Oleh: Ahmad Satori, S.P.
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dikenal memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa, baik flora, fauna maupun mikroba. Namun kenyataan menunjukkan bahwa potensi kekayaan tersebut belum optimal dimanfaatkan. Indonesia dikategorikan sebagai wilayah Hot Spot, kaya dengan sumber daya hayati tetapi kondisinya terancam punah. Di mata internasional Indonesia juga dianggap kurang serius dalam menangani kelestarian sumber daya hayati. Anggapan ini rasanya tidak berlebihan karena terbukti emas hijau yang terhampar di hutan-hutan di wilayah republik ini dari waktu ke waktu jumlahnya makin menurun dengan laju yang semakin cepat, beberapa jenis dan varietas mulai langka bahkan ada yang telah punah sama sekali.
Kehidupan manusia sangat bergantung kepada sumber daya hayati sebagai sumber bahan pangan, sandang, papan dan bahan penunjang pengembangan industri. Peningkatan jumlah, jenis maupun kualitas kebutuhan manusia mendorong upaya pemanfaatan sumber daya hayati secara terus menerus, oleh karena itu kekayaan tersebut harus diamankan. Dalam pengamanannya dituntut perubahan sikap dari defensif yaitu melindungi alam dari pengaruh pembangunan menjadi upaya ofensif untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya hayati sekaligus mempertahankannya untuk kehidupan di masa yang akan datang.
Krisis Pangan
Persoalan rawan pangan yang menimpa penduduk negara-negara berkembang termasuk Indonesia perlu segera ditangani dan diantisipasi karena proyeksi penduduk pada tahun 2030 nanti ternyata memperlihatkan jumlah yang cukup fantastis, naik kurang lebih 160% dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 1990. Keanekaragaman genetika merupakan bahan mentah terpenting untuk mengembangkan bioteknologi modern dalam perakitan tanaman yang dipandang mampu menyelesaikan problematika pangan. Sumber daya genetika yang ada saat ini merupakan anugerah terakhir yang memberikan harapan untuk mengubah nasib bangsa ini menuju kecukupan pangan, mengentaskan kemiskinan sekaligus meningkatkan kesejahteraan.
Indonesia merupakan tempat tinggal lebih dari 6000 tumbuhan dari 28.000 jenis tumbuhan di dunia yang telah diketahui potensinya dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Dalam memenuhi kebutuhan pangan seperti karbohidrat, protein dan vitamin telah dimanfaatkan tidak kurang dari 900 jenis tumbuhan.
Tanaman Herbal Punah
Aktivitas perambahan hutan yang hingga kini terus terjadi semakin mengancam keberadaan sejumlah tanaman obat tradisional. sejumlah tanaman obat yang kerap digunakan masyarakat untuk pengobatan tradisional semakin jarang dijumpai.
Perambahan hutan yang mengancam tanaman tradisional itu, disebabkan oleh konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, dan aktifitas penebangan kayu dalam hutan baik legal maupun ilegal.
kehancuran ekosistem hutan berdampak pula pada hilangnya tanaman-tanaman obat tradisional, sedangkan minat masyarakat untuk budidaya tanaman obat tradisional masih sangat rendah. Keadaan ini makin buruk dengan adanya eksploitasi dan ekstrasi sumber daya hayati hutan melalui HPH (Hak pengusahaan hutan). Proses penggundulan telah mengikis habis jutaan hektar lahan hutan. Kekayaan flora dan fauna yang ada didalamnya ikut hilang untuk selamanya. Kerusakan hutan di Indonesia kini diperkirakan mencapai 1,6 juta hektar per tahun.
Mulai dari hal yang kecil, Mulai dari diri sendiri, Mulai saat ini juga
Kondisi sumber daya genetika sangat dipengaruhi proses pembangunan. Pembangunan di sektor pertanian. Eksploitasi tanpa dasar ilmiah memberikan dampak yang memprihatinkan. Fragmentasi dan kerusakan habitat, pengurasan populasi alaminya dan penanaman kultivar unggul yang terus menerus sehingga mendesak kultivar lokal akan menyebabkan keanekaragaman genetika makin lama makin menipis dan akan berakhir dengan kepunahan gen-gen yang berpotensi.
Pengelolaan sumber daya hayati termasuk sumber daya genetika yang ada didalamnya menjadi tanggung jawab yang berat terutama bagi pengambil keputusan, lembaga riset, perguruan tinggi maupun para intelektual. Dalam kegiatan ini masyarakat perlu dilibatkan agar mereka menyadari ketergantungan hidupnya kepada kekayaan biota tersebut. Dengan mengetahui potensi dan manfaatnya diharapkan penghargaan terhadap sumber daya hayati dan keanekaragaman genetikanya semakin meningkat sehingga tingkat kerusakan yang terjadi dapat ditekan.
Solusi yang paling realistis untuk menanggulangi erosi sumber daya genetik yang terus terjadi adalah dengan melakukan konservasi genetika. Kegiatan ini berupa pengelolaan koleksi dan pemeliharaan pusat-pusat sumber daya daya genetik yang mewakili spektrum keanekaragaman genetik, termasuk didalamnya koleksi kultivar lokal tradisional dan kerabat liarnya.
Ini adalah tanggung jawab kita semua.Marilah kita mulai menanam untuk masa depan yang lebih baik. ”Mulailah dari hal yang kecil, Mulailah dari diri sendiri, dan Mulailah saat ini juga”.
Diterbitkan di “Benih Kita” Edisi Tahun III No.5/2010, halaman 24-25
10.29.2011
Selamatkan Plasma Nutfah Tumbuhan Kita Sekarang!
9.30.2011
PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN PEPAYA
Oleh: Ahmad Satori, S.P.
(Tulisan ini didedikasikan untuk Mengenang Jasa Almarhumah Prof.DR. Sriani Sujiprihati, Ahli Pepaya IPB, Dosen Pembimbing Skripsi penulis)
Pepaya harus dipanen pada saat yang tepat sesuai tingkat kematangan sehingga buah yang dipanen akan matang secara normal dan menghasilkan buah dengan aroma dan rasa yang bagus. Beberapa tanda yang bisa digunakan untuk menentukan kematangan buah yaitu: perubahan warna kulit, lama waktu dari saat bunga mekar, perubahan tekstur daging buah, perubahan bobot buah, dan perubahan komposisi kimianya. Perubahan warna kulit biasanya digunakan oleh petani dan pedagang. Tingkat kematangan ditentukan oleh derajat warna kuning yang terlihat dan pemanenan dilakukan tergantung tujuan pasar. Buah-buah yang akan dikirim ke pasar yang jauh biasanya dipanen pada saat warna kulit buah baru sedikit menggurat kuning. Pada tingkat warna ini, buah dapat bertahan lebh lama (tidak cepat busuk).
Untuk tujuan pasar lokal, buah dipanen pada tingkat kematangan yang lebih tinggi yaitu ketika tiga perempat kulit buah sudah berwarna kuning dan warna tangkai buah juga mulai berubah menjadi kuning. Buah-buah seperti ini harus dipasarkan cepat karena buah tidak akan bertahan lama dengan jarak hidup yang sangat pendek hanya sekitar 3-4 hari.
Sebuah metode yang sistematik dalam menggambarkan/menjelaskan tanda-tanda warna untuk pepaya dijelaskan oleh Lam, P.F (1987) dalam tulisannya yang berjudul : “Ciri-ciri Fizikal, Fisiologi dan Biokimia Buah Betik”. Index warna buah diberikan nilai menurut tingkat kematangan buah seperti terlihat pada gambar 1. Buah untuk pasar yang jauh harus dipanen pada index warna 2 & 3. Buah yang berada pada index warna 1 tidak dapat dikonsumsi langsung karena buah masih sangat hijau dan bila dipetik buah tidak akan matang secara normal. Buah yang dipanen pada index warna 4 & 5 hanya sesuai untuk pasar lokal.
Gambar 1. Index warna pepaya
Index warna Warna kulit
1 Hijau penuh
2 Hijau dengan gurat kuning
3 Lebih banyak hijau daripada kuning
4 Lebih banyak kuning daripada hijau
5 Kuning dengan gurat hijau
6 Kuning penuh
Pemanenan
Pemanenan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari luka dan memar pada kulit buah. Buah yang luka akan mudah terinfeksi oleh bakteri dan jamur. Pemanenan dapat dilakukan pada pagi hari untuk mencegah kehilangan kelembaban, namun pemanenan lebih baik dilakukan pada siang hari untuk mengurangi kadar getahnya.
Buah pepaya biasanya dipanen dengan tangan (lebih baik lagi bila menggunakan sarung tangan) terutama ketika tanaman pepaya masih kecil dan mudah dijangkau. Ketika tanaman pepaya sudah lebih tinggi dan sulit dijangkau dengan tangan, pemetikan buah bisa dibantu dengan menggunakan tangga atau juga dapat digunakan galaj kayu atau bambu yang diujungnya dilengkapi dengan pisau atau alat pemotong lainnya serta dilengkapi dengan keranjang atau jarring untuk menangkap buah agar buah tidak jatuh ke tanah.
Buah yang telah dipanen dikumpulkan dan ditempatkan di dalam keranjang bambu atau plastik yang dialasi dengan Koran atau daun pisang sebelum dibawa ke tempat pengepakan. Untuk mencegah memar, masing-masing buah dibungkus dengan Koran sebelum diletakkan di dalam keranjang.
Sortasi dan Perlakuan
Sortasi (pemilahan) buah di lapangan dilakukan untuk memisahkan buah yang tidak sesuai untuk dipasarkan. Kegiatan tersebut antara lain memisahkan buah yang bentuknya tidak baik, buah yang terlalu muda, terlalu matang, buah yang luka, rusak, buah yang diluar kriteria yang ditentukan atau buah yang tidak sesuai dengan standar kualitas minimal yang diminta oleh pasar. Sortasi ditingkat lapangan ini membantu mengurangi beban transportasi dan meringankan pengolahan di tempat pengepakan. Selanjutnya sortasi buah dilakukan pada saat pencucian buah.
Pencucian diperlukan untuk menghilngkan kotoran, benda asing, dan terutama menghilangkan getah pada kulit buah. Pencucian dilakukan secara manual dengan cara merendam buah ke dalam air bersih dan digosok dengan kain atau dengan sepon yang halus. Selama pencucian, buah yang rusak, terkena penyakit, atau luka dipisahkan untuk mencegah penularan kepada uah yang lain. Tangkai buah dipotong dan disisakan sekira 1 cm untuk mencegah luka. Buah juga dapat dicuci dalam air yang telah dicampur dengan desinfektan seperti SOPP 500 mg/kg (ppm) selama 30 detk, klorin (sodium hypochlorite 0.1%) dan alum 10% sebagai penghilang getah.
Setelah pencucuian, buah pepaya yang terpilih untuk diekspor atau disimpan lama diberi perlakuan dengan air panas atau fungisida. Sedangkan buah yang akan dikonsumsi segar atau untuk pasar lokal tidak perlu diberikan perlakuan tersebut. Perlakuannya yaitu meliputi perendaman buah ke dalam air panas (suhu sekitar 49-50 oC) selama 10 menit, diikuti dengan pendinginan dengan menggunakan air mengalir (air kran) selama 20 menit.
Pencegahan penyakit akan lebih efektif dengan merendam buah ke dalam fungisida (250 mg/kg (ppm) propiconazole) selama 5 menit atau 200 mg/kg (ppm) prochloraz selama 2-3 menit atau 1,1 ml/L thiobendazole selama 5 menit. Perlakuan dengan bahan kimia tersebut membantu pencegahan terhadap penyakit seperti antraknosa dan busuk pangkal buah terutama selama dalam masa penyimpanan.
Pemilahan Buah
Buah pepaya dipilih berdasarkan index warna kulit, bobot, ukuran dan bentuknya. Buah-buah tersebut harus seragam dalam hal warna dan bentknya.
Pengepakan
Untuk pasar ekspor, pepaya dibungkus busa polyurethane putih (lihat gambar 2) untuk menjaga buah dari memar karena benturan selama dalam perjalanan. Setelah masig-masing buah dibungkus, kemudian dimasukkan ke dalam kemasan dus karton dan disusun sedemikian rupa dengan pangkal buah berada di bawah.
Gambar 2. Pengepakan Pepaya untuk pasar eksport
Untuk pasar lokal, buah biasanya tidak dibungkus. Buah hanya dikemas di dalam keranjang bambu atau plastik yang dialasi dengan koran. Setiap keranjang dapat menampung buah sampai dengan berat 30 Kg. Di Filipina, buah untuk pasar lokal pun dibungkus setiap buahnya dengan kertas Koran (dibungkus setengah bagian buah dari mulai ujung pangkal buah sampai tengahnya), lalu dikemas di dalam kerat kayu berukuran 60X45X35 Cm yang dilapisi 3 lembar kertas Koran. Masing-masing kerat kayu tersebut berisi 20-22 Kg atau sekira 35-40 buah pepaya di dalamnya.
Gambar 3. Pengepakan pepaya untuk pasar lokal di Filipina
Pengangkutan
Alat pengangkutan untuk pasar lokal biasanya tidak dilengkapi dengan alat pendingin. Biasanya kotak pengangkut hanya dilapisi terpal untuk mencegah agar buah tidak terkena sinar matahari langsung. Buah yang diangkut dengan menggunakan pesawat ditempatkan pada kargo yang tidak berpendingin. Untuk buah yang diangkut menggunakan kapal laut harus menggunakan pendingin dengan suhu diatur pada 10-12 oC.
Tulisan ini didedikasikan untuk mengenang jasa Almarhumah Prof. DR. Sriani Sujiprihati, M.Si. Beliau adalah dosen pembimbing skripsi penulis sewaktu penulis menyelesaikan S1 pada Program Studi Pemuliaan Tanaman Institut Pertanian Bogor.
(Dipublikasikan di Tabloid: Sinar Tani Edisi 28 September - 4 Oktober 2011 No. 3424 Tahun XLII, Halaman 14)
9.23.2010
Mengajak Masyarakat Melirik Pangan Nonberas
Kebergantungan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap beras masih terbilang tinggi. Agar upaya diversifikasi pangan berjalan lancar harus sembari mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi masyarakat.
Setiap manusia tentunya membutuhkan gizi seimbang demi kesehatan dan perkembangan tubuhnya. Kecukupan gizi itu bisa terpenuhi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Namun, persoalannya, tidak ada satu pun jenis makanan yang mengandung unsur-unsur gizi lengkap seperti yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.
Untuk menyiasati kekurangan itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan ialah diversifikasi pangan. Memang, diversifikasi pangan bukanlah isu baru, bahkan selalu mengemuka dalam peringatan Hari Gizi Nasional dan Makanan yang jatuh tiap 25 Januari.
Upaya diversifikasi atau penganekaragaman pangan pun kerap didengung-dengungkan untuk dipercepat, apalagi ketika beras sebagai pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia harganya beranjak naik. Kenaikan itu terjadi pula pada beberapa pekan belakangan ini.
Harga beras rata-rata melonjak 1.000 rupiah per kilogram. Untuk beras jenis IR 64 yang berkualitas rendah, misalnya, harganya naik dari 5.300 rupiah menjadi 6.200 rupiah per kilogram.
Diversifikasi pangan, dijelaskan Hermanto, Sekretaris Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, merupakan upaya pemilihan pangan oleh seseorang dan tidak bergantung pada satu jenis saja, melainkan banyak pilihan bahan pangan.
Adapun pangan pokok utama didefinisikan sebagai pangan yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk secara rutin sehari-hari dalam jumlah besar sebagai sumber energi.
Secara historis, pangan pokok lokal penduduk Indonesia sebenarnya sudah beragam. Lihat saja, penduduk di Provinsi Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Papua terbiasa mengonsumsi sagu, sementara masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Madura kerap mengonsumsi jagung.
Masyarakat di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung pun sudah familiar mengonsumsi ubi kayu sebagai pangan pengganti beras.
Namun, seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman, proses introduksi beras dengan berbagai macam keunggulan dan kemudahannya untuk dimasak menggeser pola konsumsi seluruh penduduk Indonesia. Bahkan hingga saat ini, tingkat kebergantungan masyarakat Indonesia pada beras sebagai bahan pangan pokok masih tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sampai saat ini, tingkat konsumsi beras di Indonesia mencapai 104 kilogram per kapita per tahun (kg/kap/tahun).
Angka itu dianggap masih tinggi. Karena itu, pemerintah mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan penduduk.
Strategi yang dilakukan untuk tujuan tersebut ialah menginternalisasi penganekaragaman konsumsi pangan dan mengembangkan bisnis serta industri pangan lokal.
Menurut Hermanto, strategi tersebut dibagi dalam dua periode. Periode pertama berlangsung dari tahun 2009 sampai 2011 dan periode kedua dari tahun 2012 sampai 2015.
Pada periode pertama, strategi yang ditempuh masih difokuskan pada internalisasi penganekaragaman konsumsi pangan dengan gizi seimbang dan aman.
Untuk menerapakan strategi itu, pemerintah telah melakukan berbagai macam gerakan berupa kampanye, sosialisasi, advokasi, dan promosi percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, khususnya di daerah-daerah marginal.
Tidak hanya itu, BKP juga menggandeng Kementerian Pen didikan Nasional untuk memasukkan materi makanan pokok lokal ke kurikulum pendidikan di tingkat sekolah dasar (SD).
BKP juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menerjunkan tenaga penyuluh memberi pembinaan kepada para ibu rumah tangga maupun industri skala kecil untuk membuat produk dari sumber daya pangan lokal.
Menteri Pertanian juga pernah mengimbau seluruh pemerintah daerah untuk menyediakan makanan nonberas sebagai makanan yang dikonsumsi ketika rapat.
Imbauan untuk menyediakan menu makanan nonberas ditujukan pula pada maskapai penerbangan Garuda dan beberapa hotel.
“Tak lupa pemerintah juga mengembangkan ketersediaan bahan baku dan pasar domestik aneka ragam pangan, baik segar maupun olah an,” ujar Hermanto.
Berbagai upaya pengalihan perhatian penduduk dari beras itu diharapkan dapat menurunkan tingkat konsumsi beras hingga mencapai 99,3 kg/kap/tahun pada 2011 dan 91 kg/kap/tahun pada 2015.
Lantas, apakah strategi percepatan penganekaragaman pangan itu akan berhasil? Harry Susianto, pengamat perilaku konsumen dari Universitas Indonesia, pesimistis akan hal itu.
Menurutnya, pola konsumsi seseorang merupakan proses belajar yang juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi.
Sebagai contoh, berbagai menu makan siap saji (fast food) asal Amerika Serikat, seperti makanan yang tersedia di McDonald, membutuhkan waktu 15 tahun untuk bisa diterima oleh masyarakat Belanda.
Ada dua alasan yang melatari masyarakat Negeri Kincir Angin itu tidak bisa menerima makanan siap saji dalam waktu singkat.
Pertama, mereka kerap berpikir ulang mengeluarkan uang untuk mengubah pola konsumsi yang selama ini telah mereka jalani.
Alasan lainnya, masyarakat Belanda memiliki kesadaran tinggi bahwa makanan siap saji kurang sehat untuk dikonsumsi sehari-hari. Kelas Dua Kondisi yang berbeda terjadi di Indonesia.
Masyarakat Indonesia justru sangat welcome dengan makananmakanan siap saji. “Hal itu bisa terjadi lantaran kebanyakan masyarakat di negeri ini hanya memburu gengsi.
Dari kondisi itu, bisa dikatakan bahwa faktor sosial ekonomi masyarakat di suatu negara turut memengaruhi pola konsumsi masyarakatnya,” ujar Harry yang juga mengamati behavioral economics itu. Dengan demikian, lanjutnya, upaya Pemerintah Indonesia mendorong masyarakat untuk tidak bergantung pada beras masih terlalu berat.
Sebab, sampai sekarang, sebagian besar masyarakat masih berasumsi bahwa makanan nonberas seperti umbi-umbian merupakan makanan kelas dua yang biasa dikonsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Bisa dikatakan pola konsumsi sebagian besar masyarakat masih berorientasi pada pencitraan diri. Semakin tinggi tingkat sosial seseorang, makanan yang dipilih pun cenderung berupa exotic food (makanan asing).
Mereka beranggapan makanan itu bisa menaikkan gengsi. Untuk itu, lanjut Harry, salah satu cara mengubah pola konsumsi makanan pokok masyarakat ialah melalui pendekatan pencitraan yang baik terhadap makanan nonberas.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan sebagai bentuk konkret sosialisasi pengalihan konsumsi bahan pangan, termasuk sumber karbohidrat nonberas.
Salah satunya Presiden memberi contoh mengonsumsi singkong, kentang, atau jagung setiap Senin dan Kamis. “Dengan demikian, masyarakat tidak akan merasa malu untuk turut mengonsumsi makanan- makanan itu karena Presiden juga mengonsumsinya,” papar Harry.
Menanggapi upaya sosialisasi yang dilakukan pemerintah, Mulyono Machmur, Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan BKP, menyatakan sebenarnya pemerintah pusat sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang mengajak masyarakat mengurangi konsumsi beras setidaknya satu hari dalam satu bulan atau satu pekan.
Kebijakan itu telah diterapkan di beberapa daerah, antara lain di Kabupaten Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara, melalui gerakan one day no rice.
Meski demikian, Mulyono mengakui bahwa dalam pelaksanaannya, gerakan itu tidak berjalan lancar akibat adanya pemberitaan miring di media masa.
Sebagai contoh, ketika masyarakat Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, pada bulan tertentu mengonsumsi tiwul sebagai makanan pokok, media massa justru memberitakan di daerah itu terjadi krisis pangan.
Padahal, kata Mulyono, pola konsumsi itu berkaitan erat dengan kearifan lokal yang masih dianut sebagian masyarakat setempat. “Ini yang menjadi tantangan pemerintah saat ini,” tandasnya.
sumber: Koran Jakarta
9.02.2010
BUDIDAYA PADI DENGAN PENGELOLAAN SISTEM PENGENDALIAN HAMA TERINTEGRASI
Hama selalu muncul ketika kita menanam padi, baik sedikit maupun banyak, masih berada dibawah ambang kendali ataupun telah melebihi ambang kendali, belum mencapai ambang ekonomi maupun sudah merusak secara ekonomi. Hal tersebut sangat wajar, karena hama adalah makhluk hidup yang butuh makan dan berkembang biak. Maka ketika ada tempat yang sesuai dan tersedia banyak makanan, pasti hama datang menghampiri seperti pepatah ”ada gula pasti ada semut”, ada padi pasti ada wereng, ada walang sangit, ada ulat grayak, ada penggerek batang, dan ada hama-hama yang lainnya.
Pengelolaan Sistem PHT
Ketika dunia pertanian semakin maju, berbagai macam varietas padi diciptakan agar tahan dari serangan hama, namun berbagai macam pula hama yang muncul. Beragan racun diracik untuk membunuh hama-hama tersebut, akan tetapi semakin beragam pula hama-hama baru yang resisten berdatangan.
Penggunaan racun-racun yang sangat tidak bijak semakin menambah bermunculannya hama-hama yang resisten.
Lalu, bagaimanakah kita menyikapi hal itu ? Pengelolaan Pengendalian Hama Terintegrasi mungkin bisa menjadi salah satu jawabannya. Mengapa disebut ”Terigrasi” ? menurut artinya ”Terintegrasi” adalah ”bagian yang tak terpisahkan”, ”menyatu”, menyatu dengan apa ? menyatu dengan sistem bercocok tanam. Jadi Pengelolaan Sistem Pengendalian Hama Terintegrasi adalah pengelolaan sistem pengendalian hama yang tidak bisa dipisahkan/yang menyatu didalam sistem bercocok tanam,dalam hal ini padi.
Pengelolaan Ekosistem Tanaman
Pengelolaan ekosistem tanaman mutlak dilakukan dengan memanfaatkan sebanyak-banyaknya kaidah-kaidah perlindungan tanaman dan prinsip dasar PHT, yaitu : budidaya tanaman sehat, konservasi ekosistem dan pengamatan. Hal yang paling utama dalam pengelolaan ekosistem tanaman adalah perencanaan waktu tanam. Sebab perencanaan waktu tanam berkaitan dengan banyak hal, seperti curah hujan, keadaan tanah, suhu rata-rata harian, masa serangan tikus, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pengamatan yang dilakukan terus menerus dan pengalaman dari musim-musim sebelumnya sangat diperlukan.
a. Pengelolaan Benih dan Persemaiaan
Sebelum menyemai padi, usahakan ketahui daya kecambah benih, sebab daya kecambah benih yang jelek jelas akan menurunkan produksi. Daya kecambah benih yang rendah menunjukkan tidak optimalnya energi yang dimiliki oleh benih tersebut sehingga daya tahan terhadap serangan hama juga rendah yang berdampak pada tingginya inetnsitas serangan hama.
Benih disemai jarang, jangan sampai benih bertumpuk. Untuk itu dibutuhkan lahan persemaian yang agak luas. Untuk luasan 1 ha, lahan persemaian yang diperlukan minimal 500 m2. Bila benih bertumpuk berakibat pada tingginya kompetisi untuk memperebutkan unsur hara sehingga pertumbuhan bibit tidak maksimal. Bibit yang tumbuh berdesakan juga membuat susasana diantara tanaman menjadi lembab karena tidak lancarnya sirkulasi udara dan sinar matahari pun sulit menembus sela-sela tanaman. Suasana yang lembab sangat disenangi oleh hama, sehingga hama akan cepat sekali berkembang biak. Pemberian pupuk dipersemaian juga dibutuhkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan bibit, sehingga bibit menjadi sehat dan kuat serta lebih tahan terhadap serangan hama.
b. Pengelolaan Lahan dan Pertanaman
usahakan tanah dibajak dalam yaitu sekitar ± 20 cm dan dibajak secara rata. Tanah dibajak dalam adapat emngurangi kejadian karat tanah, menurunkan populasi keong emas, menurunkan populasi anjing tanah (orong-orong) dan dapat meningkatkan pH tanah. Pada sisi dalam pematang, buat parit yang akan menampung air ketika air dikeluarkan dari dalam petakan.
Adanya air didalam parit, bukan didalam petakan sawah, akan menggiring keong emas untuk berkumpul diparit tersebut dan tidak merusak padi yang baru ditanam.
Pada saat tanam, uasahakan air didalam petak sawah macak-macak, ini membantu mengurangi terjadinya serangan keong emas. Menggunakan jarak tanam lebar dan sistem legowo 2 : 1 membuat tanaman dapat memanfaatkan sinar matahari lebih efektif dan mencegah terjadinya kelembaban yang tinggi yang pada gilirannya dapat mencegah hama berkembang biak.
Penyiangan runmput/gulma secara rutin akan memberikan dampak nyata dalam pertumbuhan dan perkembangan padi. Gulma yang dibiarkan hidup diantara tanaman padi dapat mengeluarkan zat allelopati dan merebut unsur hara yang dibutuhkan tanaman sehingga tanaman menjadi tidak sehat dan rentan terhadap serangan hama. Gulma juga dapat menjadi inang.
Pemberian pupuk yang berimbang akan membuat tanaman sehat sehingga tahan terhadap serangan hama. Penggunaan pupuk yang berlebihan bukan membuat bagus pertumbuhan, tetapi malah membuat sistem ketahanan tubuh tanaman menjadi lemah dan akibatnya akan sangat rentan terhadap serangan hama. Seperti manusia yang berlebihan makan akan membuat tubuh lemah. Meskipun kelihatan gemuk dan subur bukan berarti tubuhnya sehat, tetapi malah tubuh menjadi berat, sulit untuk bergerak dan akibatnya penyakitpun akan datang menyerang.
c. Pengelolaan Air
Air sangat penting didalam budidaya padi. Pengaturan air secara intermitten membantu tanaman padi lebih kokoh dan mengefesienkan penggunaan air. Air adalah penyimpan panas. Bila ada air, periode embun menjadi lebih lama. Pengembunan (kondensasi) terjadi bila perubahan suhu tanah dari panas menjadi dingin, dan air menjaga suhu tanah tetap stabil.
Katahanan Ekologis
Sistem katahanan yang utama adalah sistem ketahanan ekologis, yaitu dengan mengusahakan pada tanam yang baik sehingga pengendali alami yang tersedia di alam seperti pathogen, serangga, parasitoid, cendawan antagonis, predator dan kompetitor dapat hidup dan membantu tanaman mempertahankan diri dari serangan hama.
Sistem ketahanan ini terbagi tiga, yaitu : mengoporasikan sistem, mengendalikan/mengontrol sistem dan mengganti sistem.
1). Mnegoperasikan sistem. Sistem ketahanan ekologis dioperasikan dengan cara melakukan pola tanam, pengolahan tanah, pemupukan dan pemeliharaan yang baik. Dengan melakukan sistem budidaya yang baik tersebut, maka secara otomatis sistem ketahanan terhadap serangan hama juga akan berjalan dengan baik seperti dijelaskan pada Pengelolaan Ekosistem Tanaman di atas.
2). Mengendalikan (mengontrol) sistem dilakukanagar sistem berjalan dengan baik. Untuk mengontrol sistem dapat dilakukan dengan pengamatan. Sistem yang tidak berjalan dengan baik dapat diketahui dari pertumbuhan tanaman yang jelas seperti jumlah anakan yang sedikit, tanaman kerdil, adanya hama putih dan lain sebagainya. Apabila ada tanda pertumbuhan tanaman yang jelek seperti itu, dapat lanmgsung diambil tindakan agar sistem ketahanan berfungsi dengan baik, contohnya bila ada tanaman yang pertumbuhannya jelek, berarti akarnya bermasalah sehingga tanaman tidak dapat menyerap hara dengan baik. Untuk menanggulangi kita dapat berikan pupuk daun agar tanaman tersebut dapat memperbaiki sistem ketahanan didalam tubuhnya salah satunya adalah perbaikan akar.
3). Mengganti sistem. Di alam, ada yang kita sebut sebagai pengendalian secara alami seperti musuh alami. Jika sistem pengendali di alam terganggu atau hilang atau belum ada, maka mau tidak mau kita harus menggunakan sesuatu untuk menggantikan sistem yang belum ada atau yang hilang itu. Contohnya pada awal pertumbuhan, penggunaan furadan dapat membuat pertumbuhan akaer selama 20 hari pertama dapat berjalan dengan normal. Pada awal-awal pertumbuhan, tanaman belum memiliki sistem pengendalian alami, sehingga perlu dibantu agar sistem dapat berjalan dengan baik.
Penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama juga boleh digunakan apabila hama tersebut telah melebihi ambang kendali dan ambang ekonomi.
Pengamatan
Dari semua hal yang telah dibahas di atas, intinya adalah ”pengamatan”. Pengamatan diperlukan untuk perencanaan waktu tanam dan pengendalian hama sebagai contoh pada bulan April, suhu tanah rata-rata harian sedang tinggi-tingginya. Tanah akan mengeluarkan zat-zat berbahaya seperti karat tanah dan keasaman tanah meningkat tajam. Oleh karena itu jangan mulai menanam pada bulan tersebut. Tikus menyerang pada akhir masa kawin, yaitu sekitar bulan Mei sampai Juni dan November sampai dengan bulan Desember. Hal tersebut diperoleh dari pengematan yang terus menerus dan pasti berbeda ditiap daerah.
Faktor yang berkaitan dengan adanya serangan hama pun harus diamati dan dicatat dengan baik. Seperti adanya serangan penggerek batang padi akan terjadi pada pertengahan bulan hijriyah pada saat bulan purnama.
Bila ingin menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama tersebut, penyemprotan akan efektif bila dilakukan sekitar tanggal 10 atau lima hari sebelum purnama. Begitu pula wereng, hama ini akan menyerang pada pertengahan bulan masehi. Hal ini pun didapat dari pengamatan. Bila ingin menyemprot wereng, tunggu hingga instar1 menetes semua, cirinya bila tanaman padi kita goyangkan akan banyak sesuatu yang putih-putih seperti kelapa yang diparut. Contoh lain, apabila pada bulan Agustus sampai September masih banyak hujan dan vegetasi liar masih hijau, maka bersiap-siaplah untuk serangan walang sengit karena mereka bertahan disemak-semak yang masih hijau tersebut.
Fakta dari hasil pengamatan yang disebutkan disini diharapkan menjadi penggerak atau inspirasi bagi yang belum tahu akan memulai pengamatan dari mana. Pengamatan harus dilakukan secara kontinyue karena pola dan waktu serangan hama dapat berubah dari tahun ke tahun. Sebenarnya masih banyak lagi fakta-fakta yang terungkap yang didapatkan dari pengamatan yang sangat berguna agar kita lebih waspada dan dapat menghindari tanaman kita dari serangan hama. Namun yang perlu ditekankan adalah fakta-fakta yang disebutkan disini hanyalah salah satu contoh yang terjadi disuatu daerah. Hal-hal tersebut bisa sangat berbeda didaerah lain. Oleh karena itulah pengamatan harus dilakukan terus menerus dan disetiap daerah. Dengan mengamati, kita akan lebih peka terhadap lingkungan, lebih waspada dan yang terpenting dapat menghindarkan ancaman puso akibat serangan hama, karena ”mencegah lebih baik daripada mengobati”
sumber: pengamatan dan belajar langsung di sawah beberapa tahun di lampung
8.28.2010
KEARIFAN LOKAL UNTUK KETAHANAN PANGAN
Pemerintah memiliki program ketahanan pangan salah satunya melalui diversifikasi produk makanan agar masyarakat tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok, namun harus berupaya mencari alternatif lain yang digunakan sebagai bahan makanan pokok. Pembangunan Pertanian selama ini hanya bertumpu pada beras, mendesak kearifan lokal hingga titik kritis. Padahal kearifan lokal bisa saja menjadi jawaban tersendiri atas pemenuhan kebutuhan pangan. Kepala Negara menyatakan dengan kearifan lokal, Indonesia bisa mewujudkan swasembada dan kemandirian pangan. "Di tengah-tengah permasalahan dunia seperti krisis pangan dan energi, kita harus mencari apa yang bisa kita lakukan secara domestik untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi di dalam negeri," kata Presiden pada pembukaan konferensi nasional dan pameran bertema Kearifan Lokal Perempuan Indonesia Menuju Ketahanan Pangan di Jakarta, tahun 2008 silam. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Bahkan Indonesia bersama Kongo dan Brasil disebut sebagai mega biodiversity. "Tidak ada cerita Indonesia kekurangan pangan kalau kita pandai mengelolanya. Mari kita kelola kembali, go local, back to nature, agar kita betul-betul bisa membangun ketahanan pangan. Swasemba dan kemadirian bukan ilusi. Kita bisa mewujudkan mimpi ini," katanya.
Indonesia masih menyebut diri sebagai Negara agraris walaupun dari usaha-usaha dalam bidang pertanian belum sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan hidup rakyatnya sendiri. Hal ini terbukti dari terus dilakukan import produk pertanian strategis seperti beras, jagung, gandum dan kedelai. Kondisi sumber daya alam (SDA) pertanian di Indonesia sebenarnya cukup mendukung kearah pengembangan yang lebih baik. Berdasarkan jumlah produksi pangan, bila dihitung dengan kalori seharusnya mampu mencukupi secara Nasional bahkan hingga mencapai surplus. Namun, saat ini masalah ketidaktahanan pangan (Food Insecurity) tetap saja menjadi problematika bangsa. Sehingga tidak hanya polemik pemenuhan kebutuhan yang menjadi potret buram kondisi pangan bangsa, masalah keterbatasan akses masyarakat dan pemerataan pangan juga terkesan amburadul.
Kualitas dan mutu pangan selama ini terkesan kurang diperhatikan. Hal ini terlihat dari adanya beberapa kasus gizi buruk, busung lapar, dan kelaparan. Dalam Susenas dan BPS, tercatat sebanyak 27% anak-anak menderita kurang protein dari 40-50% penduduk kekurangan vitamin dan mineral. Selain itu kasus keracunan pangan dan maraknya kandungan bahan kimia berbahaya pada produk pangan menjadi bukti rendahnya ketahanan pangan bangsa ini. Dilema ini menjadi sangat serius, jika kita membandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia ± 1,45% per tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 mencapai 315 juta jiwa, namun seperti masih belum ada sebuah pencapaian dalam menyelesaikannya. UU No. 7 tahun 1996 menyebutkan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau daya beli masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut, konsep ketahanan pangan meliputi 3 (tiga) sub sistem penting, pertama, sub sistem ketersediaan, meliputi kestabilan dan kesinambungannya, dimana produk pangan senantiasa tersedia dan mampu memenuhi kebutuhan secara mandiri dan tidak ada ketergantungan kepada pihak luar. Kedua, sub sistem distribusi, meliputi aksesibilitas pangan dimana produk pangan tidak hanya ada dan cukup dalam hitungan matematis, tetapi merata dan tidak ada kesenjangan (misalnya daerah A melimpah pangan, sedangkan daerah B masyarakatnya sulit mengakses), ketiga sub sistem konsumsi yang cukup jumlah, mutu, gizi dan ketahanan pangan (Food security) yang sampai pada konsumen (masyarakat). Orang makan tidak hanya untuk mengisi perut yang kosong, tetapi lebih dari itu masyarakat harus memiliki akses terhadap makanan/pangan yang sehat, bergizi, dan tentu saja aman untuk dikonsumsi.
Potensi Komoditas Pangan Lokal Cukup Besar Wilayah Indonesia membentang sepanjang garis khatulistiwa, termasuk daerah tropis yang memiliki 2 musim, kemarau dan penghujan, serta memiliki jenis tanah dan topografi yang berbeda-beda disetiap wilayah. Kondisi tersebut mendorong potensi keanekaragaman jenis pangan di Indonesia yang melimpah. Potensi keanekaragaman pangan cukup besar akhirnya seolah-olah lenyap, begitu saja. Ketika berbicara tentang makanan sumber karbohidrat, maka yang terlintas dipikiran hanya beras (nasi). Beras memang telah terlanjur menjadi parameter makanan orang Indonesia sebagai penopang kebutuhan kalori untuk hidup. Beras telah menjadi makanan penting dan paling populer dinegeri ini, seberapa besar karbohidrat dikonsumsi, tapi belum makan nasi yang berarti belum makan. Ali Khosan (2008) mengatakan bahwa tingginya konsumsi beras disebabkan karena 3 (tiga) hal, pertama, karena citra yang superior terhadap beras, sehingga proferensi masyarakat terhadap beras menjadi dominan dibanding jenis makanan pokok yang lain misalnya sagu, jagung dan ubi kayu, dll. Kedua, ketersediaan beras sepanjang musim lebih bisa diandalkan daripada jenis makanan yang lain, dan yang ketiga, penyajian beras menjadi nasi teramat sederhana dan menghasilkan makanan rasa netral yang tidak membosankan.
Pembangunan pertanian yang selama ini seolah-olah hanya bertumpu pada beras sebagai sumber pangan pokok, telah mendesak kearifan-kearifan lokal tiap masyarakat ketitik kritis yang hampir tidak bisa menjadi jawaban tersendiri atas pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Tempo dulu makanan seperti jagung, ubi kayu, sagu, ubi jalar, talas adalah sumber pokok suplai karbohidrat di beberapa daerah. Namun kini telah berganti tren konsumsi menjadi beras dan gandum (tepung terigu), tidak pernah kita bayangkan berapa banyak devisa yang dibuang untuk membeli gandum dari luar negeri. Melalui penganekaragaman sumber pangan (diversifikasi) maka masyarakat tidak perlu lagi menggantungkan kebutuhan konsumsi hanya pada beras atau gandum (tepung terigu).
Pemerintah harus lebih mengedepankan penguatan sumber-sumber pangan lokal menjadi basis yang kokoh untuk menopang sub sistem ketahanan pangan, pertama, yaitu ketersediaan pangan, sebagaimana tantangan kedepan untuk mewujudkan kemandirian pangan Nasional berbasis keanekaragaman potensi pangan lokal. Pengembangan potensi kearifan lokal untuk pemenuhan pangan masyarakat kini kian memprihatinkan. Dibeberapa daerah pegunungan yang semula mengkonsumsi jagung atau singkong (berupa gaplek,tiwul) kini menganggap makanan tersebut hanya untuk orang miskin, tidak bergizi dan makanan rendahan. Padahal, bila dibandingkan kandungan gizi beras dan gaplek hampir sama, kalori yang terkandung dalam beras 360/100 gr, tidak jauh berbeda dengan sagu 355/100 gr, gaplek 338/100 gr. Kandungan karbohidrat beras hanya 78,9/100 gr, sedangkan sagu mencapai 355/100 gr. Hanya saja pada kandungan protein pada beras lebih tinggi dari sagu. Dengan kondisi tersebut seharusnya mampu menyiasati sumber-sumber pangan lokal menjadi makanan yang cukup memberikan nilai tambah (added value).
Peningkatan nilai tambah satu produk pangan pada dasarnya tidak terlepas dari aplikasi teknologi yang tepat dan sistem manajemen yang baik, ini menjadi ironi, ketika jumlah industri pengolahan masih didominasi oleh industri kecil dan menengah dengan prosentase lebih dari 90% dibandingkan dengan industri besar sehingga produk pangan yang lebih terjangkau oleh masyarakat Indonesia merupakan pangan produksi industri kecil dan rumah tangga dengan teknologi minim. Hal ini yang menjadi permasalahan, salah satunya adalah rendahnya penguasaan teknologi produksi yang tepat sehingga kualitas dan nilai tambah suatu produk pangan juga rendah. Swasembada beras adalah dongeng masa lalu negeri ini bahkan teknologi ini belakangan sering digugat. Swasembada pangan sekiranya dapat lebih relevan untuk membangun daya dukung kecukupan pangan seluruh masyarakat di masa depan. Bukan hanya terbatas pada swsembada beras, namun dalam hal ini dengan kapasitas produksi (GKG) 54 juta ton/tahun. Indonesia termasuk produsen beras terbesar ke-3 dunia (FAO). Dengan jumlah sebesar ini menurut hitungan untuk dikonsumsi Indonesia sendiri saja, bahkan Indonesia masih kekurangan beras, sehingga harus mencukupi kebutuhannya dengan import.
Sejalan dengan pemantapan kemandirian pangan (food security), proses industri hilir dengan membenahi proses pengolahan pangan mutlak diperlukan. Peningkatan penguasaan teknologi tepat guna bagi pengolahan pangan dan inovasi produk-produk pangan berbasis lokal harus terus berjalan ditingkat industri kecil maupun rumah tangga. Dengan cara tersebut daya saing produk pangan lokal akan semakin meningkat dan menguatkan posisi pangan lokal di masyarakat, dengan demikian akan berdampak baik bagi petani maupun dalam peningkatan food security di daerah yang selama ini merupakan daerah katagori rawan pangan di Indonesia, dan semoga pertanian Indonesia dapat kembali berjaya, Amiin…
sumber: dari berbagai sumber hasil googling
8.12.2010
Meninjau Kembali Pendekatan Penyuluhan Pertanian Kita
Pentingnya keberadaan penyuluh pertanian lapangan (PPL) sejak tahun 1970-an sampai sekarang sudah tidak diragukan lagi. Mereka selalu menjadi garda terdepan tumpuan pemerintah untuk menyukseskan program-program di bidang pertanian. Sejak zaman program BIMAS (Bimbingan Masal) pada tahun 1970-an hingga program P2BN (Program Peningkatan Beras Nasional) di tahun 2000-an, PPL adalah tulang punggung harapan pemerintah sebagai eksekutor lapangan. Terlepas dengan betapa pentingnya peran PPL, marilah kita bersama-sama melihat kembali sejarah bagaimana pendekatan PPL dalam program-program pembangunan pertanian selama ini serta hasil/dampak dari program tersebut. Peninjauan kembali ini adalah sebagai upaya untuk mencari format pendekatan komunikasi PPL di masa yang akan datang sehingga dapat memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi petani.
Pada zaman BIMAS yang merupakan implementasi dari the Green Revolution di Indonesia yang bertujuan untuk mendongkrak produksi beras ditengah cekaman paceklik masa itu, PPL dengan berbagai cara mengupayakan agar petani mau melaksanakan paket program berupa benih padi baru, skema kredit untuk operasional dan paket penyuluhan. Pendekatan yang digunakan adalah model “training and visit” dimana PPL melatih petani kontak yang mana petani kontak tersebut diharapkan mampu mengajak petani yang lain untuk menerapkan paket teknologi. Dengan system top-down, komando dari pusat untuk peningkatan produksi beras harus dilaksanakan disemua wilayah menggunakan satu paket program tanpa memperdulikan perbedaan biofisik lahan dan kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat setempat. Anjuran PPL bahkan tidak jarang disertai dengan tekanan dan intimidasi dari aparat desa dan aparat keamanan (Van de Fliert & Roling, 2000).
Pendekatan PPL pada masa BIMAS menganut pola Transfer of Technology. Pola ini berasumsi bahwa teknologi hanya bisa dihasilkan oleh para ilmuwan di pusat-pusat penelitian dengan peralatan canggih. Petani dianggap bodoh, tidak rasional dan tidak berfikiran maju sehingga perlu dibimbing dan diajari oleh PPL. Untuk meningkatkan produksi pertanian mereka, hasil-hasil penelitian dari laboraturium perlu ditransferkan ke petani melalui PPL.
Lalu bagaimana hasil program BIMAS dengan pola top-down itu pada kehidupan petani? Tidak dapat dipungkiri bahwa program BIMAS memiliki andil besar mengantarkan Indonesia meraih gelar “Swasembada” beras pada tahun 1983, walaupun pada tahun-tahun berikutnya Indonesia harus terseok-seok mempertahankan status ini. Akan tetapi, disamping gelar swasembada beras yang disandang, program BIMAS dengan pola penyuluhan top-down meninggalkan banyak catatan pahit. Secara tidak langsung program ini menurut Manning (1988) telah menimbulkan ketimpangan dan kecemburuan sosial pada masyarakat pedesaan karena program tersebut cenderung menargetkan petani yang lebih mapan. Pertimbangannya adalah petani yang mapan cenderung lebih mudah diajak bekerjasama serta memiliki akses modal yang lebih mudah untuk menunjang pelaksanaan program. Dengan kata lain PPL akan lebih mudah memperlihatkan hasil kerjanya di lapangan dengan dengan membidik kelompok petani yang lebih mapan ini. Walhasil petani kecil dan marginal seringkali terlupakan dan tertinggalkan. Kehidupan mereka yang miskin semakin bertambah miskin.
Pada konteks bio-fisik pertanian, program top-down BIMAS ini juga memberikan pelajaran pahit yang mestinya kita jadikan acuan dimasa ini. Van de Fliert & Roling (2000) dengan tegas mengatakan Program BIMAS yang hanya menekankan pada peningkatkan produksi padi tidak disertai dengan peningkatan kapasitas analisa petani dan penggunaan pupuk dan pestisida. Akibatnya terjadi penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan, mengakibatkan pencemaran air, lingkungan dan perusakan keseimbangan hara tanah. Benih padi unggul yang digembar gemborkan oleh laboraturium canggih itu juga ternyata rentan terhadap hama wereng coklat jika dibandingkan dengan beberapa varietas lokal yang sudah ditanam oleh petani secara turun temurun. Namun karena gencarnya anjuran pelaksanaan BIMAS, varietas-varietas lokal yang seharusnya menjadi sumber plasma nutfah kita perlahan-lahan punah. Akibat serangan wereng ini, sebagian besar petani peserta program BIMAS gagal panen. Akibatnya petani tidak mampu membayar hutang kredit pupuk dan pestisida yang terlanjur dibeli sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk menanam benih varietas unggul baru tersebut.
Perilaku PPL pada masa BIMAS ini juga mendapat sorotan dari Van de Fliert (1993) dimana PPL seringkali mengambil keuntungan pribadi dari petani. Banyak PPL menganjurkan petani untuk membeli pupuk dan pestisida sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan komisi dari distributor pupuk, walaupun sebenarnya pupuk tersebut tidak akan bermanfaat untuk petani. Bila terjadi gagal panen, PPL akan berusaha lagi mempengaruhi petani mengambil kredit untuk membeli benih baru dengan paket pupuk dan pestisida yang dianjurkan. Demikian seterusnya hingga akhirnya petani tidak mampu lagi bercocok tanam karena terbelit hutang yang ciptakan oleh sebuah program yang katanya akan mampu mensejahterakan petani.
Dari pengalaman pahit itu, banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Program berdana besar yang meninggalkan hutang bagi Indonesia itu sudah membuktikan bahwa program standar dengan pola top down tidak akan bias efektif diterapkan untuk semua lapisan petani. Masing-masing petani memiliki kondisi sosial, ekonomi, budaya, system pertanian dan permasalahan yang berbeda-beda yang tidak akan mungkin diselesaikan oleh satu paket program standar. Program BIMAS juga sudah mengajarkan bahwa asumsi petani itu bodoh dan tidak rasional adalah sebuah kesalahan besar. Terbukti benih unggul baru yang digembar gemborkan oleh peneliti justru tidak mampu menyesuaikan diri dengan kondisi bio-fisik setempat, dibandingkan dengan benih lokal. Hal ini sudah diketahui oleh petani yang sudah turun temurun melakukan pengamatan dan penelitian sendiri. Hasil penemuan benih unggul di IRRI (International Rice Research Institute) pun 90% berasal dari pengalaman yang didapatkan oleh peneliti ketika berinteraksi dengan petani-petani di desa dan dusun di Asia Tenggara (Rhoades, 1991). Namun seringkali arogansi sebuah program dengen semena-mena mengikis habis pengetahuan dan kearifan-kearifan lokal yang diwariskan oleh “papuk balok”. Pelajaran yang tak kalah pentingnya dari BIMAS adalah bahwa PPL tidak bisa lagi menggunakan pola komunikasi satu arah dimana hanya PPL yang menyampaikan informasi untuk didengarkan dan dituruti sementara petani sebagai pendengar dan penurut. Banyak ilmu dan pengalaman yang dimilki oleh petani yang seharusnya bisa menjadi bahan bertukar fikiran oleh PPL. Menurut Farrington (1989), PPL yang datang ke petani dengan memasang style “sang ahli” untuk mengatasi permasalahn petani kemungkinan besar akan kehilangan muka. Karena ada kecenderungan besar petani untuk memodifikasi sebagian atau keseluruhan dari informasi teknologi yang disampaikan guna disesuaikan dengan situasi, kondisi dan domisili mereka.
Pola PPL sebagai “sumber informasi untuk memecahkan masalah petani” sudah ditinggalkan oleh banyak Negara lebih dari 20 tahun yang lalau karena sudah terbukti tidak efektif membawa perbaikan kesejahteraan petani. Sudah saatnya PPL merubah paradigma penyuluhan itu sendiri. PPL mestinya tidak lagi melihat dirinya sebagai “suluh” yang menerangi petani yang dianggap berada dalam kegelapan ilmu pengetahuan. Peran PPL yang lebih penting adalah sebagai fasilitator yang mampu membangkitkan dan memunculkan kemampuan dan kepercayaan diri petani untuk menganalisa pilihan-pilihan yang ada serta konsekuensi dari setiap pilihan itu serta menumbuhkan rasa percaya diri petani untuk memecahkan persoalan mereka sendiri. Sehingga bila kelak persoalan lain muncul, petani tanpa harus tergantung pada orang lain akan mampu berfikir dan memecahkan masalahnya. Kondisi, situsi dan permasalahan petani selalu berubah setiap saat. Namun bila PPL sebagai fasilitator telah mampu menumbuhkan kemampuan petani untuk beradapatasi dengan perubahan, maka akan ada adaptasi-adaptasi dan inovasi yang terus menerus oleh petani menuju sesuatu yang lebih baik bagi kehidupan mereka.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita benar – benar mengambil pelajaran dari pengalaman mahal di era-era sebelumnya? Saya khawatir kita belum cukup berlapang dada untuk menyadari kekeliruan masa lalu untuk dijadikan perbaikan pada masa ini. PPL masih lebih banyak menggunakan kemampuan berbicaranya daripada kemampuan mendengarkannya. Dalam paket-paket pembekalan PPL pun yang lebih banyak diajarkan adalah bagaimana menjadi pembicara yang baik, bukan bagaimana menjadi pendengar dan fasilitator yang baik. PPL masih dididik untuk mencapai target sebuah program yang didisain nun jauh tinggi di kantor-kantor pejabat yang mungkin jarang merasakan pahit getir menjadi seorang petani/peternak. Program yang seringkali hanya mengamati petani dari kejauhan lalu menebak-nebak apa yang kira-kira dapat memeperbaiki kondisi kehidupan petani menurut sudung pandang para pembuat program yang mungkin kurang memahami kompleksitas kehidupan petani. Program-program baru datang silih berganti, namun petani miskin tetap saja semakin miskin karena pelaksanaan program masih didominasi oleh kepentingan administratif pembuat program yang seringkali melihat petani hanya sebagai objek.
Akankah BIMAS dengan seribu nama lain terulang dan terulang lagi? Jawabnnya ada pada keinginan untuk merubah paradigma, sudut pandang dan orientasi PPL serta pemegang kebijakan lainnya dalam perencanaan, implementasi serta monitoring dan evaluasi program pembangunan pertanian. “Put Farmer First”, utamakanlah kepentingan petani, jadikan mereka sebagai subyek dan belajarlah bersama mereka. Inti dari perubahan sudut pandang ini adalah komunikasi timbal balik antar stakeholders. Mudah – mudahan tulisan ini dapat berguna dan dapat menggugah para PPL dan para pembuat program pertanian diseluruh Indonesia untuk merubah paradigma penyuluhan kita dari banyak berbicara menjadi lebih banyak mendengarkan petani.
Oleh : Nurul Hilmiati
7.29.2010
Pemanfaatan Teknik Kultur Antera Pada Pemuliaan Tanaman Padi
Pemuliaan tanaman padi bertujuan untuk menghasilkan berbagai varietas padi ungul baru yang memiliki sifat lebih baik dibandingkan dengan varietas ungul yang telah ada, antara lain; hasil dan kualitas hasil lebih baik, toleran terhadap faktor pembatas biotik dan abiotik, adaptif terhadap spesifik lokasi serta sesuai dengan preferensi konsumen. Sebagian besar dari varietas padi unggul yang telah dilepas dihasilkan melalui program persilangan dan seleksi yang memerlukan waktu cukup lama hingga 5-7 tahun bahkan lebih. Dalam upaya menyediakan varietas unggul baru dengan waktu yang relatif lebih cepat dapat dilakukan antara lain melalui pemanfaatan teknik kultur antera.
Teknik kultur antera dapat mempercepat waktu pemuliaan melalui pembentukan galur haploid ganda (galur murni) dari polen tanaman F1, sehingga seleksi untuk sifat unggul yang diharapkan dapat dilakukan lebih awal. Secara teknis kultur antera padi terdiri dari dua tahap; yaitu tahap induksi kalus dari polen yang terdapat dalam antera tanaman F-1 (hasil persilangan antara tetua yang memiliki karakter diharapkan), dan tahap regenerasi tanaman dari kalus menjadi planlet. Planlet hasil regenerasi tanaman selanjutnya diaklimatisasi dan dipelihara hingga fase generatif. Planlet hijau yang dihasilkan pada umumnya berupa tanaman haploid ganda, sehingga dapat menghasilkan biji dan diperbanyak untuk evaluasi lebih lanjut.
Salah satu kendala pemanfaatan teknik tersebut adalah rendahnya produksi planlet hijau yang dihasilkan dan tidak semua genotipe memiliki daya kultur antera. Perbaikan teknis aplikasi untuk meningkatkan produksi galur-galur haploid ganda terus dilakukan. Hingga saat ini teknik kultur antera telah berhasil dimanfaatkan dalam perakitan galur-galur harapan baik pada padi sawah maupun padi gogo. Melalui teknik kultur antera galur-galur harapan dapat diperoleh dalam waktu 2,5 tahun.
Kata kunci: Kultur antera F-1, haploid ganda, seleksi, galur harapan
Sumber: Priatna Sasmita http://pangan.litbang.deptan.go.id/index.php?bawaan=berita/fullteks_berita&&id_menu=3&id_submenu=3&id=125
5.15.2010
Prinsip Bertani Secara Organik
Oleh: Ahmad Satori
Pertanian organik telah lama didengungkan. Semua sektor berebut untuk menjadi yang paling organik. Dari mulai produsen saprotan hingga produsen beras. namun hingga saat ini pelaku utama usaha pertanian yaitu para petani kebanyakan masih enggan untuk mengelola usaha taninya dengan bertani secara organik. Mengapa? Mari kita merenung sejenak.
Menurut IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements), prinsip pertanian organik didasarkan pada Prinsip kesehatan, Prinsip ekologi, Prinsip keadilan, dan Prinsip perlindungan.
Prinsip KESEHATAN
Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia. Kesehatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem kehidupan.
Hal ini tidak saja sekedar bebas dari penyakit, tetapi juga dengan memelihara kesejahteraan fisik, mental, sosial dan ekologi. Ketahanan tubuh, keceriaan dan pembaharuan diri merupakan hal mendasar untuk menuju sehat. Peran pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di dalam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Mengingat hal tersebut, maka harus dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif makanan yang dapat berefek merugikan kesehatan.
Prinsip EKOLOGI
Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan. Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik dalam sistem ekologi kehidupan. Prinsip ini menyatakan bahwa produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Makanan dan kesejahteraan diperoleh melalui ekologi suatu lingkungan produksi yang khusus; sebagai contoh, tanaman membutuhkan tanah yang subur, hewan membutuhkan ekosistem peternakan, ikan dan organisme laut membutuhkan lingkungan perairan. Budidaya pertanian, peternakan dan pemanenan produk liar organik haruslah sesuai dengan siklus dan keseimbangan ekologi di alam. Siklus-siklus ini bersifat universal tetapi pengoperasiannya bersifat spesifik-lokal. Pengelolaan organik harus disesuaikan dengan kondisi, ekologi, budaya dan skala lokal. Bahan-bahan asupan sebaiknya dikurangi dengan cara dipakai kembali, didaur ulang dan dengan pengelolaan bahan-bahan dan energi secara efisien guna memelihara, meningkatkan kualitas dan melindungi sumber daya alam. Pertanian organik dapat mencapai keseimbangan ekologis melalui pola sistem pertanian, membangun habitat, pemeliharaan keragaman genetika dan pertanian. Mereka yang menghasilkan, memproses, memasarkan atau mengkonsumsi produk-produk organik harus melindungi dan memberikan keuntungan bagi lingkungan secara umum, termasuk di dalamnya tanah, iklim, habitat, keragaman hayati, udara dan air.
Prinsip KEADILAN
Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama. Keadilan dicirikan dengan kesetaraan, saling menghormati, berkeadilan dan pengelolaan dunia secara bersama, baik antar manusia dan dalam hubungannya dengan makhluk hidup yang lain.
Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam pertanian organik harus membangun hubungan yang manusiawi untuk memastikan adanya keadilan bagi semua pihak di segala tingkatan; seperti petani, pekerja, pemroses, penyalur, pedagang dan konsumen. Pertanian organik harus memberikan kualitas hidup yang baik bagi setiap orang yang terlibat, menyumbang bagi kedaulatan pangan dan pengurangan kemiskinan.
Pertanian organik bertujuan untuk menghasilkan kecukupan dan ketersediaan pangan maupun produk lainnya dengan kualitas yang baik. Prinsip keadilan juga menekankan bahwa ternak harus dipelihara dalam kondisi dan habitat yang sesuai dengan sifat-sifat fisik, alamiah dan terjamin kesejahteraannya. Sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan untuk produksi dan konsumsi harus dikelola dengan cara yang adil secara sosial dan ekologis, dan dipelihara untuk generasi mendatang. Keadilan memerlukan sistem produksi, distribusi dan perdagangan yang terbuka, adil, dan mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan yang sebenarnya.
Sumber: Tabloid sinartani edisi Maret 2010
Membuat Penakar Hujan Sederhana
Oleh: Ahmad Satori
Data curah hujan kini telah menjadi bagian penting penunjang keberhasilan berusaha tani. Namun persoalannya, untuk mendapatkan data tersebut tidak gampang, perlu alat penakar untuk mengumpulkan data tersebut. Lagi-lagi persoalannya, alat penakar ini cukup mahal dan sulit dicari. Untuk menyiasatinya kita bisa membuat alat penakar curah hujan yang sederhana.
Alat penakar ini bisa dibuat dengan bahan-bahan yang ada dan tanpa mengeluarkan biaya yang banyak, tetapi dengan tetap memegang teguh prinsip-prinsip pengukuran curah hujan yang diberikan oleh BMKG.
Penakar hujan ini terdiri dari :
a. Sebuah corong yang dapat dilepas dari bagian badan alat, mulut corong (bagian atasnya) terbuat dari botol plastik air minum dengan luas 100 Cm2 yang direkatkan pada penutup kaleng badan penampung air hujan.
b. Badan tempat menampung air hujan menggunakan kaleng biskuit.
c. Kaki yang berbentuk silinder.
d. Gelas ukur penakar hujan yang diletakkan di dalam badan penampung air hujan.
Yang harus diperhatikan adalah:
1. Syarat - syarat pemasangan :
a. Penakar hujan harus dipasang pada lapangan terbuka, tanpa ada gangguan di sekitar penakar, seperti pohon dan bangunan, kabel atau antene yang melintang di atasnya. Jarak yang terdekat antara pohon / bangunan dengan penakar hujan adalah 1 kali tinggi pohon / bangunan tersebut.
b. Penakar hujan tidak boleh dipasang pada tanah miring (lereng bukit), puncak bukit, di atas dinding atau atap.
c. Penakar dipasang pada balok bulat yang dicat putih dan ditanam (lihat gambar), sehingga tinggi penakar hujan dari permukaan corong sampai permukaan tanah 120 Cm.(lihat gbr), letak penampang corong harus datar (horizontal).
2. Cara pengamatan :
a. Pengamatan untuk curah hujan harus dilakukan tiap hari.
b. Buka penutup kaleng dan lihat air yang tertampung dalam gelas ukur.
c. Hasil pengukurannya yaitu volume air yang tertampung dibagi luas corongnya (100 Cm2) dan kemudian satuannya dijadikan millimeter (mm). Misalnya air yang tertampung sebanyak 170 ml. (170 Cm3) maka hasilnya adalah : 170 Cm3 : 100 Cm2 = 1.7 Cm = 17 mm. atau 1 mm sama dengan 10 ml (Cc). Untuk menghindarkan kesalahan parallax, pembacaan curah hujan pada gelas penakar dilakukan tepat pada dasar meniskusnya.
d. Bila dasar meniskus tidak tepat pada garis skala, diambil garis skala yang terdekat dengan dasar meniskus tadi.
e. Untuk pembacaan lebih kecil dari 0,5 mm, pada kartu hujan ditulis angka 0 (Nol) dan tetap dinyatakan sebagai hari hujan.
f. Jika tidak ada hujan, beri tanda ( - ) atau ( . ) pada kartu hujan.
g. Jika tidak dapat dilakukan pengamatan dalam satu atau beberapa hari, beri tanda (X) pada kartu hujan.
3. Pemeliharaan :
a. Alat harus selalu dijaga tetap bersih, dan dicat alumunium.
b. Kayu di cat putih, supaya tahan lama terhadap rayap dan cuaca.
c. Corong harus tetap bersih, tidak boleh tertutup oleh benda-benda atau kotoran yang dapat menyumbatnya.
d. Badan penampung air hujan harus sering dikontrol dan dibersihkan dari endapan debu / kotoran.
e. Rumput di sekitar tempat penakar hujan dipasang, harus selalu pendek dan rapih tidak boleh ada semak semak di sekitarnya.
sumber: Tabloid sinartani Edisi Januari 2010
7.23.2009
Upaya Pengembangan Kawasan Buah Unggulan Tropika untuk Ekspor
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil buah tropis yang memiliki keanekaragaman dan keunggulan cita rasa yang cukup baik bila dibandingkan dengan buah-buahan dari negara-negara penghasil buah tropis lainnya.
Produksi buah tropika nusantara terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 2007 produksi buah Indonesia sebesar 17.116.622 ton atau naik sekitar 4,18 % bila dibandingkan dengan produksi tahun 2008 sebesar 17.831.252 ton.
Peluang pasar hortikultura internasional yang terbuka luas sampai saat ini masih belum dimanfaatkan secara baik oleh pelaku hortikultura nasional. Berbagai upaya peningkatan produksi dan mutu yang dilaksanakan seperti penerapan GAP/SOP, penataan rantai pasokan, pengembangan kelembagaan usaha dan peningkatan investasi di bidang hortikultura pada akhirnya diharapkan juga untuk dapat mengisi peluang pasar di tingkat internasional.
Perdagangan buah tropika di tingkat dunia terus mengalami peningkatan berdasarkan data FAO mengenai perdagangan (Morey, 2007). Pada tahun 2004, jenis buah tropika utama yang diimpor pada tingkat dunia adalah pisang (12,4 juta ton), nenas (1,6 juta ton), mangga (732 ribu ton) dan pepaya (208 ribu ton). Negara terbesar yang mengimpor buah tropika dalam bentuk segar adalah Amerika Serikat diikuti oleh negara-negara Eropa.
Volume ekspor total untuk mangga, manggis dan jambu biji dipasar dunia mencapai 1.178.810 ton dalam tahun 2005. Indonesia berkontribusi sebesar 1.760 ton atau 0,15 persen dari ekspor total dunia. Impor total dunia untuk ketiga komoditas tersebut mencapai 857.530 ton dan untuk Indonesia hanya sebesar 540 ton atau sekitar 0,06 persen (FAO, 2007). Dalam tahun 2006, ekspor total dari komoditas tersebut menjadi 901.520 ton senilai US $ 684,6 juta (NAFED, 2007).
Indonesia memiliki beragam jenis buah-buahan bermutu yang berpotensi untuk mendatangkan devisa bagi negara. Untuk total ekspor buah Indonesia pada tahun 2006 sebesar 26.236 ton atau senilai US $ 144.492.469, angka tersebut mengalami penurunan sebesar 39,92 % bila dibandingkan dengan volume ekspor pada tahun 2007 sebesar 15.761 ton atau senilai US $ 93.652.526. Sedangkan untuk tahun 2008 volume ekspor buah meningkat sebesar 105,50% dibanding tahun sebelumnya yaitu 32.389 ton dengan nilai US $ 234.867.444.
Selengkapnya : http://www.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=240&Itemid=1
Breeder Penerima Anugerah HKI Luar Biasa DIKTI 2009
Berita Acara Pengumuman Calon Penerima
Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa
NOMOR : 747/D3/LL/2009
Yang bertanda tangan di bawah ini, penanggung jawab kegiatan Anugerah
Kekayaan Intelektual Luar Biasa:
Menimbang :
a. bahwa telah masuk proposal sejumlah 61 (enam puluh satu) untuk Bidang
Teknologi yang dilindungi Paten, 23 (dua puluh tiga) untuk Bidang Varietas
Tanaman yang dilindungi Hak PVT, dan 17 (tujuh belas) untuk Bidang Industri
Kreatif;
b. bahwa telah dilakukan penilaian terhadap proposal tersebut pada butir a oleh
Tim Penilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
Mengingat :
a. berita acara penilaian yang disampaikan oleh Tim Penilai untuk Bidang
Teknologi yang dilindungi Paten, Bidang Varietas Tanaman yang dilindungi
Hak PVT, dan Bidang Industri Kreatif;
b. hasil risalah rapat Tim Pengarah dengan Tim Penilai pada tanggal 16 Juni
2009 pukul 19.00 WIB bertempat di Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.
Memutuskan :
Menetapkan sebagai CALON PENERIMA ANUGERAH KEKAYAAN
INTELEKTUAL LUAR BIASA 2009 sebagai berikut :
Bidang Varietas Tanaman yang dilindungi Hak PVT
No. Nama Sub Bidang Hasil Karya
1 Dr. Aan A. Daradjat Tanaman
Padi
Varietas unggul tanaman padi
2 Dr. Ir. Budi Marwoto Tanaman
Hias
Varietas unggul tanaman Krisan, Lili,
dan Anyelir
3 Dr. Ir. H. Sudjindro, MS Tanaman
Perkebunan
Varietas unggul tanaman Kenaf
4 Dr. Ir. Srijani Sujiprihati, MS Tanaman
Sayuran
Varietas unggul tanaman Cabe dan
Pepaya
5 Ir. Nurul Hidayati Tanaman
Sayuran
Varietas unggul tanaman Tomat, dan
Terong
6 Prof.Ir.H. Achmad Baihaki,MSc.Ph.D. Tanaman
Serealia
Varietas unggul tanaman Kedelai
dan Jagung
7 Dr. Abdul Razak Purba Tanaman
Perkebunan
Varietas unggul tanaman Kelapa
Sawit
8 Dr. Ir. Darman Moudar Arsyad,MS Tanaman
Serealia
Varietas unggul tanaman Kedelai
9 Ir. Asep Harpenas Tanaman
Sayuran
Varietas unggul tanaman Cabe, Paria
dan Kacang Panjang
Jika tidak ada keberatan dari semua pihak, Calon Penerima akan ditetapkan sebagai
Penerima Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa pada tanggal 1 Juli 2009
Jakarta, 17 Juni 2009
Penanggung Jawab Kegiatan
ttd
Suryo Hapsoro Tri Utomo
NIP. 131471476
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
Gedung DIKTI Jl. Jenderal Sudirman Pintu Satu, Senayan, Jakarta 10270
Tlp. 021 -57946043 (Hunting); Faks. 021-5731846 website: http://dp2m-dikti.net/ email: sip@dp2m-dikti.net
7.13.2009
LOMBA FILM DOKUMENTER “CINTA BUAH INDONESIA”
LATAR BELAKANGBerdasarkan rekomendasi FAO (Food and Agriculture Organization), untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, konsumsi buah-buahan yang dianjurkan adalah 60 kg/kapita/tahun. Menurut data SUSENAS pada tahun 2005 konsumsi buah-buahan di Indonesia masih kurang dari 32 kg/kapita/tahun. Berdasarkan fakta tersebut, di tahun-tahun mendatang permintaan buah-buahan Indonesia masih terus meningkat, seriring perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa jenis buah konsumsinya meningkat dari tahun ke tahun antara lain jeruk, semangka, duku, dan durian. Di sisi lain ada pula beberapa jenis buah yang tingkat konsumsinya cenderung menurun seperti pisang, pepaya, dan nanas. Buah-buahan yang konsumsinya cenderung meningkat ini adalah buah yang tinggi volume impornya seperti jeruk dan durian. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa telah terjadi pergeseran preferensi konsumen dari buah nasional ke buah impor. Beberapa alasan konsumen untuk mengkonsumsi buah impor yang utama adalah rasanya yang dianggap lebih memenuhi selera konsumen. Selain itu juga karena faktor harga yang bersaing dengan buah nasional, sementara penampilannya dianggap lebih baik.
Target pasar buah impor pada awalnya adalah golongan berpendapatan menengah ke atas melalui supermarket dan gerai khusus buah, namun faktanya sekarang sudah masuk ke gerai pasar tradisional. Para importir buah-buahan sub-tropik umumnya pemodal kuat, sehingga mereka mempunyai fasilitas gudang penyimpanan yang berpendingin. Kondisi ini juga telah meningkatkan dayasaing buah impor, karena importir dapat mengatur kapan, kemana dan bagaimana cara pemasaran yang paling tepat untuk memperoleh tingkat keuntungan yang optimal. Untuk itu diperlukan upaya secara gencar untuk mempengaruhi konsumen dalam mengalokasikan pendapatannya untuk mengkonsumsi buah lebih banyak ke arah buah nasional. Tentu saja berbagai strategi dan program untuk peningkatan daya saing buah nasional dari sisi suplai tetap perlu dilakukan.
Terdapat beberapa alternatif program promosi untuk mendorong konsumsi buah nasional. Sebagai contoh pemerintah dapat mencarikan kerjasama dengan perusahaan nasional yang loyal dan prihatin akan keterpurukan ekonomi bangsa, sehingga bersedia mengiklankan buah-buahan nasional. Biaya iklan relatif mahal apabila sepenuhnya harus dibayar swasta. Karena itu harus dibantu dari layanan masyarakat pada TV swasta dan TV pemerintah, radio, media cetak, dan billboard di tempat-tempat yang strategis.
Instrumen promosi yang tidak kalah pentingnya adalah yang berkaitan dengan pendidikan konsumen. Seringkali konsumen maish belum tahu jenis-jenis buah nasional yang mempunyai kandungan gizi yang lebih baik daripada buah impor. Sebagai contoh buah manggis mempunyai antioksidan yang tinggi yang di luar negeri digunakan sebagai bahan baku obat cancer. Pisang Raja Bulu yang sudah dilepas oleh Menteri Pertanian mempunyai kandungan beta karoten tinggi, rasanya manis namun glikemiks indeks-nya paling rendah dibandingkan pisang jenis lain. Tentunya masih banyak kelebihan buah nasional dibanding buah impor yang informasinya tidak diketahui oleh masyarakat. Penyebaran informasi Ini dapat dilakukan misalnya melalui pembuatan film pendek yang dikemas dalam CD. Sekaligus pula dapat disebarkan informasi yang dapat membangkitkan kesadaran kosumen akan industri buah nasional yang menyangkut hajat hidup petani, seperti dengan penyebaran tagline “Pastikan setiap rupiah yang Anda keluarkan menguntungkan petani Indonesia”.
SIGNIFIKANSI DAN TUJUAN KEGIATAN
Pengeluaran untuk konsumsi buah yang terus meningkat saat ini mengindikasikan bahwa sumber serat, vitamin dan mineral sudah tidak bertumpu pada sayuran saja. Data di negara maju menunjukan bahwa semakin tinggi pendapatan masyarakat semakin besar porsi dari pendapatan dialokasikan untuk konsumsi buah-buahan, sebagai upaya untuk mewujudkan hidup sehat. Buah dilihat bukan hanya sebagai sumber serat, vitamin dan mineral, akan tetapi kebutuhan karbohidrat dan kebutuhan gula sebagai sumber energi dan antioksidan mereka menyediakannya dari mengkonsumsi buah-buahan.
Upaya promosi melalui pembuatan film dokumenter ini terutama ditujukan untuk para ibu rumahtangga, remaja dan anak2 yang mempunyai akses untuk mengalokasikan anggaran belanjanya bagi kehidupan sehari-hari. Diharapkan mereka akan mengalokasikan anggarannya dengan bijaksana, karena telah diberikan informasi tentang cara hidup sehat dengan mengkonsumsi komoditi yang lebih besar manfaatnya bagi kesehatan tubuh, daripada mengkonsumsi sumber karbohidrat dan lemak secara berlebihan. Makanan siap saji yang semakin murah dan marak diadvertensikan dalam jangka panjang akan mengurangi proporsi sumberdaya yang sehat jasmani, apabila tidak diimbangi dengan informasi tentang altenatif hidup sehat dengan banyak mengkonsumsi buah. Pembuatan film ini akan sangat bermanfaat bagi halayak baik bagi konsumen buah serta bagi para pekebun. Kesadaran akan manfaat mengkonsumsi buah nasional, secara tidak langsung akan meningkatkan permintaan terhadap buah nasional yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani buah.
TEMA KEGIATAN
“Cinta Buah Indonesia”
KETENTUAN LOMBA
Kegiatan Lomba Lomba Pembuatan Film Dokumenter “Cinta Buah Indonesia” dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Peserta lomba adalah mahasiswa berbagai strata di perguruan tinggi dan siswa sekolah menengah.
2. Peserta harus memilih satu atau gabungan alternatif isu berikut:
· Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap buah nasional
· Meningkatkan citra buah nasional di gerai buah, pasar tradisional dan pasar modern
· Mendorong konsumsi rumahtangga terhadap buah nasional
· Teknologi produksi bagi peningkatan kualitas buah nasional
3. Buah harus mencakup minimal salah satu atau gabungan dari buah nenas, pepaya, pisang dan manggis.
4. Durasi film berkisar 15 sampai dengan 20 menit.
5. Film dalam format CD/DVD sudah diterima sekretariat paling lambat tanggal 31 Juli 2009 pukul 12.00 BBWI.
6. Tim juri terdiri atas tiga pihak: Direktorat Budidaya Buah Departemen Pertanian, Pusat Kajian Buah Tropika IPB dan Profesioanl di bidang perfilman.
7. Film dokumenter yang menjadi pemenang I sampai V akan digunakan sebagai bahan diseminasi/promosi non-komersial oleh Departemen Pertanian untuk mendorong industri buah nasional.
8. Peserta tidak dikenakan biaya pendaftaran.
9. Pemenang I sampai V akan memperoleh hadian dan penghargaan sebagai berikut:
· Pemenang I : Uang tunai Rp 5.000.000 + Piala Menteri Pertanian
· Pemenang II : Uang tunai Rp 3.000.000 + Piala Rektor IPB
· Pemenang III : Uang tunai Rp 2.000.000 + Sertifikat
· Pemenang IV : Uang tunai Rp 1.500.000 + Sertifikat
· Pemenang V : Uang tunai Rp 1.000.000 + Sertifikat
10. Pertanyaan dan informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sekretariat Lomba Pembuatan Film Dokumenter “Cinta Buah Indonesia”, dengan alamat Pusat Kajian Buah Tropika Institut Pertanian Bogor, Jl Raya Pajajaran Kampus IPB Baranangsiang Bogor 16144, Telp/Fax (0251) 8326881, email ipbfruit@indo.net.id, website http://pkbt.ipb.ac.id.
5.31.2009
Pemerintah Akan Membangun Lembaga Riset Kelapa Sawit Berskala Besar
Indonesia merupakan produsen terbesar kelapa sawit. Untuk menghadapi persaingan industri kelapa sawit yang makin gencar sekarang ini, dalam waktu dekat pemerintah akan membangun Lembaga Riset dan Pengembangan Kelapa Sawit berskala besar. “Lembaga ini nantinya akan berstatus BUMN,”demikian diungkapkan Menteri Pertanian Anton Apriyantono seusai memimpin rapat Dewan Pengarah Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) yang didampingi oleh Dirjen Perkebunan Achmad Mangga Barani dan Ketua DMSI Franky Widjaja, di Jakarta, Rabu (6/5). Rapat ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan kelapa sawit, mulai dari pemerintah, pengusaha, sampai petani.
Melalui lembaga riset ini menurut Menteri Pertanian, pemerintah akan berupaya mengembangkan segala bentuk teknologi kelapa sawit mulai dari perbenihan hingga ke industri turunana minyak sawit (down stream industry). Sedangkan mengenai pengaturan soal substansi riset dan pengembangan menurut Menteri Pertanian akan digodok di dalam sebuah Konsorsium Sawit. Konsorsium ini terdiri dari berbagai unsur, seperti pemerintah, BUMN maupun swasta yang bergerak di bidang perkebunan sawit. Untuk mendukung konsorsium sawit ini pemerintah akan menyiapkan dana Rp. 3 miliar per tahun.
Lebih lanjut Menteri Pertanian juga mengungkapkan pembentukan lembaga baru ini tidak akan terlepas dari kerja sama antar pemangku kepentingan lewat Konsorsium Sawit. Kerja sama penelitian ini juga akan memfasilitasi pembangunan kebun plasma nutfah seluas 1.000 hektar di Sijunjung, Sumatera Barat. Dengan demikian nantinya lembaga riset ini akan ada dua yakni Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) milik pemerintah dan PT. LRPKS (Lembaga Riset Pengembangan Kelapa Sawit) yang berstatus BUMN. Kedua lembaga ini akan mengakomodasi kepentingan masing-masing. Apalagi Indonesia kini memiliki 7,1 juta hektar kebun kelapa sawit dengan produksi 19,2 juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO) tahun 2008. Pemerintah kini berkonsentrasi meningkatkan produktivitas tanaman untuk meraih produksi 40 juta ton CPO di tahun 2020.
Rencana penbentukan Lembaga riset ini juga mendapat dukungan dari kalangan swasta. Menurut Ketua DMSI, Franky Widjaja, lembaga riset dan pengembangan ini sangat penting untuk mendukung peningkatan produksi dalam negeri. Dengan begitu kata Franky Wijaya, kerja sama penelitian dan pengembangan kelapa sawit sangat penting untuk jangka panjang. Selanjutnya pemerintah bisa menikmati efek domino (multiplier effects) dari peningkatan kesejahteraan petani yang menghasilkan CPO lebih banyak. Untuk itu DMSI saat ini tengah memperjuangkan agar sebagian dana hasil bea keluar CPO dapat dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan tersebut.
Pengendalian Penyakit Layu Pada Tanaman Pisang
Pendahuluan
Penyakit layu pada tanaman pisang telah menjadi masalah nasional karena penyakit ini telah tersebar luas dan banyak merusak tanaman pisang di Indonesia dan belum berhasil dikendalikan. Penyakit layu ini disebabkan oleh: Cendawan Fusarium oxysporum if.sp. cubense; dan Bakteri Ralstonia solanacearum.
Gejala layu Ralstonia sp. pada daun
Sifat Patogen
Merupakan patogen tular tanah dan sanggup bertahan lama dalam tanah tanpa ada tanaman pisang. Sekali tanah terinfeksi oleh patogen ini, patogen dapat bertahan dan menjadi sumber inokulum/infeksi yang sukar dibersihkan.
Patogen dapat menyebar melalui bibit, alat-alat pertanian, tanah, angin yang menerbangkan tanah terinfeksi, serta terbawa melalui pengairan . Penyebaran patogen (layu bakteri) dapat juga melalui influorescens (bunga) yang ditularkan oleh serangga. Penularan oleh serangga menyebabkan penyakit tersebar dengan cepat terutama pada saat pembuahan.
Patogen ini memiliki kecepatan penyebaran yang tinggi. Sebagai patogen luka, akan sinergik menimbulkan layu jika ada seranagn nematoda.
Sangat dipengaruhi oleh tipe tanah. Layu fusarium akan berkembang pada tanah berpasir yang masam, dan kurang berkembang pada tanah yang liat dan alkalis. Sebaliknya, tanah yang liat dan alkalis akan sangat kondusif bagi layu lakteri (Ralstonia solanacearum).
Gejala layu Ralstonia sp. pada buah
Pengendalian
1. Cara Bercocok tanam
a. Penanaman bibit bebas penyakit (kultur jaringan atau anakan tanaman/rumpun sehat), serta tidak menenm bibit dari daerah terserang penyakit layu.
b. Pemupukan dengan pupuk organik (pupuk kandang atau pupuk kompos),
c. Menghindari terjadinya pelukaan akar saat pemeliharaan tanaman, pemindahan bibit, dan pembumbunan.
d. Pergiliran tanaman dengan tanaman yang tidak sefamili dengan pisang, misalnya jagung.
e. Pengapuran atau pemberian abu dapur jika pH tanah rendah (minimal 15 abu dapur jika pH tanah (minimal 15 hari sebelum tanam)
f. Santasi gulma
g. Tidak menanam tanaman inang lainnya, yaitu jenis Heliconia (pisang pisangan) dan Kanna (bunga tasbih)
h. Perbaikan drainase kebun
i. Memotong bunga jantan segera setelah sisir buah terakhir dbentuk
j. Pengerodongan bunga dan buah dengan plastik
k. Tanam Pindah cepat secara periodik (± 3 Tahun)
2. Cara Fisis/Mekanis
a. Memotong bunga jantan (jantung pisang) tanpa menggunakan alat (dengan tangan) segera setelah sisir buah terakhir terbentuk
b. Pembongkaran tanaman sakit kemudian membakarnya (jika memungkinkan)
c. Penggenaan, jika memungkinkan
3. Genetis
a. Penggunaan varietas tahan sesuai dengan kondisi setempat.
4. Biologis
a. Penggunaan agens antagonis (Gliocladium sp, Trichoderma sp.) dan Pseudomonas fluoressence, yang dicampur dengan pupuk organik.
5. Kimiawi
a. Alat-alat pertanian yang digunakan untuk memotong tanaman sakit dicuci bersih dengan sabun atau klorox 1% (misalnya Bayclin) dan dikeringkan di bawah sinar matarai.
b. Eradikasi tanaman sakit dengan menyuntikkan larutan herbisida 5-15 ml/tanaman atau dengan minyak tanah.
c. Benih pisang dicelupkan dalam larutan desinfektan (suci hama) sebelum ditanam.
6. Peraturan
a. Tidak membawa bibit (anakan) dari daerah serangan)
Gejala layu Fusarium sp. pada batang (penampang irisan)
Bertani “Nyeblok”
Bertani adalah suatu keniscayan bagi masyarakat ang tinggal di desa-desa. Begitu banyak kegiatan pertanian yang dilakukan petani dari mulai bertanam padi, jagung, palawija, singkong, pisang, nenas, karet, albasia, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu dibutuhkan oleh kita sebagai penikmat (konsumen).
Ditengah modernisasi yang semakin berkembang saat ini, ketika rasa kesetiakawanan semakin rendah dan masyarakat semakin bersikap individualistis, ternyata masih ada masyarakat kita yang masih memegang teguh ajaran nenek moyang tentang makna “hidup bersosial”. Ketika di daerah subang atau karawang, para petani I empunya sawah menyewa orang untuk mengerjakan pekerjaan disawah seperti tandur, ngoyos atau ngarambet, petani di kabupaten Lebak provinsi Banten justru saling membantu tanpa diminta. Pada saat salah satu petani terlihat akan mulai menanam padi, para tetangga pun berdatangan membantu menanam tanpa diminta dan dikomando. Begitu pula ketika saatnya ngoyos atau ngarambet, secara spontan tetangga itu pun turun ke sawah tanpa dibayar.
Pada waktu panen tiba, si empunya sawah mempersilahkan tetangga yang telah membantu tandur dan ngoyos tadi untuk ikut panen menikmati hasil keringat mereka. Karena pada waktu tandur dan ngoyos mereka tidak dibayar, maka pada saat panen inilah keringat mereka dibayar. Dari 5 bakul padi yang didapat, 4 bakul untuk si empunya sawah, 1 bakul untuk tetangga yang membantu itu, bahkan sering pula si empunya sawah memberikan lagi 1 bakul untuk mereka. Itulah yang disebut bertani “Nyeblok”.
Dengan sistem tersebut, ketahanan pangan masyarakat di desa itu dapat terjaga kuat karena rasa kesetiakawanan yang tinggi dan rasa saling membutuhkan satu sama lain. Untuk makan sehari-hari, masyarakat di desa tersebut tidak ada yang membeli beras di pasar, sebab masing-masing rumah memiliki lumbung padi sendiri-sendiri. Dengan adanya lumbung tersebut, kebutuhan makan mereka tercukupi hingga maa panen yang akan datang.
Namun, dengan gempuran arus modernisasi seperti sekarang, akankah sistem “Nyeblok” tersebut dapat bertahan? Ketika pemuda-pemuda desa lebih tertarik dan bangga bekerja di kota daripada menjadi petani, akankah kesetiakawanan seperti itu dapat terus terjaga?
Keterangan:
Tandur : Menanam padi
Ngoyos (ngarambet) : Membersihkan gulma
Bagan Warna Daun
Menghemat Penggunaan Pupuk N pada Padi SawahHasil panen yang tinggi dapat diperoleh melalui pemupukan berimbang yang memperhatikan ketersediaan dan keseimbangan hara dalam tanah serta tingkat serapan hara sesuai kebutuhan tanaman. Pemakaian pupuk N yang kurang dari kebutuhan tanaman akanmemberikan hasil panen padi yang rendah atau tidak optimal, sebaliknya pemberian pupuk N secara berlebihan akan menyebabkan tanaman menjadi lebih rentan terhadap infeksi penyakit dan mudah rebah.
Bagan Warna Daun (BWD) dapat membantu petani untuk mengetahui apakah tanaman perlu segera diberi pupuk N atau tidak dan berapa takaran N yang perlu diberikan. Pemberian pupuk N berdasarkan pengukuran warna daun dengan BWD dapat menekan biaya pemakaian pupuk sebanyak 15-20 % dari takaran yang umum digunakan petani tanpa menurunkan hasil. BWD berbentuk persegi panjang dengan 4 kotak skala warna, mulai dari hijau muda hingga hijau tua.
Gambar 1. Bagan Warna Daun (BWD) tampak depan dengan 4 skala warna (atas) dan tampak belakang dengan petunjuk penggunaan (bawah).
BWD dan Tingkat Hasil
Penggunaan BWD berkaitan erat dengan berapa tingkat hasil tinggi yang biasa dicapai di suatu tempat. Pada umumnya tingkat hasil di musim kemarau berbeda dengan tingkat hasil dii musim hujan. Oleh karena itu tingkat hasil yang tercantum dalam Tabel 1 dan 2 bukan berarti hasil tertinggi yang ingin dicapai di semua tempat. Misalnya, di suatu tempat yang tingkat hasil tingginya 6 t/ha, pemberian urea melebihi takaran yang dianjurkan belum tentu dapat menaikkan hasil menjadi 7 atau 8 t/ha.
Takaran Pupuk N Sebagai Pupuk Dasar
Pada saat pemupukan dasar, BWD tidak diperlukan.
Berikan 50-75 Kg Urea/ha sebagai pupuk dasar atau pemupukan N pertama, sebelum tanaman berumur 14 HST.
Selain pupuk tunggal, pupuk majemuk juga dapat digunakan sebagai pupuk dasar.
Cara dan Waktu Penggunaan BWD
Cara Penggunaan BWD
1. Pilih secara acak 10 rumpun tanaman sehat pada hamparan yang seragam, lalu pilih daun teratas yang telah membuka penuh pada satu rumpun.
2. Letakkan bagian tengah daun di atas BWD (lihat gambar 2) dan bandingkan antara warna daun dengan warna panel. Jika warna daun berada diantara 2 skala, gunakan rata-ratanya, misalnya 3,5 untuk warna antara 3 dan 4.
Gambar 2. Pengukuran warna daun padi dengan BWD
3. Sewaktu mengukur warna daun dengan BWD, jangan menghadap sinar matahari, sebab pantulan sinar matahari dari daun padi dapat berpengaruh pada pengukuran warna daun.
4. Pilih waktu pembacaan daun pada pagi atau siang hari. Hindari menilai warna daun dengan BWD ditengah terik matahari.
5. Lakukan pengukuran pada waktu yang sama dan oleh orang yang sama.
6. Jika 6 atau lebih dari 10 daun yang diamati warnanya berada dalam batas kritis, yaitu di bawah skala 4, maka tanaman perlu segera diberi pupuk N susulan sesuai dengan tingkat hasil di tempat bersangkutan,
Waktu Penggunaan BWD
Pilih satu dari 2 waktu penggunaan berikut:
1. Berdasarkan waktu yang telah ditetapkan, biasanya berdasar pertumbuhan tanaman, yaitu saat pembentukan anakan aktif (21-28 HST) dan primordia (35-40 HST). Dengan cara ini hanya perlu dilakukan 2 kali pengukuran warna daun padi dengan BWD, karena pada pemupukan pertama tidak perlu digunakan BWD.
2. Berdasarkan kebutuhan riil tanaman, dengan membandingkan warna daun padi dengan skala BWD secara berkala, setiap 7-10 hari sejak 21 HST sampai 50 HST. Tanaman segera diberi pupuk N bila warna daun berada di bawah skala 4 BWD. Dengan cara ini petani perlu sering ke sawah untuk membandingkan warna daun padi dengan BWD.
Penentuan Takaran Pupuk N
Berdasarkan waktu yang telah ditetapkan
BWD hanya digunakan pada pemupukan ke 2 atau stadia anakan aktif (21-28 HST) dan pemupukan ke 3 atau primordia (35-40 HST) dengan membandingkan warna daun dengan skala BWD.
Bila warna daun berada pada skala 2 sampai 3, berikan 125 Kg Urea/ha kalau hasil yang biasa dicapai di tempat itu adalah 7 t/ha GKG. Berikan 75 Kg Urea/ha bila tingkat hasil adalah 5 t/ha GKG (perhatikan Tabel 1).
Bila warna daun berada antara skala 3 dan 4, berikan 100 Kg Urea/ha bila hasil yang biasa dicapai adalah 7 t/ha GKG. Cukup berikan 50 Kg Urea/ha bila tingkat hasil adalah 5 t/ha GKG.
Bila warna daun berada antara skala 4 dan 5, berikan 50 Kg Urea/ha bila hasil yang biasa dicapai adalah 7 t/ha GKG. Tanaman tidak perlu dipupuk N kalau bila tingkat hasil adalah 5-6 t/ha GKG.
Berdasarkan kebutuhan riil tanaman
1. Pengukuran warna daun padi dengan BWD dimulai pada 21-28 HST, dilanjutkan setiap 7-10 hari sekali sampai tnaman berumur 50 HST.
2. Apabila tingkat hasil di suatu tempat sebesar 7 t/ha GKG, takaran pupuk urea susulan yang diperlukan adalah 100 Kg/ha. Bila tingkat hasil adalah 5 t/ha GKG, cukup diberikan 50 Kg Urea/ha (lihat Tabel 2).