WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

8.28.2010

KEARIFAN LOKAL UNTUK KETAHANAN PANGAN

Pemerintah memiliki program ketahanan pangan salah satunya melalui diversifikasi produk makanan agar masyarakat tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok, namun harus berupaya mencari alternatif lain yang digunakan sebagai bahan makanan pokok. Pembangunan Pertanian selama ini hanya bertumpu pada beras, mendesak kearifan lokal hingga titik kritis. Padahal kearifan lokal bisa saja menjadi jawaban tersendiri atas pemenuhan kebutuhan pangan. Kepala Negara menyatakan dengan kearifan lokal, Indonesia bisa mewujudkan swasembada dan kemandirian pangan. "Di tengah-tengah permasalahan dunia seperti krisis pangan dan energi, kita harus mencari apa yang bisa kita lakukan secara domestik untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi di dalam negeri," kata Presiden pada pembukaan konferensi nasional dan pameran bertema Kearifan Lokal Perempuan Indonesia Menuju Ketahanan Pangan di Jakarta, tahun 2008 silam. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah. Bahkan Indonesia bersama Kongo dan Brasil disebut sebagai mega biodiversity. "Tidak ada cerita Indonesia kekurangan pangan kalau kita pandai mengelolanya. Mari kita kelola kembali, go local, back to nature, agar kita betul-betul bisa membangun ketahanan pangan. Swasemba dan kemadirian bukan ilusi. Kita bisa mewujudkan mimpi ini," katanya.

Indonesia masih menyebut diri sebagai Negara agraris walaupun dari usaha-usaha dalam bidang pertanian belum sepenuhnya mampu mencukupi kebutuhan hidup rakyatnya sendiri. Hal ini terbukti dari terus dilakukan import produk pertanian strategis seperti beras, jagung, gandum dan kedelai. Kondisi sumber daya alam (SDA) pertanian di Indonesia sebenarnya cukup mendukung kearah pengembangan yang lebih baik. Berdasarkan jumlah produksi pangan, bila dihitung dengan kalori seharusnya mampu mencukupi secara Nasional bahkan hingga mencapai surplus. Namun, saat ini masalah ketidaktahanan pangan (Food Insecurity) tetap saja menjadi problematika bangsa. Sehingga tidak hanya polemik pemenuhan kebutuhan yang menjadi potret buram kondisi pangan bangsa, masalah keterbatasan akses masyarakat dan pemerataan pangan juga terkesan amburadul.

Kualitas dan mutu pangan selama ini terkesan kurang diperhatikan. Hal ini terlihat dari adanya beberapa kasus gizi buruk, busung lapar, dan kelaparan. Dalam Susenas dan BPS, tercatat sebanyak 27% anak-anak menderita kurang protein dari 40-50% penduduk kekurangan vitamin dan mineral. Selain itu kasus keracunan pangan dan maraknya kandungan bahan kimia berbahaya pada produk pangan menjadi bukti rendahnya ketahanan pangan bangsa ini. Dilema ini menjadi sangat serius, jika kita membandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia ± 1,45% per tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 mencapai 315 juta jiwa, namun seperti masih belum ada sebuah pencapaian dalam menyelesaikannya. UU No. 7 tahun 1996 menyebutkan ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau daya beli masyarakat.

Berdasarkan pengertian tersebut, konsep ketahanan pangan meliputi 3 (tiga) sub sistem penting, pertama, sub sistem ketersediaan, meliputi kestabilan dan kesinambungannya, dimana produk pangan senantiasa tersedia dan mampu memenuhi kebutuhan secara mandiri dan tidak ada ketergantungan kepada pihak luar. Kedua, sub sistem distribusi, meliputi aksesibilitas pangan dimana produk pangan tidak hanya ada dan cukup dalam hitungan matematis, tetapi merata dan tidak ada kesenjangan (misalnya daerah A melimpah pangan, sedangkan daerah B masyarakatnya sulit mengakses), ketiga sub sistem konsumsi yang cukup jumlah, mutu, gizi dan ketahanan pangan (Food security) yang sampai pada konsumen (masyarakat). Orang makan tidak hanya untuk mengisi perut yang kosong, tetapi lebih dari itu masyarakat harus memiliki akses terhadap makanan/pangan yang sehat, bergizi, dan tentu saja aman untuk dikonsumsi.

Potensi Komoditas Pangan Lokal Cukup Besar Wilayah Indonesia membentang sepanjang garis khatulistiwa, termasuk daerah tropis yang memiliki 2 musim, kemarau dan penghujan, serta memiliki jenis tanah dan topografi yang berbeda-beda disetiap wilayah. Kondisi tersebut mendorong potensi keanekaragaman jenis pangan di Indonesia yang melimpah. Potensi keanekaragaman pangan cukup besar akhirnya seolah-olah lenyap, begitu saja. Ketika berbicara tentang makanan sumber karbohidrat, maka yang terlintas dipikiran hanya beras (nasi). Beras memang telah terlanjur menjadi parameter makanan orang Indonesia sebagai penopang kebutuhan kalori untuk hidup. Beras telah menjadi makanan penting dan paling populer dinegeri ini, seberapa besar karbohidrat dikonsumsi, tapi belum makan nasi yang berarti belum makan. Ali Khosan (2008) mengatakan bahwa tingginya konsumsi beras disebabkan karena 3 (tiga) hal, pertama, karena citra yang superior terhadap beras, sehingga proferensi masyarakat terhadap beras menjadi dominan dibanding jenis makanan pokok yang lain misalnya sagu, jagung dan ubi kayu, dll. Kedua, ketersediaan beras sepanjang musim lebih bisa diandalkan daripada jenis makanan yang lain, dan yang ketiga, penyajian beras menjadi nasi teramat sederhana dan menghasilkan makanan rasa netral yang tidak membosankan.

Pembangunan pertanian yang selama ini seolah-olah hanya bertumpu pada beras sebagai sumber pangan pokok, telah mendesak kearifan-kearifan lokal tiap masyarakat ketitik kritis yang hampir tidak bisa menjadi jawaban tersendiri atas pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Tempo dulu makanan seperti jagung, ubi kayu, sagu, ubi jalar, talas adalah sumber pokok suplai karbohidrat di beberapa daerah. Namun kini telah berganti tren konsumsi menjadi beras dan gandum (tepung terigu), tidak pernah kita bayangkan berapa banyak devisa yang dibuang untuk membeli gandum dari luar negeri. Melalui penganekaragaman sumber pangan (diversifikasi) maka masyarakat tidak perlu lagi menggantungkan kebutuhan konsumsi hanya pada beras atau gandum (tepung terigu).
Pemerintah harus lebih mengedepankan penguatan sumber-sumber pangan lokal menjadi basis yang kokoh untuk menopang sub sistem ketahanan pangan, pertama, yaitu ketersediaan pangan, sebagaimana tantangan kedepan untuk mewujudkan kemandirian pangan Nasional berbasis keanekaragaman potensi pangan lokal. Pengembangan potensi kearifan lokal untuk pemenuhan pangan masyarakat kini kian memprihatinkan. Dibeberapa daerah pegunungan yang semula mengkonsumsi jagung atau singkong (berupa gaplek,tiwul) kini menganggap makanan tersebut hanya untuk orang miskin, tidak bergizi dan makanan rendahan. Padahal, bila dibandingkan kandungan gizi beras dan gaplek hampir sama, kalori yang terkandung dalam beras 360/100 gr, tidak jauh berbeda dengan sagu 355/100 gr, gaplek 338/100 gr. Kandungan karbohidrat beras hanya 78,9/100 gr, sedangkan sagu mencapai 355/100 gr. Hanya saja pada kandungan protein pada beras lebih tinggi dari sagu. Dengan kondisi tersebut seharusnya mampu menyiasati sumber-sumber pangan lokal menjadi makanan yang cukup memberikan nilai tambah (added value).

Peningkatan nilai tambah satu produk pangan pada dasarnya tidak terlepas dari aplikasi teknologi yang tepat dan sistem manajemen yang baik, ini menjadi ironi, ketika jumlah industri pengolahan masih didominasi oleh industri kecil dan menengah dengan prosentase lebih dari 90% dibandingkan dengan industri besar sehingga produk pangan yang lebih terjangkau oleh masyarakat Indonesia merupakan pangan produksi industri kecil dan rumah tangga dengan teknologi minim. Hal ini yang menjadi permasalahan, salah satunya adalah rendahnya penguasaan teknologi produksi yang tepat sehingga kualitas dan nilai tambah suatu produk pangan juga rendah. Swasembada beras adalah dongeng masa lalu negeri ini bahkan teknologi ini belakangan sering digugat. Swasembada pangan sekiranya dapat lebih relevan untuk membangun daya dukung kecukupan pangan seluruh masyarakat di masa depan. Bukan hanya terbatas pada swsembada beras, namun dalam hal ini dengan kapasitas produksi (GKG) 54 juta ton/tahun. Indonesia termasuk produsen beras terbesar ke-3 dunia (FAO). Dengan jumlah sebesar ini menurut hitungan untuk dikonsumsi Indonesia sendiri saja, bahkan Indonesia masih kekurangan beras, sehingga harus mencukupi kebutuhannya dengan import.

Sejalan dengan pemantapan kemandirian pangan (food security), proses industri hilir dengan membenahi proses pengolahan pangan mutlak diperlukan. Peningkatan penguasaan teknologi tepat guna bagi pengolahan pangan dan inovasi produk-produk pangan berbasis lokal harus terus berjalan ditingkat industri kecil maupun rumah tangga. Dengan cara tersebut daya saing produk pangan lokal akan semakin meningkat dan menguatkan posisi pangan lokal di masyarakat, dengan demikian akan berdampak baik bagi petani maupun dalam peningkatan food security di daerah yang selama ini merupakan daerah katagori rawan pangan di Indonesia, dan semoga pertanian Indonesia dapat kembali berjaya, Amiin…

sumber: dari berbagai sumber hasil googling

Artikel yang berhubungan