WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

9.17.2008

LUKISAN CINTA

“Wah, bagus sekali…”, beberapa orang memandanginya sambil berbisik satu sama lain memujinya. Entah sudah berapa orang yang mengatakan itu, mungkin seratus, seribu atau lebih, ia tidak pernah berniat untuk menghitungnya.
Dari sejak pertama ia berada di sana, banyak sekali yang datang hanya sekedar untuk memandanginya, memujinya, lalu pergi begitu saja. Sebenarnya ia tidak mau berada di sana, ia sangat tertekan meskipun banyak teman-temannya yang juga berada di sana dengan berjuta pujian yang setiap saat terlontar dari para pengagumnya.
“Aku tidak ingin di sini….”, teriakannya memenuhi seluruh ruangan, “Tempatku bukan di sini…, tempatku di hati kalian….”, teriaknya lagi sambil memelototi orang-orang yang juga menatapnya tajam. “Bawa Aku ke rumah kalian, bawa Aku ke tempat kalian bekerja, letakkan Aku dalam genggaman tangan kalian, ikutkan Aku disetiap langkah kalian, simpan Aku dalam pikiran kalian, simpan Aku di dalam hati kalian…..”, ia terus saja berteriak hingga suaranya hampir tidak lagi terdengar. Nafasnya satu-satu memaksanya menghirup udara ruangan itu yang semakin menipis oleh sesaknya orang-orang yang terus berdatangan.
Ia terdiam, matanya sayu dengan sekali-sekali terpejam, menunduk menahan desakan air matanya yang hampir tertumpah. Ia tidak lagi berteriak, suaranya habis, dan kini ia hanya bisa berbisik-bisik pelan, sangat pelan, mungkin seperti kepakan sayap kupu-kupu, ah…, bukan…., bukan seperti itu, mungkin lebih tepat seperti desir angin lalu. Ia berteriak setiap hari dari mula pertama ia berada di sana, dan hari itu adalah hari ketujuh ia berada di sana, tetapi tidak ada seorangpun yang mendengar teriakannya. Tentu saja…, ia hanyalah sebuah lukisan yang tergantung di dinding ruang pameran. Yang mendengar teriakannya hanyalah teman-temannya yang juga lukisan dan beberapa buah pahatan patung pualam yang diletakkan di tengah-tengah ruangan itu, mungkin hanya sebagai pemanis atau mungkin juga memang bagian dari pameran. Teman-temannya hanya diam, mereka tidak mungkin membantunya karena bila ikut berteriakpun tidak akan ada yang mendengar teriakan mereka dan hanya akan berlalu begitu saja dibawa oleh angin yang terus berganti.
Hari itu adalah hari terakhir pameran yang seperti biasa selalu padat dipenuhi pengunjung yang ingin menikmati goresan-goresan cat pelukis terkenal, mungkin sudah menjadi watak manusia yang selalu saja tersadar di saat-saat terakhir. Ia masih menunduk sedih dengan mata yang memerah karena habis menangis. Ah, kasihan dia, suaranya tidak akan pulih secepat itu, perlu beberapa hari untuk mengembalikan suaranya hingga ia dapat berteriak lagi. Tetapi…dasar keras kepala, atau mungkin ia sudah gila! Ia mulai mencoba berteriak lagi untuk yang terakhir kali sebelum seluruh suaranya lenyap, hilang sama sekali. Suaranya berat, tidak jelas, dan terputus-putus. Ia terus mencoba berteriak, berteriak dan berteriak lagi, karena mulai besok ia hanya akan berada sendirian di dalam ruangan yang luas, mewah dan wangi milik pembelinya, tetapi sangat sepi. Ya, setidaknya itulah kabar yang ia dengar dari teman-temannya yang lebih dulu pernah dimiliki oleh orang-orang kaya yang hanya karena gengsi, hanya karena mereka memiliki banyak uang, bukan karena mereka menyukainya apalagi mengerti akan arti dan pesan yang terkandung di dalamnya.
Seorang pria muda, umurnya mungkin baru sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun, dengan santai memasuki ruang pameran itu. Sesaat orang itu berhenti dan mengamati seluruh ruangan dengan matanya yang agak sipit dibantu oleh kaca matanya yang tidak terlalu tebal. Beberapa saat orang itu berdiam diri sambil terus matanya menatap lukisan-lukisan di ruangan itu satu persatu, persis seperti orang yang sedang berpikir tentang sesuatu atau mungkin sedang mencari sesuatu, entahlah yang jelas terlihat hanyalah dahinya yang mulai berkerut-kerut. Lalu dengan langkah yang sangat ringan, hampir seperti melayang, orang itu perlahan mendekati dirinya, mengamatinya, sebentar kemudian orang itu tersenyum.
“Apa yang kau tertawakan…?” ia yang sejak tadi hanya diam menunduk kembali bersuara karena polah orang itu meski dengan suara yang sangat parau, “Apa Aku terlihat lucu…?, Ah, paling-paling kau hanya akan mengatakan “wah, bagus sekali…” lalu kau akan pergi begitu saja, atau bila kau punya uang, kau hanya akan membeliku lalu meletakkanku begitu saja di rumahmu yang luas dan mewah…., iya kan…?! Hah! tetapi sepertinya kau tidak akan bisa membawaku pulang ke rumahmu, lihat Aku sudah ada yang membeli…..”, ia terus saja mengoceh sambil menunjukkan secarik kertas bertuliskan “sold”, dan orang itu tetap berdiri di depannya masih sambil tersenyum.
“Aku mengerti…”, tiba-tiba orang itu berbicara dengan rona muka yang sejak tadi diliputi senyum perlahan berubah muram persis seperti wajahnya, “Aku sangat mengerti apa yang kau rasakan…”. Mendengar ucapan orang itu, ia dan teman-temannya diam terpaku, ruangan itu menjadi senyap, suara pengunjung pameran yang tadi berbisik-bisik pun tidak lagi terdengar, semua mata tertuju ke arah orang itu.
“Kau mengerti apa..?, tahu apa kau tentang perasaanku…?”, ia balas bertanya dengan nada tinggi.
“Aku mengerti perasaanmu….., kau ingin orang-orang yang memandangmu mengerti akan arti goresan-goresan cat yang membentuk tubuhmu kan…?!, kau ingin mereka memahami pesan yang kau bawa, bukan hanya meletakkanmu di dalam ruangan-ruangan mereka yang luas dan mewah tetapi jiwa dan sikap kepribadian mereka sangat jauh bertentangan dengan apa yang mereka sebut sebagai keindahan, yaitu kau…, meskipun mereka juga tidak mengerti dimana indahnya dirimu…., Aku tahu mereka memujimu dan membelimu hanya karena mereka banyak memiliki uang, dan akan sangat bangga bila mereka juga disebut sebagai pencinta seni…., apalagi kau adalah masterpiece dari seorang pelukis terkenal….”, orang itu berkata lancar tanpa jeda membuat semua yang ada di ruangan itu terpaku, tidak terkecuali lukisan-lukisan yang masih tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan, orang itu bisa mendengar perkataan mereka…!, dan para pengunjung pameran pun tersentak, mereka hanya bisa terdiam melihat ada manusia yang bisa berbicara dengan lukisan.
“Kau….benar-benar bisa…mendengar apa…yang…Aku ucapkan…?”, ia kembali bertanya kali ini dengan nada yang lebih rendah dan rasa tidak percaya. Orang itu perlahan bergerak lebih mendekatinya dan kini jarak antara dirinya dengan orang itu hanya berjarak sekitar satu jengkal, kemudian orang itu kembali tersenyum.
“Aku mendengar semua yang kau ucapkan…., Aku pun mendengar semua teriakan-teriakanmu dari hari pertama pameran ini dibuka….”
“Bagaimana kau dapat mendengarku…?, padahal manusia-manusia yang lainnya tidak…”
“Kau tahu manusia tidak dapat mendengarmu….?”, orang itu balik bertanya, “Lalu mengapa kau terus menerus berteriak sampai suaramu hampir hilang, sedangkan kau tahu manusia tidak dapat mendengarmu…?”
“Entahlah, Aku hanya merasa sangat sedih melihat semua yang terjadi di dunia ini. Perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan hampir setiap hari terjadi, dan Aku hanya bisa berdiam diri, padahal Aku adalah cinta, Aku adalah harapan, Aku adalah kesadaran mulia bagi jiwa-jiwa manusia, Aku adalah pengingat kesucian hakikat manusia diciptakan. Aku lelah….., Aku capek…., tetapi apalah dayaku, Aku hanyalah sebuah lukisan yang tergantung di dinding ruang pameran….., yang dapat kulakukan hanyalah berteriak meskipun Aku tahu bahwa manusia tidak akan dapat mendengarku….”
Sejenak ia terdiam menahan kesedihan yang mendalam yang membuat kata-katanya tertahan di tenggorokannya, dan air matanya kembali tertumpah mengalir membasahi goresan cat yang membentuk tubuhnya hingga hampir melunturkannya.
“Lebih baik Aku menangis sampai air mataku memenuhi kanvas ini dan menghapus seluruh cat yang membentuk tubuhku, hingga akhirnya kanvas ini akan kembali putih dan aku tidak akan pernah lagi melihat semua itu….”
“Tidak….! kau harus tetap ada….!!”
“Untuk apa…?”
“Kau kira karena apa aku bisa mendengar ucapanmu…?!”
“Maksudmu…?”
“Semangatmu yang begitu besar memancarkan energi yang mampu menerangi dunia, keyakinanmu yang begitu teguh sebagai gambaran cinta, dan keinginanmu untuk menyadarkan manusia dengan teriakanmu memberikan kekuatan kepada halusnya hati untuk bersuara. Mungkin Tuhan telah memilih Aku sebagai orang pertama yang digerakkan hatinya untuk bersuara dan membuka tabir penghalang hingga Aku dapat mendengarmu. Aku yakin bila kau tetap ada, tetap pada keyakinanmu, pada pendirianmu, semangatmu akan lebih memancarkan sinar kedamaian, memancarkan cahaya cinta yang sangat didambakan manusia untuk menyirami jiwa gersang mereka, dan bukan tidak mungkin akan ada Aku-Aku lainnya yang terbuka hati dan pikirannya, yang dapat mengambil arti bentuk tubuhmu dan menyebarkannya di atas dunia ini, hingga suatu saat nanti, impianmu dan impian kita semua tentang cinta, kasih sayang, kedamaian, dan ketentraman akan dapat terwujud. Kita tidak boleh berputus asa, terutama kau….!!, karena kau adalah perantara pertama semangat itu. Tuhan telah menitipkan kepadamu cahaya-Nya dan kau harus menjaga itu semua….”
Matanya berkaca-kaca, beberapa bulir air matanya menetes jatuh membelai perih jiwanya. Tetapi kali ini bukanlah air mata kesedihan, melainkan air mata haru mendengar penuturan orang itu. Air matanya lebih jernih dari sebelumnya, terang bercahaya menyinari kanvas tempatnya berada dan memperjelas bentuk tubuhnya. Bibirnya yang terkatup rapat perlahan mulai bergerak membentuk sebuah senyuman di sudutnya, semakin lama semakin jelas terlihat pergerakan bibirnya yang dipenuhi barisan senyum mengangkat tulang pipinya ke atas hingga mendorong kelopak matanya menyipit hampir menyatu. Ia mengangguk tegas ke arah orang itu, sambil mempertahankan bentuk bibirnya yang meliuk ke atas seperti perahu, orang yang telah membuka hatinya, orang yang telah mengembalikan semangatnya untuk terus berjuang, dan orang yang telah menyalakan kembali cahaya Ilahi yang penuh dengan cinta dan kasih sayang untuk menerangi jalan manusia menuju kedamaian abadi.
Bentuk tubuhnya semakin nyata, lekuk goresan di tubuhnya jelas menebal, dan ia merasa menjadi seperti sebuah pahatan di atas pualam. Ia melayang keluar dari kanvas dan mulai merentangkan sayapnya yang agak kusut terlipat. Kepakan sayapnya menggetarkan udara di sekitarnya membentuk riak gelombang bergulung-gulung menghembuskan aroma yang sangat menyejukkan jiwa dan mampu membangkitkan kembali ruh-ruh cinta yang telah mati, memenuhi ruang pameran menerpa semua yang ada di dalamnya, lalu bergerak ke luar mengikuti arus angin berhembus.
Sejak itu, ia terus bergerak mengitari bumi dan alam semesta, mengepakkan sayapnya menjaga agar cahaya cinta tidak meredup dan agar seluruh jiwa dapat selalu diliputi senyum kedamaian. Hingga suatu hari, Tuhan berkata kepadanya, “Tugasmu telah selesai, beristirahatlah….”

Jakarta, April 2003


Artikel yang berhubungan