WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

2.13.2009

Republik Ini Milik Kita Bersama

Oleh Hazairin Pohan*

Prolog

Reformasi di tanah air baru berusia sekitar sepuluh tahun. Dalam kurun waktu singkat, transformasi mendasar telah mengubah postur republik ke dalam bentuknya yang sekarang.


Wajah baru "The New Indonesia" telah muncul dalam bentuk dan format yang tepat. Menurut saya, bentuk ini telah final, dan akan terus berlanjut dalam satu generasi (kurang lebih 20 tahun) ke depan.

"We are on the right track now". Dengan bangga, kita dapat mengklaim kepada anak dan cucu nanti di kemudian hari. Bisa dibilang, kita telah membuat suatu keputusan yang sangat krusial dan benar dalam kurun 10 tahun, dengan apa yang saya sebut?reinventing Indonesia?.

Dalam sejarah dunia, bangsa-bangsa timbul dan tenggelam. Pada jamannya, ada yang pernah berjaya, bahkan menjadi superpower, namun kemudian kehilangan elan-nya, tenggelam dan bahkan hampir pupus dari sejarah dan ingatan.

Ada pula bangsa yang tadi tidak terdaftar di sejarah, seperti bangsa Amerika, yang kemudian menjelma pada abad ke-20 (terutama setelah PD II) sebagai negara adikuasa.

Ada bangsa-bangsa yang bangkit dan menemukan identitasnya pada abad pertengahan dan dalam sejarahnya mengalami masa turun dan naik, bahkan sempat ternista karena, seperti kata Obama ?on the wrong side of history?, dan membuat keputusan yang salah seperti Jerman, Jepang, Italia, Spanyol.

Bersama Inggris, Prancis, Rusia dan Polandia, tiga negara Eropa yakni Jerman, Italia, Spanyol pada masa kini menjadi penentu masa depan Eropa. Negara Polandia pernah hilang dari peta politik Eropa selama 123 tahun, tetapi bangsa itu tidak punah bahkan bangkit kembali setelah PD I dan meletakkan batas-batas negerinya kurang lebih di tempat asalnya.

Ada yang membawa peradaban (civilization) baru seperti China, India, Mesir, Irak, Syria, Persia, Ottoman Turki, dan menguasai dunia. Ada juga yang sedang-sedang saja seperti Austro-Hongaria, Prussia, atau sekadar hidup bertahan terombang-ambing ke kiri ke kanan di bawah tekanan negara-negara tetangganya.

Polandia pernah menjadi ibukota pakta militer "The Warsawa Pact" dalam Perang Dingin, dikuasai rejim komunis sampai akhir 1980-an yang ditumbangkan oleh Lech Walesa, seorang tokoh buruh Solidarnosc, yang kemudian mengawali runtuhnya Tembok Berlin diikuti oleh berbagai dampak perubahan pada political landscape di Eropa dengan ramifikasinya.

Muncullah bangsa-bangsa "baru" di Eropa yang sebenarnya dari dulu sudah ada, seperti Croatia, Serbia, Montenegro, Slovenia, Bosnia, Latvia, Lithuania, Estonia, Georgia, Armenia, dan puluhan etnis baru di bekas Uni Soviet dan di Eropa (seperti di Belgia, ternyata ada etnis Flanders yang berbahasa Belanda, dan Wallonia yang berbicara Prancis).

Semua berujung pada konfigurasi atau rekonfigurasi entitasnya. Ada yang berhasil membentuk kesatuan "negara" sebagai entitasnya, sedangkan yang lainnya masih dalam perjalanan, seperti Kosovo, Abkhazia, Tatar, atau masih giat memperjuangkan separatisme seperti Basque (Spanyol), Quebec (Kanada).

Ada pula, seperti Rusia, selalu terombang-ambing apakah mereka bangsa Eropa atau Eurasia, karena daratannya lebih banyak di Asia daripada Eropa. Negara ini pernah menjadi adikuasa, pada saat bernama Uni Soviet dengan atribut komunisme-nya.

Pada saat saya tinggal di sana (1986-1989), Negara ini mengalami proses transformasi luar biasa, tidak saja tercerai berai dari 15 republik menjadi 1 republik, tetapi juga meninggalkan ideologi komunisme yang telah mengubah peta Eropa dari calon teater PD III menjadi zona kerjasama politik dan ekonomi.

Transformasi di Eropa masih belum final, masih menyisakan soal-soal etnis, politis, tetapi lebih kurang, situasi di sana sudah terkendali. Mereka sudah bisa tidur nyenyak.

Bangsa-bangsa dapat bangkit kembali bilamana menemukan kembali jati-dirinya, apabila berani melakukan proses "reinventing", dalam menetapkan formatnya ke depan. Semua bangsa-bangsa senantiasa menghadapi ujian-ujian yang terus beruntun datang.

Ujian terberat dan paling krusial, adakalanya menentukan daya juang suatu bangsa. Jika berhasil, bangsa-bangsa ini disebut telah lulus dan bolehlah duduk dalam pergaulan bangsa-bangsa, atau masuk ke dalam kategori "college of the graduates".

Crisis is over?

Indonesia bagaimana? Menurut saya, kita sudah melampaui masa-masa kritis dan telah berada "on the right track". Mungkin saya berbeda pandangan dengan pakar, pengamat atau mengaku pakar yang masih menggambarkan potret Indonesia yang hancur-hancuran. Seakan-akan "the very concept of Indonesia" sudah usang, dan oleh karena itu semua komponen bangsa dipersilahkan mengambil jalan sendiri masing-masing.

Menurut saya, krisis terberat yang telah kita atasi sebagai bangsa adalah dalam kurun waktu 10 tahun yang lalu. Krisis moneter di tahun 1998 yang melahirkan gerakan reformasi dan kejatuhan Soeharto setelah menggenggam Republik selama 32 tahun, berkuasa dengan segala penyakit kronis warisannya.

Situasi chaos terjadi di tanah air, diikuti dengan semangat separatisme kedaerahan dan konflik terbuka kesukuan, politisasi agama, terorisme dsb. Enough is enough!

Menurut pengamatan saya, seperti bangsa-bangsa besar lainnya di dunia kita telah lulus, tidak sekadar mampu melewatinya dengan baik tetapi menghasilkan berbagai prestasi yang membanggakan.

Dengarlah pendapat internasional dari berbagai pakar keilmuan yang menyimpulkan setelah menganalisis data (hard facts). Dengarlah pendapat para generasi muda kita dan tokoh-tokoh yang berfikir kritis tetapi positif.

Keterpurukan "now belongs to history! Things of the past". Di mata internasional kita telah bangkit. Sudah cukup alasan untuk berbangga-bangga? Belum juga. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan.

Pelayanan publik kita masih parah. Menurut saya, yang terpenting sekarang adalah jaminan bahwa ke depan bangsa ini tidak akan mengalami situasi sampai ke titik nadir, seperti pada era reformasi 1998. Saat itu, seakan-akan kita sendiri tidak bisa melindungi diri sendiri secara fisik. Malang benar.

Sekarang kita menjadi bangsa yang telah lulus ujian berat. Suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa membuat keputusan nasional secara tepat pada waktu yang tepat.

Lihat Amerika Serikat, dengan memilih Obama, citra negara adikuasa ini melambung jauh di mata internasional. Dia memiliki sumber legitimasi terbesar dari seluruh pemimpin AS, karena lahir di saat krisis terberat menimpa bangsanya.

Kita juga telah membuat keputusan terbesar pada saat yang tepat: yakni menjadi negara demokratis. Untuk melihat betapa berharganya demokrasi, sulit kita membayangkan bagaimana China menghadapi arus arus demokratisasi.

Tidak satupun pakar tingkat dunia yang bisa memprediksi situasi China dalam 5-10 tahun ke depan. Tetapi, semua ahli bisa memprediksi seperti apa Indonesia dalam 20-30 atau bahkan 50 tahun ke depan. Potretnya, positif sekali.

Mari saksikan negara-negara tetangga di sekitar kita dan juga di kawasan Asia Pasifik lainnya masih mengalami "democratic deficit", belum memenuhi persyaratan sebagai negara demokrasi. Bentuk akhirnya juga sulit diramalkan, sedangkan, bagi Indonesia "democratic path" telah menjadi hasil terbesar karya anak bangsa, setelah Sumpah Pemuda dan Proklamasi.

Indonesia Reinvented

Indonesia baru saja merayakan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. "We are a very young nation" yang baru memperoleh bentuk entitasnya sebagai Negara pada tahun 1945. Bandingkan dengan negara-negara atau bangsa-bangsa yang telah berusia lebih 1000 tahun (Polandia, Bulgaria, Rusia etc), atau bahkan 5000 tahun seperti Mesir, China, India, Mongolia dsb.

Bangsa-bangsa muda seperti Amerika (belum mencapai 250 tahun), Australia, dan Indonesia adalah Negara yang dibentuk berdasarkan konsep negara modern, bukan ethnic-based, seperti Jerman, Italia, Inggeris, Prancis, Rusia, Polandia, atau berdasarkan agama. Nama negara-negara ini diambil dari nama etnis utamanya.

Indonesia? Saya kira tidak ada ahli antropologi dunia berani meng-klaim adanya etnis Indonesia. Lebih dari 300 etnis yang membentuk bangsa Indonesia. Menurut Menlu Hassan Wirajuda, keliru jika orang mengatakan Indonesia adalah Jawa, karena etnis Jawa itu hanya sekitar 40 persen, karena di Jawa masih ada etnis Sunda, Banten, Madura dan sebagainya.

Menlu Wirajuda memang secara konsisten berupaya untuk menampilkan wajah Indonesia di "Indonesian Foreign Service", dengan merekrut semua potensi bangsa, kalau perlu, dari suku-suku terasing sekalipun! Tidak relevan kayaknya berbicara diplomasi di luar negeri atas nama Indonesia tetapi perspektifnya etnis dan lokal. Indonesia itu hanya satu: yakni Indonesia yang menjadi milik kita bersama.

Kembali ke pokok persoalan, "statement" saya di awal tulisan yang mengajak kita semua bersama-sama mendeklarasikan "Indonesia Milik Kita Bersama", yang didasari oleh beberapa argumen pokok.

Pertama, klaim ini bisa saya cetuskan untuk menggambarkan transformasi luar biasa yang terjadi di tanah air. Bahwa kita memiliki Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, dari dulu memang begitu. Semua sudah tahu. Bahwa negeri ini memiliki luas wilayah sekitar 7 juta km2, 17 ribu pulau, sedikitnya 300 etnis yang juga memiliki sub-etnis dengan ribuan bahasa, semua juga sudah tahu.

Kita sudah menjadi negara demokratis dengan sistem partisipasi yang inklusif, dan berani berbicara tentang HAM pada tingkat global. Kita berani karena memiliki prestasi. Pada zaman orde baru, pada isu ini kita tiarap, menjadi sasaran tembak. Sial betul!

Sulit menjelaskan, bagaimana transformasi berlangsung dari Indonesia yang dikenal sebagai bangsa perusak lingkungan (di jaman era order baru kita juga tiarap) menjadi bangsa yang dipercaya dalam troika perubahan lingkungan (bersama Polandia dan Denmark).

Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak memiliki masalah di sini. Yang ingin saya katakan adalah bahwa kerusakan lingkungan di tanah air lebih banyak berkaitan dengan kemampuan kita dalam penegakan hukum dan undang-undang. Kerusakan yang bukan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah (part or inherent in the policy), seperti di negara-negara lainnya.

Sekarang, muncul "perasaan" yang kuat bagi kita sebagai bangsa setelah melalui proses reinvention, di kancah pergaulan antar-bangsa (bukan chauvinisme). Argumen saya pada poin pertama ini, berkaitan dengan atribut (identitas) dan semangat baru. Indonesia tidak lagi menganut paham "low profile", kita harus duduk di "driving seat", meminjam istilah Menlu Wirajuda.

Ada perasaan kebanggaan yang menguat sebagai "orang Indonesia", tidak perlu ada perasaan minder atau keterpurukan. Ada kebanggaan bahwa dalam kurun 10 tahun ini kita telah berkembang menjadi negara demokratis dengan segala kelengkapan institusi dan normanya.

"Indonesia reinvented" telah dilengkapi dengan semangat inklusivitas, semua untuk semua. Kita tidak memiliki etnis minoritas, semua adalah warganegara. Selebihnya warga negara asing. Kita telah menjadi Negara demokrasi ke-3 terbesar di dunia.

Ini lahan yang sangat luas bagi orang yang menetapkan karirnya di politik, karena banyak lowongan dengan berbagai jaminan-jaminan. Banyak penduduk yang perlu diurus, sehingga bakal tidak ada pengangguran!

Kita dapat berjalan dengan kepala tegak sekarang karena Indonesia telah menjadi negara yang menghormati hak asasi manusia. Bahkan menurut saya, UU Kewarganegaraan kita yang baru adalah sistem yang paling maju di antara seluruh negara di dunia. Bayangkan, di banyak negara di Asia dan Eropa, banyak orang asing (etnis minoritas) yang sudah lahir turun-temurun masih belum memperoleh kewarganegaraan di tempat dia lahir dan mati!


Economic Downturn: A New Crisis?

Ada kebanggaan, ketika negara-negara di dunia menghadapi krisis pangan, krisis energi dan bahkan krisis ekonomi keadaan di tanah air tidak separah itu. Pada saat kelesuan ekonomi melanda dunia, ekspor turun drastis sehingga Negara yang mengandalkan pertumbuhan domestiknya berdasarkan ekspor sekarang ketar-ketir.

Ekspor cuma menyumbang sekitar 30 persen dari seluruh kegiatan ekonomi di dalam negeri (PDB). Turunnya permintaan di pasar dunia tentu akan berdampak pada tingkat ekspor, tetapi saya kira situasinya berbeda dibandingkan dengan negara-negara yang sangat tergantung dari ekspor seperti Singapura dan Vietnam, misalnya. Kedua negara ini sekarang terancam resesi.

Dalam situasi resesi, negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia sebenarnya tidak perlu khawatir. Jumlah penduduk besar menjadi pasar yang besar.

Bayangkan, tukang sepatu kita memiliki order 250 juta pasang sepatu, toke sembako perlu berfikir keras untuk mengupayakan stok sembako untuk 250 juta mulut. Sektor transportasi harus menyediakan angkutan untuk 250 juta orang. Pengusaha hiburan harus memikirkan bagaimana menyiapkan paket hiburan bagi 250 juta orang! Ini pekerjaan massif!

Dalam situasi resesi ekonomi dunia, kita konsentrasi ke dalam negeri saja sementara ini. Amerika dapat hidup sendiri karena penduduknya besar, tetapi seperti Indonesia mereka tidak dapat menghasilkan sendiri kebutuhannya. Mereka manja, kita?

Berbagai lembaga ekonomi internasional dan pers telah menampilkan wajah Indonesia yang penuh pengharapan. Data-data yang dilampirkan oleh majalah Economist, misalnya menempatkan potret Indonesia yang tidak jelek jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik lainnya.

Indonesia telah menjadi satu diantara 20 negara dunia yang bertanggungjawab terhadap perekonomian dunia merupakan fakta tak-terbantahkan. Saya kira ini porsi ekonom untuk menjelaskannya.

Alasan kedua, secara diam-diam dan pasti kita telah menciptakan sistem kenegaraan yang terbuka, atau transparan. Saya sepakat dengan para pengamat, kita masih jauh dari memiliki sistem yang sempurna. Di mana-mana begitu. Amerika saja baru sadar bahwa supervisi di pasar modal oleh Pemerintah itu perlu. Bahwa Pemerintah AS juga perlu prudent dalam mengelola ekonomi keuangan. Hah!

Kampanye anti-korupsi dengan efek jera yang `kejam? menurut saya berhasil. Saya kira, pejabat negara yang waras pada jaman sekarang tidak berani main-main dengan harta negara.

Pada jaman orba kita selalu dicibir pada saat sidang IGGI: para pengutang (kreditor) datang ke rapat naik sepeda atau naik metro/subway dari apartemen mereka yang sederhana dan kecil, sementara yang diutangi (RI), yakni pejabat-pejabatnya datang naik limusin, menginap di president suite pada hotel-hotel bintang 5! Dan, kita selalu bangga bahwa kepercayaan luar negeri meningkat dengan peningkatan "bantuan luar negeri" yang notabene "hutang" yang dibayar oleh rakyat si pembayar pajak!

Saya akui, memang orang bilang, "It's one thing that you have established the system, it's another when it comes to implementation". Kita masih perlu membudayakan demokrasi ke dalam sistem nasional. Kita masih buruk dalam pelayanan publik dan terlalu banyak ruang-ruang yang harus ditata.

Memang perlu kesabaran karena menyangkut budaya, "It takes a generation", kata orang. Membudayakan kebersahajaan dan anti-korupsi dalam keseharian memang masih perlu. Saya setuju harus ada "time-frame".

Masyarakat kita juga tampaknya perlu dipersiapkan, bahwa pekerjaan di sektor negara itu pekerjaan pengabdian, bukan untuk menjadi kaya. Seyogianya pengelola negara itu tidak kaya. Memang susah, misalnya jika menghadapi permintaan sumbangan dari sanak-saudara atau teman dalam rangka pernikahan.

Saya inginnya menyumbang besar (karena memang besar biayanya), tetapi tidak punya uang. Menyumbang sedikit? Masih ada rasa malu, sungkan. Saya yakin ini hanya sebentar saja.

Dalam poin ini, kayaknya sekarang aneh jika seorang pegawai negara (dari jabatan atau eselon berapa pun!) mampu mengadakan pesta pernikahan anaknya bak bangsawan Eropa, di hotel-hotel berbintang dengan mengundang ribuan tamu berdasi!

"New mentality is required". Jangan hanya di permukaan kita mengklaim pola hidup sederhana ala orde baru. Kita masih perlu membudayakannya dalam sikap dan tindakan sehari-hari.

Alasan ketiga, pernyataan bahwa kita bangga menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia harus dibaca dari segi potensi SDM-nya.

Tahun 2009 telah dicanangkan sebagai tahun industri kreatif. Indonesia memiliki SDM yang berusia muda, sekitar 60-70 persen pada tingkat usia di bawah 40 tahun. Sekarang ini menjamur bakat-bakat anak muda Indonesia di segala bidang industri kreatif: berkaitan dengan teknologi informasi dan seni budaya.

Positif bahwa beberapa anak muda kita telah memiliki bagian dalam produksi film di Hollywood dan di bidang pembuatan "software". Sayangnya, Indonesia juga tercatat menjadi "hackers" kelas dunia!

Sudah lama diketahui, kekurangan SDM unggul di banyak negara, termasuk AS, dipecahkan melalui kebijakan imigrasi. Berapa banyak anak-anak muda kita, terutama lulusan terbaik, yang dirayu dan kini bekerja di negara-negara tetangga di Asia Pasifik?

Keempat, saya selalu bangga mengatakan dalam berbagai kuliah, ceramah dan presentasi di luar negeri bahwa Indonesia adalah "superpower" di bidang kebudayaan. (Jangan dulu berdebat definisi apa itu kebudayaan?).

Argumen saya singkat, kita terdiri dari lebih 300 suku bangsa dengan berbagai kelengkapan budayanya: agama dan kepercayaan, bahasa, kesusasteraan, seni tari, musik, instrument, seni-ukir, pakaian, dan makanan dan keunggulan-keunggulan di bidang genetika dan karakter positif masing-masing etnis anak-bangsa.

Itu sebabnya, sulit bagi saya untuk memberikan ceramah umum mengenai keseluruhan aspek Indonesia. Terlalu besar, terlalu luas! Saya harus memilih tema-tema dari daerah tertentu saja.

Saya katakan, bayangkan 300 suku bangsa dengan segala kelengkapan budayanya berinteraksi, berakulturasi, satu dengan lainnya. Hasil akhirnya, ratusan jenis ukiran, tarian, musik, nyanyian, pakaian, jenis makanan dan sebagainya.

Ini menjadi sumber inspirasi para artis, seniman, kalangan industri, yang tidak akan pernah kering. Produknya bila dikemas ke dalam industri mungkin ribuan, atau malah jutaan jenis produk! "The sky is the limit", kata orang.

Perbedaan itu rahmat dan indah. Kita lebih mengenal diri kita karena mengetahui orang lain. Kita lebih menghargai diri kita sendiri, karena kita juga harus menghargai orang lain dan sudi hidup berdampingan dengan tetangga kita, apapun atribut etnis atau sosial budayanya.

Hasil akhirnya, apakah telah tercapai toleransi dan penghargaan atas sesama secara substantif! Belum. Jangan biarkan nilai-nilai ini langgeng berada pada di tingkat normatif, atau bahkan semata-mata hany menjadi statemen politik.

Kejadian di Medan, wafatnya Ketua DPRD Sumut dalam demo berdarah di awal Februari telah menunjukkan bahwa masih ada unsur-unsur di masyarakat kita yang, meminjam pernyataan Obama, "On the wrong side of history". Di sini pekerjaan rumah menumpuk.


The Way Forward

Orang bisa mengatakan, dengan selesainya transformasi mendasar berarti sudah final, "dong". Perjuangan telah selesai, tetapi baru dalam mencapai format barunya. Substansinya? 10 tahun masih kurang cukup waktu.

Ini baru "a new milestone", tahapan baru. Baru merupakan awal melangkah ke depan di jalan yang tepat. Pas: Indonesia modern, berbudaya, demokratis, sejahtera yang menghormati perbedaan (inklusif), dengan sistem partisipatif dan terbuka. "A new Indonesia" sudah berbentuk dan masih "in the making".

Ke dalam masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan pada masing-masing bidang dan bagi semua kita, komponen bangsa. Mari kita pupuk kebersamaan di antara kita dalam membereskan berbagai agenda domestik guna mendukung kejayaan bangsa dan negara kita di dalam pergaulan antar-bangsa.

"My bottom line": mentalitas keterpurukan "is over".(*)

*Penulis adalah Duta Besar RI di Polandia.

antara.co.id

Artikel yang berhubungan