelek jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik lainnya.

Indonesia telah menjadi satu diantara 20 negara dunia yang bertanggungjawab terhadap perekonomian dunia merupakan fakta tak-terbantahkan. Saya kira ini porsi ekonom untuk menjelaskannya.

Alasan kedua, secara diam-diam dan pasti kita telah menciptakan sistem kenegaraan yang terbuka, atau transparan. Saya sepakat dengan para pengamat, kita masih jauh dari memiliki sistem yang sempurna. Di mana-mana begitu. Amerika saja baru sadar bahwa supervisi di pasar modal oleh Pemerintah itu perlu. Bahwa Pemerintah AS juga perlu prudent dalam mengelola ekonomi keuangan. Hah!

Kampanye anti-korupsi dengan efek jera yang `kejam? menurut saya berhasil. Saya kira, pejabat negara yang waras pada jaman sekarang tidak berani main-main dengan harta negara.

Pada jaman orba kita selalu dicibir pada saat sidang IGGI: para pengutang (kreditor) datang ke rapat naik sepeda atau naik metro/subway dari apartemen mereka yang sederhana dan kecil, sementara yang diutangi (RI), yakni pejabat-pejabatnya datang naik limusin, menginap di president suite pada hotel-hotel bintang 5! Dan, kita selalu bangga bahwa kepercayaan luar negeri meningkat dengan peningkatan "bantuan luar negeri" yang notabene "hutang" yang dibayar oleh rakyat si pembayar pajak!

Saya akui, memang orang bilang, "It's one thing that you have established the system, it's another when it comes to implementation". Kita masih perlu membudayakan demokrasi ke dalam sistem nasional. Kita masih buruk dalam pelayanan publik dan terlalu banyak ruang-ruang yang harus ditata.

Memang perlu kesabaran karena menyangkut budaya, "It takes a generation", kata orang. Membudayakan kebersahajaan dan anti-korupsi dalam keseharian memang masih perlu. Saya setuju harus ada "time-frame".

Masyarakat kita juga tampaknya perlu dipersiapkan, bahwa pekerjaan di sektor negara itu pekerjaan pengabdian, bukan untuk menjadi kaya. Seyogianya pengelola negara itu tidak kaya. Memang susah, misalnya jika menghadapi permintaan sumbangan dari sanak-saudara atau teman dalam rangka pernikahan.

Saya inginnya menyumbang besar (karena memang besar biayanya), tetapi tidak punya uang. Menyumbang sedikit? Masih ada rasa malu, sungkan. Saya yakin ini hanya sebentar saja.

Dalam poin ini, kayaknya sekarang aneh jika seorang pegawai negara (dari jabatan atau eselon berapa pun!) mampu mengadakan pesta pernikahan anaknya bak bangsawan Eropa, di hotel-hotel berbintang dengan mengundang ribuan tamu berdasi!

"New mentality is required". Jangan hanya di permukaan kita mengklaim pola hidup sederhana ala orde baru. Kita masih perlu membudayakannya dalam sikap dan tindakan sehari-hari.

Alasan ketiga, pernyataan bahwa kita bangga menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia harus dibaca dari segi potensi SDM-nya.

Tahun 2009 telah dicanangkan sebagai tahun industri kreatif. Indonesia memiliki SDM yang berusia muda, sekitar 60-70 persen pada tingkat usia di bawah 40 tahun. Sekarang ini menjamur bakat-bakat anak muda Indonesia di segala bidang industri kreatif: berkaitan dengan teknologi informasi dan seni budaya.

Positif bahwa beberapa anak muda kita telah memiliki bagian dalam produksi film di Hollywood dan di bidang pembuatan "software". Sayangnya, Indonesia juga tercatat menjadi "hackers" kelas dunia!

Sudah lama diketahui, kekurangan SDM unggul di banyak negara, termasuk AS, dipecahkan melalui kebijakan imigrasi. Berapa banyak anak-anak muda kita, terutama lulusan terbaik, yang dirayu dan kini bekerja di negara-negara tetangga di Asia Pasifik?

Keempat, saya selalu bangga mengatakan dalam berbagai kuliah, ceramah dan presentasi di luar negeri bahwa Indonesia adalah "superpower" di bidang kebudayaan. (Jangan dulu berdebat definisi apa itu kebudayaan?).

Argumen saya singkat, kita terdiri dari lebih 300 suku bangsa dengan berbagai kelengkapan budayanya: agama dan kepercayaan, bahasa, kesusasteraan, seni tari, musik, instrument, seni-ukir, pakaian, dan makanan dan keunggulan-keunggulan di bidang genetika dan karakter positif masing-masing etnis anak-bangsa.

Itu sebabnya, sulit bagi saya untuk memberikan ceramah umum mengenai keseluruhan aspek Indonesia. Terlalu besar, terlalu luas! Saya harus memilih tema-tema dari daerah tertentu saja.

Saya katakan, bayangkan 300 suku bangsa dengan segala kelengkapan budayanya berinteraksi, berakulturasi, satu dengan lainnya. Hasil akhirnya, ratusan jenis ukiran, tarian, musik, nyanyian, pakaian, jenis makanan dan sebagainya.

Ini menjadi sumber inspirasi para artis, seniman, kalangan industri, yang tidak akan pernah kering. Produknya bila dikemas ke dalam industri mungkin ribuan, atau malah jutaan jenis produk! "The sky is the limit", kata orang.

Perbedaan itu rahmat dan indah. Kita lebih mengenal diri kita karena mengetahui orang lain. Kita lebih menghargai diri kita sendiri, karena kita juga harus menghargai orang lain dan sudi hidup berdampingan dengan tetangga kita, apapun atribut etnis atau sosial budayanya.

Hasil akhirnya, apakah telah tercapai toleransi dan penghargaan atas sesama secara substantif! Belum. Jangan biarkan nilai-nilai ini langgeng berada pada di tingkat normatif, atau bahkan semata-mata hany menjadi statemen politik.

Kejadian di Medan, wafatnya Ketua DPRD Sumut dalam demo berdarah di awal Februari telah menunjukkan bahwa masih ada unsur-unsur di masyarakat kita yang, meminjam pernyataan Obama, "On the wrong side of history". Di sini pekerjaan rumah menumpuk.


The Way Forward

Orang bisa mengatakan, dengan selesainya transformasi mendasar berarti sudah final, "dong". Perjuangan telah selesai, tetapi baru dalam mencapai format barunya. Substansinya? 10 tahun masih kurang cukup waktu.

Ini baru "a new milestone", tahapan baru. Baru merupakan awal melangkah ke depan di jalan yang tepat. Pas: Indonesia modern, berbudaya, demokratis, sejahtera yang menghormati perbedaan (inklusif), dengan sistem partisipatif dan terbuka. "A new Indonesia" sudah berbentuk dan masih "in the making".

Ke dalam masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan pada masing-masing bidang dan bagi semua kita, komponen bangsa. Mari kita pupuk kebersamaan di antara kita dalam membereskan berbagai agenda domestik guna mendukung kejayaan bangsa dan negara kita di dalam pergaulan antar-bangsa.

"My bottom line": mentalitas keterpurukan "is over".(*)

*Penulis adalah Duta Besar RI di Polandia.

antara.co.id

[+/-] Selengkapnya...

Read More..

Puisi-puisi Sukron Abdilah

Limbo kehancuran

kepulan asap bergeroyok tutupi mata sedesa
nyanyian sumbang, teriak warga menyelingi sukma
duhai hutan belantara, adakah rasa benci
menghunjam di kedalaman sanubarimu?


cerah-benderah langit membiru warnanya kedapkan laksa
rasa dan imaji warga berlari ke masa lalu saat tumbangkan
pohon berjejer di hutan belantara.

duhai langit meluas, pongahkah aku?
manusia berderai nafsu ngangkangi keagungan-Mu

tanda-ayat itu kini menebar tak tergagahi
merangsek menusuk-nusuki manusia pongah
berbalut ketidakadilan

temaram malam kian gagapi aku yang malang
melintang ke arah sumur tua di kabuyutan
tepi sungai pun tak henti-hentinya aliri kekalutan
dengan limbo-limbo kehancuran

bandung, Maret 2008

Berdetak Kencang

duduk di tepi trotoar
kaki kupanjatkan pada sebilah pedang
sakit kupaksakan meski derai air mata meluber ke sekujur badan

bus itu maju ke depan, tak ke belakang
genjring, gitar, dan talu rebana mengiringi nada Sunda
dari tiga pengamen jalanan lenyapkan duka lara

cantik…, wanita Cicalengka pandangkan matanya
aku tersipu malu menahan rasa cinta yang datang sekejap mata
belokan jalan itu pun kembali buyarkan sejuta asa
mengembalikan keterpurukan jiwa yang tak kunjung membaik

garut-bandung, Maret 2008

Alamat kekerasan

duka memendungi lelangitan hidupku
baitullah di kampungku gosong terbakar api kebencian
raungan titahnya memerindingkan bulu kudukku
hingga senyap-senyipkan rasa kantuk yang sejak kemarin
ku tahan erat-kuat agar me-“meleki” gerakan pedang dan serulitmu

sumbing bibirku tak lenyapkan selaksa kata kebenaran
tertusuk anak panah yang melesat dari busur
digenggam angkara murka Arjuna
yang kerasukan dedemit perusak

gerlik suara cericit burung kematian itu tetap terdengar jelas
memekak ke dalam gendang telinga yang pecah karena kebengisan
laku-kata yang tak luapkan ke-Mahapengasih-an Tuhan
alamat kekerasan pula yang kemarin menuliskan
kampung halaman, tempatku bercengkrama
dengan berjuta derita
dalam secarik kertas fatwa kekerasan atas nama Agama!

Garut-Bandung, 02 Mei 2008

Matinya kebenaran

mata elang itu tertancap duri pohon salak
hempasan tubuhnya membuat aku tersentak kaget
lantas kemudian jejak-menjejaki menuntun langkah
ketakpastianku yang terus menggerogoti keyakinan

terbang juga akhirnya kau burung elang
meski dengan satu mata kebenaran
yang tak jamak di mata orang
ah, biar matinya kebenaran menjadi petanda
bahwa manusia gila akan terus menggilas
suara-suara sumbang kebenaran

Bandung, 02 Mei 2008

Mendaki puncak kearifan

kerikil-kerikil tajam di sepanjang jalan kenangan
menuju puncak gunung Manglayang yang tinggi menjulang
hamparkan semiliar perbedaan di Kota kembang
laiknya harum bunga di taman firdaus penuh harapan
untuk terus menggerayangi memukaunya keindahan

puncak gunung itu ajarkan aku melihat dari angkasa
atas hamparan kota dipenuhi bangunan yang melalat
kerlip cahaya lampu temaram dari arah Barat
cerahi rasa egoisku atas penyeragaman keberbedaan pemahaman

dan, aku pun menemukan puncak kearifan yang me-luas
kala menyaksikan putaran Bumi yang diversif dan majemuk
dari puncak menara Melayang aku terjatuh
menimpa keindahan yang ragam dan unik

lalu, aku pun tersedu menangis
kembali kepada keegoisan yang melekatkan diri
dengan berjumput laku kekerasan

bandung, 04Mei 2008

Tentang hitam

hitam kotoran anjing menempel di baju putihku
sehitam aspal di jalan raya Soekarno-Hatta
aku melepuh tak bisa melepasnya dari hehitaman yang mencekat
terus-terusan bagaikan dedakian di punggungku yang menggempal
berlarian membercaki seluruh tubuh dan jiwa

bajuku pun hanya bisa menundukkan diri
nerima catatan ilahi yang digariskan dari lauhmahfudz
dosaku kilatannya sudah sedemikian tak terlihat
hingga de javu kerap hantui akibat tak beringat
akan kental menghitamnya dosaku yang kini mulai legam

warna hitam dosaku menutup diri dari nur aini
menjadikan aku sebagai manusia berkubang dzulmun aini
aku bermetamorofsa jadi makhluk wail yang tak bergeming
kala si cacah miskin tak bisa makan nasi aking sekalipun

jiwaku terkurung tubuh kasat
yang tegak ajek menyombongi Tuhan
karena matinya cahaya putih bersih bersinar dari jiwa
terembusi angin kegelapan yang meracaukan kebejatan moral
manusiawi di dalam diriku pun warnanya telah menghitamkan
rasa berbagi dengan sesama

aku, saat ini sang hitam yang merindukan
sang putih menghidupkan dirinya kembali
merengkuh kemanusiaan yang seputih berbening-bening mutiara
kalau dalam konteks keindonesiaan, hitam adalah warna kejahatan!

Bandung, 04 Mei 2008

Jamur kepedihan

mati rasa aku tengkurap dalam kenestapaan
kerinduan tak pasti terus saja menghinggapi asa
aku dan ragam rasa bergelayutan jadi satu
membunuh keangkaramurkaan

tak biasa harus tertunduk pada hidup!

tak bergeming kala rintih kepiluan
datangkan kesenyapan hati yang tak bersahutan
dengan biofilia yang sejak kemarin kalah
mati tertunduk hasrat nekrofilia dalam diri

pemimpinku, wahai yang tersenyum pada kemiskinan
akankah kau balut diri dengan kepedulian?
hari ini aku hanya bisa merengkuh sepiring nasi
berlumur jamur kepedihan

Bandung, 05 Mei 2008

“Wau qasam”
Wallahi Surti,
Aku tak bisa membiarkan diperbudak berhala duniawi
Wallahi Agami,
Aku tak bisa menghalangi diri membumikan ajaran suci
Wallahi Insani,
Rasa kemanusiaanku tak akan pernah mati
Wallahi Khalafi,
Keberbedaan itu tak mungkin aku caci-maki

Wallahi ya harfal ilahi,
Huruf nan Agung itu ikatkan diri bersama ilahi Rabbi
Wau qasam terus bersemayam menukik di hati
Tak kuat diri melepaskan semangat Ilahi

Bandung, 05 Mei 2008

Sufi pedesaan

sarung lama lekat di pinggang
kopiah ladus wadahi kepala
sorba putih kecoklatan melilit leher berkurap
tak menghijabnya berma’rifat pada Tuhan

seusai Subuh bergulir, ia pergi ke sawah becek
memangku cangkul di pundak
bergontai lewati jalan penuh aral menghadang
untuk menanam urat nadi kehidupan

bulir-bulir padi itu merekah
tanda keikhlasan sang sufi mengabdi pada ilahi
yang tak tertandindi mobil, HP, dan duit bergepok
dari kekuasaan yang berjabat-jabat

bandung, 05 Mei 2008

estetika kata

kata apa yang harus kutuliskan di atas lembaran kertas?
estetika kata pun tak menyerap dalam tarian jari tanganku
ah, biar tak kau bilang estetis juga.

Asal ada semangat kemanusiaan yang coba aku tawarkan.
Karena itulah estetika kata yang didengungkan penyair ulung

Bandung, 05 Mei 2008

Yasinan
buku tipis sediakan segumpal pengharapan
gema tahlil mengakbarkan nama Tuhan

satu jam mata mengantuk dendangkan puji-pujian suci
setelah itu suasana ramai cengengesan anak kecil berhamburan
menghampiri sohibul hajat yang sibuk menyedekahkan panganan

nama agung Jaelani jadi wasilah buat keselamatan dunia dan akhirat
kedukaan sang mayat menerpa setiap jiwa pelayat yang sedikit berkarat
dengan dedakian dosa yang hijab-menghijabi laku lampah

andai semangat dibalik surat Yaasin koe tangkap agar tak meliar
niscaya gemilang peradaban mewujud jadi satu keindahan

bandung, 06 Mei 2008

Jelang seabad Indonesia

dulu, Negara ini dihuni oleh banyak “mereka” yang bersitegang
namun ketertindasan
adalah satu alasan bersatu melakukan perlawanan

jelang seabad kebangkitan nasional
kita pun kembali saling bertegangan
mendobrak secara paksa benteng pertahanan yang dahulu dibangun
dengan keringat darah yang bercucur dari sekujur badan

jelang akhir seabad kebangkitan nasional
kita hanya mampu mengembangbiakkan kebersitegangan
nenek moyang barbarian di tubuh bangsa.

aku berdoa, semoga seabad kebangkitan Indonesia
tidak menjadi beban peradaban
melainkan jadi pemanggul tegaknya keberadaban
yang bisa mengukir sebuah ketakberartian
menjadi keberartian yang penuh kagum merayu.

Bandung, 06 Mei 2008
--------------
Sukron Abdilah, Lahir di Garut, 22 Maret 1982. Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung (2007), selain menulis artikel, mengedit buku, sekarang lagi belajar nulis puisi bersama kawan-kawan di Komunitas Sastra Wau Qasam, Bandung.

[+/-] Selengkapnya...

Read More..

Penghulu di Kebun Salak

SEORANG penghulu biasanya hanya sibuk setiap akhir pekan di mana banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan. Tapi penghulu yang satu ini harus mengawinkan tipa hari. Tak perlu mengesahkan ijab kabul, tapi penghulu yang satu ini malah mengawinkan langsung kedua "mempelai" di tempat. Dalam sehari tak kurang dari 6000 calon pasangan yang harus diamatinya kalau sewaktu-waktu harus dikawinkan.

Bukan orang yang dikawinkan memang karena penghulu yang satu ini adalah petugas yang mengawinkan tanaman salak agar berbuah di Taman Wisata Mekarsari Bogor. Sarhan orangnya, penghulu yang setiap hari bertugas mengawinkan pohon salak, telah bertugas sejak taman wisata ini dibuka tahun 1995.

Selain mengawinkan, Sarhan juga bertugas mengawasi setiap perkembangan salak yang tumbuh. Apabila ditemukan buah salak yang terlalu dempet harus ada yang dipotong untuk memberi ruang kepada buah salak yang lain. Hal ini dimaksudkan agar setiap pohon mengahasilkan buah berkualitas unggul.

"Jika terlalu banyak, buahnya akan dempet sehingga kualitas buah tidak baik dan matangnya tidak merata," kata Sarhan, di kebun salak Taman Wisata Mekarsari Bogor, Kamis (6/11). Sarhan menjelaskan, mengawinkan salak gampang-gampang susah.

Tidak perlu teknik khusus tetapi penghulu harus jeli melihat si betina apakah sudah siap menerima tepung sari atau tidak. Tanda tandanya adalah kelamin betina yang berbentuk batang telah berwarna merah muda dan lengket jika disentuh. Jika keadaannya seperti itu maka kita tinggal menebar tepung sari yang telah kita kumpulkan terlebih dahulu.

Cara lain, langsung melalui alat kelamin jantan yang telah dilepas dan dikeringakan, lalu diketuk-ketukan agar tepung sarinya mudah terlepas. Setelah menempel tepung sarinya, lanjut Sarhan, si betina tadi harus dibungkus dengan daun salak selama seminggu. Hal ini dilakukan agar terhindar dari air dan kualitas buah tetap terjaga. Minggu pertama merupakan masa penting, jika terkena air serbuk akan luntur dan buah tidak matang dengan sempurna, tambah Sarhan.

Indikator keberhasilan perkawinan terlihat dari adanya bulu-bulu halus disekitar perkawinan. Bulu-bulu ini nantinya akan menjadi duri dan akan menghasilkan buah. Selama enam bulan, Sarhan harus memperhatikan pertumbuhan buah salak untuk menghindari serangan hama yang menyebabkan gagal panen.

Jika sudah dipanen maka tugas Sarhan selaku penghulu pengantin pohon salak telah selesai. Tugas selanjutnya adalah mencari calon baru di kebun salak ini yang menyimpan 17 varietas pohon salak dari berbagai daerah di Indonesia

"Semoga pohon salak disini tumbuh dengan subur dan selalu menghasilkan buah berkualitas baik," kata Sarhan sambil tersenyum.



Kompas.com



[+/-] Selengkapnya...

Read More..

2.12.2009

Suap Enak "Dikunyah" Susah Ditelan

oleh Miskudin Taufik

Bagi praktisi hukum termasuk aparat penegak hukum, kata "suap" pasti tidak terlalu asing, apalagi mereka yang pernah berhadapan langsung dengan dosen ilmu hukum, Prof Satochid Kartanegara yang dengan lelucon melukiskan suap ibarat permen karet, enak dikunyah tapi susah untuk ditelan.

Sindiran tersebut, secara kebahasaan sebenarnya hanyalah sebagai frasa biasa dan bukan bentuk kritik, tetapi sebaliknya sempat memancing petinggi Operasi Tertib (Opstib) pada tahun 1970-an berang dan kebakaran jenggot.

Kritik sang-dosen ini, bukan hanya didengar mahasiswa di depan kelas tetapi belakangan menjadi ungkapan keprihatinan masyarakat luas saat itu lantaran banyak oknum yang mengenyampingkan tindak kejahatan suap dibanding kejahatan korupsi, hingga akhirnya presiden Soeharto memerintahkan komandan Opstib Laksamana Soedomo untuk memberantas kedua penyakit masyarakat tersebut sampai keakar-akarnya.

Tetapi suasana penegakan hukum saat ini jauh berbeda, karena masyarakat dengan mudah menonton aparat penegak hukum "mengunyah" suap dimana-mana, di jalan raya, di kantor-kantor hingga di hotel-hotel tanpa rasa malu dan tanpa merasa melanggar hukum seperti yang diuraikan pasal pasal 209 dan 210 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) yang mengatur soal suap-menyuap dengan ancaman sanksi penjara dua hingga tujuh tahun penjara.

Jaman seakan mengikuti trend, tanpa memperhatikan substansi tentang akar masalah yang mengganggu kehidupan masyarakat tentang gangguan itu, malah belakangan dengan adanya Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) malah tindak kejahatan korupsi yang lebih dicari dibanding suap.

Tidak salah jika penemuan kasus korupsi jauh lebih "bombastis" dan penemunya mendadak "beken", lantaran media massa turut membesar popularitasnya, sementara peristiwa pidana yang terjadi rutin dan terang-terangan malah kurang tersentuh lembaga penegak hukum itu.

Jika lagi iseng, coba saja duduk santai di atas gedung di jalan Merdeka Selatan Jakarta, mengamati perilaku polisi lalu lintas yang sedang menunggu "mangsa" di Bunderan Bank Indonesia. Hampir setiap empat hingga enam menit, ada saja kendaraan yang salah jalan dan kemudian "cin-cincai" dengan aparat.

Lupa dari kebijakan

Bukan tidak disengaja KUHP jauh-jauh hari mengatur tentang suap, karena selain menyentuh rasa keadilan masyarakat juga merusak citra pemerintah. Suap malah jauh lebih tua usianya dibanding korupsi yang belakangan beberapa kali diatur melalui Undang-Undang.

Pengaturan pasal tentang suap, sudah ditemukan sejak pemerintah kolonial Belanda seperti yang tertuang dalam "algemeen strafrecht" atau pidana lokal dalam bentuk "plaatselijk strafrecht" yang belakangan dikenal dengan Peraturan Daerah (Perda).

Tetapi masih saja belum terjawab, apakah "lupa" atau sengaja dikesampingkan dalam kebijakan pemerintah (political will) untuk memberantas penyakit akut ini, karena dari awal berdirinya lembaga pemberantasan korupsi sejenis Opstib hingga berkali-kali ganti baju menjadi KPK, selalu terkesan "dianaktirikan" dari sentuhan penegakan hukum.

Kurang bukti? Ini alasan klasik yang kadang-kadang rakyat terbahak-bahak mendengarnya, karena sudah banyak pemantau dan pemerhati tentang tindakan polisi, jaksa, hakim, dan pegawai negeri sipil lainnya yang bergiat dalam dunia suap, sogok dan sejenis cincai-cincai tadi.

Beberapa waktu lalu, LSM Transparency International (TI) Indonesia dengan telak menyingkap temuannya dengan menyebut, institusi kepolisian berada di urutan pertama dari indeks suap yang terjadi diantara 15 institusi publik milik pemerintah, dengan indeks suap di tubuh kepolisian mencapai 48 persen dari 100 persen yang seharusnya melayani publik dengan baik selama tahun 2008.

Angka 48 persen tersebut hendaknya dibaca adalah hampir setengah dari total interaksi jajaran kepolisian terlibat suap dan ini rekor tertinggi diantara institusi publik lainnya yang rawan terjebak perbuatan suap seperti Bea Cukai (41 persen), Imigrasi (34 persen), DLLAJR (34 persen), Pemerintah kota (33 persen), BPN (32 persen) Pelindo (30 persen), Pengadilan (30 persen), Dephumkan (21 persen), Angkasa Pura (21 persen), pajak daerah (17 persen), Depkes (15 persen), pajak nasional (14 persen), BPOM (14 persen) dan MUI (10 persen).

Menurut KUHP, seseorang yang dapat dihukum penjara adalah mereka yang berstatus pegawai negeri termasuk polisi, hakim, jaksa dan sejenisnya tetapi tidak berlaku bagi mereka yang bukan berstatus tersebut seperti MUI. Tetapi jika data TI tersebut ditindak lanjuti maka paling tidak pemerintah menambah ruang penjara baru untuk kapasitas satu sampai dua juta orang nara pidana yang khusus menampung terpidana "suap. (*)


antara.co.id

[+/-] Selengkapnya...

Read More..

Potensi Moluska Indonesia Belum Digarap

Seminar dan pameran moluska di IPB, 11-12 Februari 2009.

Potensi keragaman dan berlimpahnya moluska di Indonesia saat ini belum dilihat sebagai produk hasil laut yang bernilai ekonomis tinggi. Akibatnya, importir luar negeri yang menikmati keuntungan dari perdagangannya. Dan, tidak ada yang bertanggungjawab atas kerusakan habitat moluska yang terjadi akibat penangkapannya.


"Potensi nilai ekonomis moluska (keong laut) puluhan triliun rupiah per tahun. Sebab, setiap jengkal garis pantai dihuni moluska, yang populasinya bisa dihitung," kata Fredinan Yulianda, peneliti moluska dari Institut Pertanian Bogor, di sela seminar nasional "Moluska: Peluang Bisnis dan Konservasi" di IICC Bogor, Rabu (11/2).

Menurut dia, moluska bisa diambil dagingnya atau cangkangnya. Seminar dan pameran produk moluska itu sendiri berlangusng sampai Kamis besok.

Yulianda, yang juga ketua panitia pelaksana seminar ini, mengatakan, berdasarkan data dari Departemen Kelautan dan Perikanan, ekspor produk moluska pada tahun 2007 mencapai Rp 26 triliun. Ini mengalami kenaikan yang cukup besar dibanding tahun sebelumnya (2006) Rp 21 triliun.

"Angka ekspor moluska sesungguhnya jauh lebih besar, sebab yang terdata itu produk daging moluska. Padahal, cangkan moluska pun banyak diekspor," katanya.

Dosen di Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, itu mengungkapkan, pembeli moluska dari luar negeri, seperti Thailand, Korea, Jepang, datang dan membeli langsung ke nelayan. Begitu juga dengan eksportir, langs ung mendatangi nelayan di lokasi-lokasi penangkapan ikan. Mereka membeli murah moluska tangkapan nelayan.

Misalnya saja keong macan yang hidup di kedalaman antara 10-20 meter dibeli dari nelayan penangkapnya hanya satu dollar AS per kilogram. Di Thailand, moluska ini dijual dengan harga 10 dollar per kilogram. "Jadi, keuntungan sangat besar jatuh ke penerima moluska itu di luar negeri,: katanya.

Ia mengaku prihatin, karena kelestarian habitat dan keberlanjutan hidup moluska di sini justru tidak ada yang bertanggung jawab. Sebab, moluska yang diperdagangkan itu adalah hasil tangkapan langsung dari laut, bukan hasil budidaya.

Dalam praktiknya, nelayan menjaring moluska di lokasi-lokasi tertentu sampai di lokasi itu tidak ada produksinya lagi. Setelah itu, mereka akan mencari lokasi baru di mana moluska masih banyak di dapat. Dengan demikian, penangkapan moluska tanpa terkendali itu berpotensi merusak lingkungan bawah laut.

Berkaitan dengan itu, lanjut Fredinan Yulianda, semua pihak yang peduli dengan potensi moluska ini membuat seminar dua hari, yang hasilnya akan dipublikasikan dan diserahkan ke instansi terkait, termasuk pemerintahan daerah.

Harapannya, moluska menjadi perhatian semua pihak, sehingga dapat meningkatkan perekonomian daerah. Karena peluang bisnisnya sangat besar, keberlanjutan hidup moluska harus terjaga. "Dengan demikian, konservasi habitat moluska juga akan menjadi perhatian semua pihak juga," katanya.


Kompas.com

[+/-] Selengkapnya...

Read More..