WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

9.14.2008

BUITENZORG

Matanya menembus kaca jendela bus yang sedang membawanya menuju kota yang sarat dengan kenangan baginya, Buitenzorg. Bola matanya bergerak-gerak mengikuti irama deretan pepohonan dan rumah-rumah di pinggir jalan. Orang-orang dan kendaraan yang melaju di balik pepohonan dan rumah-rumah itu seakan hilang timbul persis seperti pola anyaman, tetapi kemudian lenyap sama sekali tidak berujung bagai direngkuh dan dililit dalam lingkaran perkasa semesta raya. Suasana di dalam kepalanya hiruk pikuk penuh warna berkelebatan silih berganti seperti sebuah pemutaran film tentang
perjalanan hidupnya. Kenangan tentang kota yang sedang ditujunya melayang-layang terbayang jelas di sudut ingatannya. Ada kerinduan yang mendalam terlihat jelas pada garis wajahnya. Bagaimana ketika ia pertama kali menjejakkan kakinya di kota itu dan memandang segala sesuatunya dengan seribu pertanyaan. Udaranya yang sejuk dan basah, langitnya yang hampir selalu tertutup awan, pohon-pohonnya yang tinggi besar dan tua dengan daun-daunnya yang rimbun dan saling bertaut menutupi jalan di bawahnya, dan…ya! kesemrawutan di terminal angkutan kotanya!

“Ah, sebentar lagi…, semuanya…”, gumamnya pelan.

Ia telah meninggalkan kota tempat meraih gelar kesarjanaannya itu selama hampir satu windu. Satu minggu setelah penyematan tanda kesarjanaannya, ia pergi meninggalkan kota itu, meninggalkan semua kenangan yang terukir di dalamnya dan hingga kini ia tidak pernah lagi melihatnya. Entah apa yang memaksanya untuk kembali ke kota itu, mungkin ia ingin mengulang kembali semua kenangan yang pernah ia lukis dengan goresan-goresan tinta dan warna warni cat polah tingkahnya yang penuh dengan semangat juang dan pemberontakan, dosa dan airmata penyesalan, serta harapan dan keputusasaan, entahlah, hanya ia dan Tuhan yang tahu.

Bus yang ditumpanginya baru saja melintasi gerbang tol kota itu, terlihat jelas bangunan rumah-rumah petak tempat kost mahasiswa yang tidak beraturan berjajar di balik pagar tol. Masih seperti dulu, bahkan tampak lebih rapat dan lebih tinggi. Beberapa saat kemudian, bus yang membawanya telah berada di jalan masuk terminal yang penuh dengan mobil-mobil angkutan kota yang berjejalan saling mendahului untuk mendapatkan penumpang sebanyak-banyaknya dan merekapun “ngetem” seenaknya. Ia baru beranjak turun setelah seluruh penumpang bus tidak lagi bersisa. Ada keraguan yang tiba-tiba menyergapnya ketika sampai di pintu bus, perasaan aneh yang baru kali ini ia alami, semacam penolakan terhadap sesuatu. Ia masih berdiri tertegun di pintu bus, dan dengan perlahan ia mencoba menghirup udara siang kota itu, merasakannya kembali setelah sekian lama. Tetapi udara yang baru saja menyelusup ke dalam rongga hidungnya membuat ia tersedak, ia langsung menutup hidungnya dengan sapu tangan. Udara kota itu yang sejuk dan basah sudah tidak ada lagi, kini udaranya penuh dengan asap kendaraan. Ia mulai kecewa sambil berjalan di sisi terminal yang sempit dan penuh sesak oleh pedagang.

Ia menyusuri setiap jengkal kenangan kota itu, mencoba merasakan kembali langkah-langkah yang sempat terayun, menimbulkan kembali hasrat dan kepedihan yang pernah tercipta, menilik setiap detil suasana seperti ingin meyakinkan sesuatu. Ia semakin kecewa melihat kampusnya yang dulu rindang, penuh dengan mahasiswa yang bercengkrama kini telah berubah menjadi sebuah mal!

“Oh kampusku...” Pikirannya melayang kembali kemasa kuliahnya dulu. Masih teringat jelas ketika ia dan teman-temannya sering bermain bola dilapangan yang kini hilang, begitu juga ketika mereka menanam jagung, tomat, kedelai dan cabai di lahan paktikum yang kini juga hilang dan telah menjadi bangunan beton itu.

Ia tiba di persimpangan pusat kota itu dengan sebuah monumen yang berdiri kokoh di tengahnya yang pasti mengingatkan setiap yang memandangnya akan sebuah kerajaan besar yang pernah berjaya ratusan atau ribuan tahun yang lalu. Di depan monumen yang tegak menjulang angkuh itu, ia duduk di samping batu prasasti di tengah taman kecil sambil memandang jauh ke ujung monumen yang seperti hampir menyentuh langit. Ia mencoba mengorek sisa-sisa ingatannya yang terpendam di sudut otaknya, merangkai kembali potongan-potongan kenangan lusuh yang hampir terhapuskan oleh waktu. Garis wajahnya berubah cepat. Sebentar ia tersenyum, sebentar kemudian berubah datar dan dingin tanpa ekspresi, lalu perlahan air mukanya tampak menegang dan matanya penuh dengan kumpulan awan yang membuat titik-titik embun menggenang. Entah berapa lama ia berada di dalam rimba kenangan yang berputar acak di pertemuan dinding-dinding ingatannya ketika sebuah tiupan angin lembut membelai wajahnya. Angin itu melayang ringan di atas kepalanya membuat ujung-ujung rambutnya sempat bergerak-gerak seperti lambaian tangan anak kecil yang baru belajar memainkan jemarinya. Beberapa serpihan halus kapuk yang lepas dari tubuh buahnya yang pecah, bergetar, bergerak melayang mengikuti arus angin berhembus melintas di depan wajahnya membuat ia tersentak sesaat lepas tersadar.

“kapuk….”, gumamnya sambil menangkap serpihan putih itu. Bulan September adalah musim ketika buah-buah kapuk masak akan merekah dan melepaskan serpihan-serpihan putih halusnya yang seperti kapas ke udara bebas. Serpihan-serpihan itu melayang bebas kemana mereka suka, indah sekali. Dulu, ketika tiba musim seperti itu, ketika udara dipenuhi serpihan-serpihan putih kapuk, ia dan teman-temannya menyebutnya sebagai musim “salju”.

Beberapa saat ia memainkan serpihan kapuk itu dengan jemarinya sebelum tiba-tiba dahinya berkerut-kerut seperti teringat akan sesuatu.

“Angin ini…”, ia berucap perlahan sambil menghadapkan wajahnya ke arah angin yang tadi berhembus di atas kepalanya. “Hei, kau bukan angin yang dulu aku kenal…, siapa kau…?”

“Aku angin di sini…”

“Bukan…., kau bukan angin di sini, aku kenal betul dengan angin di sini dan aku masih ingat wajahnya yang selalu tersenyum itu…Di mana dia?”

“Aku menggantikannya…”

“Menggantikannya…?, apa maksudmu?, lalu kemana dia?, apakah dia…”

“Ya, dia sudah mati…”

Ia tersentak, wajahnya menegang dan matanya menatap tajam angin itu seperti ingin menegaskan ucapan yang baru saja didengarnya. Lidahnya kelu, bibirnya mengering bagaikan berjuta tahun diterpa kemarau, suaranya tersumbat di batang tenggorokannya, bergetar tetapi hampa. Jantungnya seperti berhenti berdetak sehingga darah di dalam tubuhnyapun tidak lagi mengalir, diam membeku. Nafasnya lambat satu-satu menahan desakan airmatanya yang menggenang dan hampir tertumpah oleh kepedihan yang sangat. Sahabat setianya telah mati…Sahabat yang selalu mau mendengarkan semua keluh kesahnya tanpa perasaan terpaksa, sahabat yang selalu mampu menghilangkan letihnya oleh belaian lembutnya, sahabat yang membuatnya selalu mampu melalui hari dengan ketenangan dan kelembutan yang mendamaikan jiwa.

Ia menatap lurus ke arah lalu lalang kendaraan dengan mata yang kosong, dingin tanpa makna. Wajahnya yang menegang perlahan meluluh dan dengan hampir tanpa suara, bibirnya mulai bergerak.

“Kapan dia mati…?”

“Dua tahun yang lalu. Dia tidak lagi mampu menahan terpaan asap kendaraan yang penuh dengan zat-zat berbahaya yang setiap hari terus bertambah. Pohon-pohon yang seharusnya membersihkannyapun telah banyak yang ditebang dan berganti dengan mal-mal dan pusat perbelanjaan yang tinggi besar dan angkuh yang semakin hari semakin banyak saja. Lihat saja kampusmu sekarang, hampir dua pertiga luasnya sekarang sudah berganti dengan mal! sedangkan kendaraan dan pabrik-pabrik terus saja mengeluarkan uap kotor mereka ke udara. Coba saja kau rasakan udara sekarang, panas, kotor, dan membuat sesak dada…”

“Ya, aku merasakan sangat jauh berbeda dengan ketika dulu aku masih di sini.Aku ingat, sebelum aku meninggalkan kota ini, dia sempat mengeluh kepadaku tentang pencemaran udara yang semakin hari semakin meningkat, tetapi ketika itu pohon-pohon masih bisa membersihkannya. Kasihan dia…”

Ia menarik nafas panjang. Beberapa saat suasana menjadi hening, mereka terdiam. Lalu dengan rasa penasaran, angin itu berkata memecahkan kebekuan diantara mereka.

“Maaf, boleh aku tahu bagaimana kau bisa mendengar perkataan kami, para angin…? Sejak semula aku diciptakan, aku belum pernah menemukan ada manusia yang mampu berbicara dengan angin”

Ia kembali menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya dengan cepat, matanya yang berlapis tipis airmata memaksa wajahnya untuk memandang awan-awan yang bergerak beriringan menutupi matahari, ia lalu memandang angin itu sambil tersenyum datar. “Entahlah, aku juga tidak mengerti bagaimana itu terjadi, yang aku ingat waktu itu aku tengah didera persoalan yang sangat berat dan aku sungguh merasa seperti seekor ternak yang kehilangan kawanannya, sendiri tanpa arah, sedangkan di balik semak serigala lapar tengah mengintai dengan tatapan kematian sambil menyeringai penuh hasrat. Ketika itu, aku duduk sendiri di bawah pohon kapuk di taman depan kampusku mencoba mencari jalan keluar dari persoalan yang menghimpitku. Aku sengaja mencari tempat yang paling sepi di tempat itu dan agak jauh dari keramaian orang-orang yang sedang berkumpul dan bercanda tanpa beban. Disaat pikiranku buntu dan kurasakan otakku hampir meleleh, disaat itulah aku merasakan adanya pergerakan angin yang melayang bercengkrama dengan daun-daun kapuk sehingga membuat suara gemerisik karena gesekan ranting dan daun. Lalu angin itu dengan sangat lembut menyelusup ke dalam pakaianku dan menggeleser di atas perutku membuatku merasa begitu sejuk dan nyaman, tidak pernah aku merasakan kesejukan seperti itu. Aku menghirupnya dalam-dalam hingga memenuhi seluruh ruangan di dalam paru-paruku. Tiba-tiba aku mendengar suara lembut yang melayang-layang di ruangan sekitar kepalaku, sangat lembut tetapi jelas terdengar membuatku menoleh ke sekitarku, tetapi tidak ada siapa-siapa di situ, hanya aku sendiri…”, ia berhenti sesaat sambil memperbaiki posisi duduknya.

Angin itu juga ikut memperbaiki posisi tubuhnya dengan wajah yang sangat serius. Ia tersenyum melihat tingkah angin itu yang entah bagaimana mengingatkan pada masa kecilnya yang selalu ingin mendengarkan dongeng kesukaannya meskipun hampir setiap hari ia mendengarnya. Ia lalu meneruskan ceritanya kembali.

“Aku sibuk menoleh mencari sumber suara itu ketika tiba-tiba suara itu terdengar lagi dan kali ini aku pastikan suara itu berada tepat di hadapanku, perlahan tapi pasti aku seperti melihat sebuah bayangan yang semakin jelas. Semenjak itulah aku dapat mendengar angin bahkan melihatnya. Setelah aku bertemu dengan dia, aku selalu bertukar pikiran dengannya, aku selalu meminta nasihat dan pertimbangannya bila ada masalah yang menimpaku, bahkan kami juga sering membicarakan masalah-masalah yang sedang terjadi di bumi ini. Kadang aku merasa seperti memiliki guru dan penasihat pribadi. Ah, Andai saja manusia dapat lebih bijaksana dan memperhatikan lingkungan, andai saja mereka mampu mengendalikan nafsu serakah dunia, tentu dia masih hidup saat ini…”

“Belum tentu…”, angin yang sejak tadi hanya diam mendengarkan ceritanya tiba-tiba angkat bicara, “Belum tentu dia masih hidup saat ini, mungkin Tuhan telah menakdirkan dia untuk mati dan digantikan oleh aku. Aku setuju agar manusia dapat lebih jernih dalam berpikir dan lebih bijaksana dalam bertindak demi menjaga kelestarian alam titipan Tuhan, tetapi jangan hubungkan itu dengan kematiannya, karena kematian adalah hak Tuhan untuk menentukannya. Memang ada sebab mengapa dia mati, dan mungkin Tuhan menginginkan dia mati dengan sebab itu…”

“Astagfirullah…”, ia menutup wajahnya dengan dua telapak tangannya merasa malu oleh perkataan angin itu, “Maaf, aku terbawa emosi…”

“Sudahlah, sudah menjadi kewajiban kita sesama makhluk ciptaan Tuhan untuk saling mengingatkan, iya kan…!”

“Iya…”, ia mengangguk sambil tersenyum senang, “sepertinya kau semakin mirip dengan dia”

“Oh, ya?”

“Ya”

“Apanya?”

“Semuanya…”

Mereka terus berbincang dan semakin lama semakin seru saja seperti dua sahabat yang baru bertemu setelah bertahun-tahun berpisah. Sesekali terdengar deraian renyah tawa mereka bersaing dengan deru mesin-mesin dan bunyi klakson kendaraan yang semakin ramai. Waktu terus berputar dan mataharipun telah bergulir menuju bagian bumi yang lain menarik bayangan menjadi lebih panjang dari bendanya. Sementara itu, serpihan-serpihan putih kapuk bertebaran di udara, indah sekali…

Artikel yang berhubungan