WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

10.09.2008

One District One Commodity

ONE district one commodity. Slogan mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra itu kini tengah berupaya dilakoni pemerintah. Niatnya bagus, yakni untuk menggenjot performa industri agrobisnis hortikultura di Tanah Air. Ahmad Dimyati, Dirjen Hortikultura Departemen Pertanian, mengatakan, dalam waktu dekat pemerintah akan menyiapkan 66 wilayah di Nusantara untuk menjadi kawasan agrobisnis hortikultura.
Ahmad lalu menuturkan, saat ini sedang dilakukan identifikasi terhadap sejumlah wilayah yang berpotensi menjadi kawasan agro. ”Ada sekitar 66 daerah yang sudah siap. Namun, bisa jadi akan bertambah,” katanya. Menurut Ahmad, pengembangan kawasan agrobisnis hortikultura ini, nantinya akan diterapkan berdasarkan komoditi dan jenis usaha tani.
Proses pengembangan kawasan hortikultura itu, antara lain, dilakukan melalui perbaikan kawasan yang sudah ada maupun pembentukan kawasan baru. Setiap kawasan hortikultura nantinya terdiri dari beberapa sub kawasan. Untuk kawasan Manggis, misalnya, akan ditentukan di Subang dan Purwakarta. Lima kecamatan di Purwakarta dan empat di Subang dijadikan sub kawasan. ”Dalam kawasan itu akan dibuat usaha besar-besaran yang dilengkapi fasilitas dan faktor pendukung lainnya,” katanya.
Pemerintah berharap, dengan adanya sebuah kawasan agro, ekspor komoditi hortikultura bisa ditingkatkan. Bukan apa-apa. Saat ini, menurut Ahmad, penanganan komoditi yang ada di sektor ini, seperti buah-buahan dan sayuran, masih terasa kurang optimal. Padahal, potensi bisnis ini cukup lumayan.
Indikasi itu bisa dilihat dari jumlah komoditi di sektor ini yang telah mencapai 323 varietas, terdiri dari 80 varietas sayur, 60 buah-buahan, 117 tanaman hias, dan 66 varietas tanaman biofarmaka. Soal potensi bisnisnya, Ahmad memberi contoh. Pada 2001, volume ekspor hortikultura baru 340 ribu ton dengan nilai US$ 172 juta. Namun, pada 2005, volumenya membengkak menjadi 355 ribu ton dengan nilai US$ 207 juta.
Volume ekspor komoditi hortikultura banyak berasal dari buah-buahan, seperti nanas, manggis, dan pisang. ”Sayur-sayuran, kentang, kembang kol, dan bawang merah juga memiliki kontribusi besar,” kata Ahmad. Selain buah dan sayuran, ekspor tanaman hias juga menunjukkan tren peningkatan. Jika pada 2002 nilai ekspornya US$ 900 ribu, pada 2005 skalanya naik menjadi US$ 12,5 juta.
Namun, Ahmad mengakui, jenis tanaman biofarmaka masih belum bisa diandalkan sebagai komoditi ekspor. Bahkan, selama kurun waktu 2004-2005, tidak ada ekspor yang bisa dicetak dari tanaman obat-obatan ini. Hanya pada 2002 dan 2003, biofarmaka mampu mencatat ekspor sampai 955 ribu ton. ”Itu sebabnya, masalah ini perlu mendapat perhatian,” ujarnya.
Apalagi, Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura juga cukup mengesankan. Berdasarkan data Ditjen Hortikultura, sepanjang 2005, nilai PDB hortikultura mencapai US$ 44 miliar. Skala itu meningkat di tahun selanjutnya menjadi US$ 46 miliar. Nah, di tahun ini, pemerintah telah menargetkan nilainya bisa mencapai US$ 49 miliar, dan US$ 51 miliar pada 2008.
Sobir, Kepala Pusat Kajian Buah Tropika IPB, mengatakan, pengembangan kawasan hortikultura seharusnya sejak dulu dilakukan pemerintah. Sebab, kendala terbesar yang dialami sektor agrobisnis nasional, adalah skala usahanya—baik hortikultura maupun perkebunan—yang belum ekonomis. ”Setiap usaha itu harus ada skala ekonomi secara minimum,” ujar Sobir.
Akibatnya, dari sisi harga, komoditi Indonesia kerap kalah bersaing dengan komoditi asing. Jeruk, misalnya. Menurut Sobir, harga jeruk Cina yang masuk ke pasar domestik, hanya dijual Rp 2.500 per kilogram. Jika ditambah biaya transportasi dan lainnya, sampai ke tangan pedagang harganya cuma Rp 4.000 per kilogram. Nah, di tingkat ke konsumen, paling banter harganya Rp 8.000 per kilogram. ”Pedagang masih untung 50%,” katanya.

LEBIH SENANG MENJADI PEDAGANG KETIMBANG PETANI
Sementara dengan jenis yang sama, jeruk asal Kalimantan dan Medan, ketika dijual ke konsumen harganya sudah mencapai Rp 10.000 per kilogram. Jadi, ”Keuntungan yang bisa didapat pedagang sangat kecil dibandingkan menjual jeruk Cina,” tambah Sobir. Ia menambahkan, salah satu pemicu tingginya harga jual komoditi lokal, yakni lantaran sistem produksinya tidak dilakukan dengan efisien.
Para petani hortikultura, lazimnya hanya mengusahakan tanamannya di lahan yang tak begitu luas. Sudah begitu, jarak lokasi lahan antara satu petani dan petani lainnya yang menanam satu jenis komoditi—misalnya mangga—juga sangat berjauhan. Karena itu, ketika pihak distributor tengah butuh pasokan, ongkos yang harus mereka keluarkan juga berlipat. ”Makanya, ketika sampai di konsumen harga buah menjadi mahal,” tutur Sobir.
Komentar Sobir dibenarkan Budi Waluyo, Manajer Operasional PT Mustika Selaras (eksportir buah manggis). Selama ini, untuk mendapatkan manggis, pihaknya harus mencari ke sejumlah daerah yang sedang musim panen. Dengan tersebarnya daerah yang harus disinggahi, tambah dia, harga akan menjadi lebih mahal karena harus ditambah dengan ongkos transportasi dan biaya lainnya.
Oleh karena itu, Budi mendukung gagasan pemerintah membentuk kawasan agrobisnis hortikultura. ”Itu sangat bagus. Dengan adanya sebuah kawasan, eksportir tidak perlu lagi berburu ke berbagai tempat untuk mencari buah yang akan diekspor, karena sudah tersedia di sana,” katanya. Betul, Budi boleh saja gembira atas kebijakan pemerintah. Tapi, hanya membentuk sebuah kawasan, tentu belumlah cukup.
Sobir menyarankan agar pemerintah Indonesia meniru langkah pemerintah Cina. Pemerintah di sana, katanya, all out dalam memobilisasi sektor pertanian. Lahan pertanian bukan milik perorangan, tapi milik negara. Negara yang bikin usahanya, masyarakat yang mengerjakan. Jadi, sistem produksinya bisa efisien. Sementara di sini, lahan dan usahanya dilakukan sendiri oleh masyarakat.
Jadi, jangan heran, jika para petani di Indonesia masih kurang serius menggarap lahannya. Kendati memiliki lahan perkebunan, di antara mereka justru lebih tergiur mencari nafkah di sektor lainnya. ”Para petani lebih baik menjual lahannya, ketimbang mengolahnya dengan biaya yang tinggi. Makanya, pendapatan para petani itu 70%-nya berasal dari luar sektor pertanian,” ujar Sobir.
Pendapat senada juga diungkapkan Winarno, Ketua Himpunan Perbuahan Indonesia. Tren yang terjadi di bisnis hortikultura saat ini, adalah masyarakat lebih cenderung menjadi pedagangnya ketimbang menjadi petaninya. ”Kebanyakan eksportir buah di sini tidak memiliki kebun. Mereka lebih memilih jadi trader. Cukup membeli buah dari petani, diseleksi, kemudian diekspor,” katanya.
Sah-sah saja, memang, jika cara itu dianggap kalangan eksportir lebih menguntungkan. Tapi, dalam banyak kasus, eks-portir acap tak bisa memenuhi permintaan negara importir secara kontinu. Sebab, ya itu tadi, lahan perkebunannya saja mereka tak punya. Apalagi, di antara mereka banyak yang tak mau membina para petani.
Ada sejumlah alibi yang menjadi pemicunya. Yang terutama, mengelola kebun pertanian itu tidak mudah. Selain membutuhkan sumber daya manusia yang tak sedikit, investasinya pun mahal. Sudah begitu, hasilnya pun baru bisa dinikmati dalam jangka panjang. ”Sejumlah alasan itu, membuat banyak kalangan berpikir tiga kali untuk terjun ke sektor agrobisnis,” tambah Winarno.
Pertanyaannya kini, akankah pengembangan kawasan itu terwujud? Masalahnya, Departemen Pertanian sendiri telah merevisi jumlah kawasan yang akan dikembangkan. Menurut sumber TRUST di departemen itu, konon karena anggarannya tak mencukupi, pemerintah hanya akan mengembangkan 32 kawasan hortikultura. ”Untuk mengembangkan 66 kawasan butuh biaya Rp 600 miliar. Padahal, dana yang tersedia cuma Rp 60 miliar,” katanya.



www.majalahtrust.com


Artikel yang berhubungan