Oleh : Sobir
Pendahuluan
Pemuliaan tanaman memainkan peranan sangat penting dalam pembangunan dan penguatan system pertanian lokal, serta dalam perlindungan keanekaragaman genetik. Tanpa partisipasi petani program pemuliaan untuk keperluan lokal tidak akan mencapai sasaran. Dipercaya bahwa pemuliaan berbasis partisipasi pengguna memiliki kelebihan mendasar, seperti definisi kriteria seleksi yang sesuai untuk kebutuhan lokal dan kesesuaian dengan lingkungan target yang lebih baik. (Elings et al., 2001).
Pada era market driven, semua proses produksi mengacu pada pemuasan kebutuhan pasar, sehingga keputusan menentukan nilai produk akhir melibatkan opini konsumen. Demikian pula pada proses pemuliaan tanaman sejak satu decade terakhir mulai berkembang konsep pemuliaan yang melibatkan pelaku produksi lapang dan konsumen (Almekinders dan Elings, 2001), konsep ini mulai diperkenalkan sebagai Parcipatory Plant Breeding (Monyo et al., 2001), atau Parcipatory Crop Improvement(Almekinders dan Elings, 2001). Participatory Plant Breeding (PPB) didefinisikan sebagai program Pemuliaan Tanaman yang melibatkan peneliti, petani, dan stake holder lain seperti konsumen, vendors, industri, penyuluh dan kelompok tani (Sperling et al., 2001).
Konsumen yang harus dilayani dalam sebuah program pemuliaan tanaman, merupakan konsumen bertingkat, mulai dari petani, distributor, pengecer dan konsumen sebagai pengguna produk akhir, sehingga untuk dapat hasil yang memuaskan maka semua konsumen tersebut perlu dilibatkan.
Digunakan terminology parcipatory karena konsumen atau pengguna dapat berperan dalam sebagian atau bahkan seluruh tahapan program pemuliaan dan proses seleksi, seperti menetapkan target program, menentukan proritas pemuliaan, melakukan persilangan, pengelolaan plasma nutfah, pengujian lapang, perbanyakan benih dan proses penyebaran (Sperling dan Asbhy, 1999).
Pada tanaman hortikultura, program pemuliaan banyak dilakukan oleh perusahaan swasta sudah sejak lama mengarah ke konsep partisipasi pengguna, program pemuliaan sudah merupakan program client-driven, karena dalam upaya memenangkan persaingan pasar kepuasan pengguna harus diutamakan (Sperling et al., 2001). Selanjutnya konsep PTP berkembang ke arah mencapai kelompok pengguna marginal, toleransi terhadap stress lingkungan, adaptasi terhadap lingkungan spesifik, memadukan beberapa karakter sesuai preferensi konsumen tertentu, sehingga merupakan alternatif fundamental terhadap Formal Plant Breeding (FPB) dalam pengelolaan sumberdaya genetik, hal ini karena FPB terkonsentrasi pada upaya varietas berdaya hasil tinggi pada lingkungan optimal (Almekinders dan Eling, 2001). Kolaborasi pengguna dalam PTP dimulai dari penetapan tujuan, sifat yang ingin dikembangkan, pengelolaan sumberdaya genetik, perakitan genotipe-genotipe baru dan berakhir pada pengujian lapang, perbanyakan dan distribusi benih ke petani (Sperling et al., 2001).
Pada saat ini PTP telah dilakukan di berbagai tempat (Weltzien et al., 1999) dan mulai berkembang konsep- konsep bagaimana pola pengorganisasian kolaborasi antara petani dan peneliti dan metode pemuliaan apa yang paling sesuai. Pengetahuan yang sejajar antara peneliti dengan petani dalam beberapa tahap pemuliaan sangat penting untuk menjamin keberhasilan program, karena sebagian besar PTP dilakukan pada lingkungan marginal, dimana proporsi interaksi genotype x lingkungan besar sedang heritabilitas rendah, merupakan hal yang harus dihadapi. Disisi lain petani dapat berkontribusi melalui pengetahuan mereka akan kualitas yang diinginkan dan karakteristik lingkungan yang menjadi target lingkungan.
Pola Pendekatan PTP
Pemuliaan tanaman yang dilakukan secara formal (Formal Plant Breeding) oleh institusi penelitian telah terbukti efektif dalam menghasilkan varietas yang responsif terhadap input produksi, dan beradaptasi luas, terutama pada tanaman serealia semusim. Akan tetapi pada lingkungan yang beragam, lingkungan kurang subur, lingkungan yang mengalami cekaman dan petani yang kurang sumberdayanya, variretas hasil FPB sulit beradaptasi (Byerlee dan Husain, 1993; Maurya et al., 1988), hal ini karena sifat-sifat yang dibutuhkan pada lingkungan spesifik tersebut belum menjadi perhatian para pemulia atau karena kesulitan menggabungkan sifat-sifat untuk daya adaptasi dengan kualitas hasil (Cooper et al., 1999a). Kurang efektifnya FPB bagi lingkungan spesifik antara lain karena :
a. Seleksi dan sistem pengujian untuk produktivitas tinggi dilakukan pada lingkungan optimum (dilakukan di kebun percobaan atau pada petani maju) (Witcombe dan Virk, 2001; Ceccarelli et al., 2001)
b. Kecenderungan menghasilkan varietas yang beradaptasi luas daripada untuk varietas yang beradaptasi lokal (Kornegay et al., 1996; Witcombe dan Virk, 2001)
c. Seleksi kurang memperhatikan sifat-sifat yang penting bagi petani dan konsumen (Kornegay et al., 1996).
Berbeda dengan pendekatan FPB, pada pendekatan PTP petani berperan dan bertanggungjawab terhadap sebagian atau bahkan sebagian besar proses pengembangan atau evaluasi kultivar agar dapat menghasilkan varietas yang beradaptasi pada lingkungan spesifik, melalui program parcipatory varietal selection (PVS). Misalnya petani ikut mengevaluasi varietas yang dikembangkan di kebun percobaan, dan melakukan evaluasi di lahan petani sendiri (Maurya et al., 1988; Joshi et al., 2001), atau bahkan petani ikut mengembangkan populasi segregasi sekaligus melakukan seleksi dan pengujian varietas, sehingga petani punya alternatif yang lebih baik dari landraces yang ada di lokasi mereka.
Dalam PTP untuk lingkungan spesifik, sebenarnya merupakan interaksi mutualistik antara petani dengan pemulia / peneliti. Peran petani terutama dalam memastikan tujuan pemuliaan sesuai dengan kebutuhan, dan seleksi dilakukan sesuai dengan kondisi lingkungan target, bersama dengan hal tersebut pemulia berperan dalam pembentukan keragaman genetik, pengelolaan populasi, dan disain penapisan untuk memisahkan pengaruh genetik dari pengaruh lingkungan.
Pemuliaan Tanaman Partisipatif dan Eksploitasi Genotipe x Lingkungan
Pada pengembangan varietas bagi lingkungan target, perlu pertelaan lingkungan target dalam kaitannya dengan beberapa parameter yang bersifat umum seperti wilayah geografis, tipe tanah, sistem budidaya tanaman dan ketinggian tempat, atau bahkan dalam cakupan yang lebih kecil keragaman lingkungan akan tetap ditemukan. Interaksi Genotipe x Lingkungan (GEI) merupakan hasil kegagalan genotype untuk menunjukkan keragaan yang sama pada setiap lingkungan yang berbeda, pertimbangan besarnya
pengaruh GEI merupakan salah satu dasar ilmiah akan perlunya PTP.
GEI dapat dikasifikasikan menjadi repeatable dan nonrepetable. GEI yang repetable terjadi apabila pola perbedaan respon antar genotipe terhadap perubahan faktor lingkungan antar lokasi membentuk pola yang dapat diduga. Misalnya genotipe menunjukkan pertumbuhan yang baik pada lahan yang subur dan kurang baik pada tanah marginal dengan laju tinggi, sementara genotipe lain berubah dengan laju yang sedang atau rendah. Pada kondisi tersebut pengembangan varietas dapat dikembangkan pada varietas untuk lahan subur dan varietas untuk lahan marginal. GEI non-repetable terjadi pada respon yang bersifat genotipe- genotipe terhadap perubahan lingkungan, karena faktor- faktor lingkungan tersebut sulit dikarakterisasi, sehingga GEI dianggap sebagai galat percobaan acak dari pengujian pemuliaan dan mengurangi efek nilai genotipe selama penapisan yang mengakibatkan sulitnya menentukan sumber keragaman.
Dalam PTP upaya mendapatkan varietas yang superior pada lingkungan spesifik, dilakukan dengan eksploitasi GEI repeatable, melalui dua pendekatan:
a. Eksploitasi adaptasi lokal. Lingkungan marginal lebih beragam dibandingkan lingkungan optimum, sehingga perlu varietas/genotipe yang memiliki daya adaptasi lebih spesifik pada lingkungan target. Varietas hasil seleksi dengan lingkungan lokal pada umumnya lebih baik penampilannya pada lingkungan target dibanding varietas yang dikembangkan untuk lingkungan dengan daya adaptasi luas.
b. Eksploitasi adaptasi spesifik. Toleransi terhadap cekaman spesifik, seperti kekeringan, toleransi terhadap kekurangan N, yang dibutuhkan pada lingkungan tertentu
akan lebih baik diidentifikasi pada lingkungan target dengan bantuan seleksi oleh petani dibandingkan seleksi di kebun percobaan peneliti.
Seleksi untuk adaptasi spesifik dengan adaptasi lokal merupakan pendekatan pemuliaan yang berbeda, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Seleksi untuk adaptasi lokal hanya dapat dilakukan pada lingkungan tertentu yang menjadi target pemuliaan, sehingga varietas dengan daya adaptasi tinggi untuk lingkungan tersebut didapatkan, maka varietas tersebut umumnya kurang baik untuk lingkungan lainnya. Oleh karena lingkungan lokal relatif kecil cakupannya maka akan menghadapi masalah dalam proses pengujian yang kurang beragam, sehingga secara statistika ketelitian seleksi berbasis lingkungan sempit (terbatas) akan rendah karena pengaruh GEI non-repeatable, sehingga keberhasilan pemuliaan akan sangat tergantung akan peneliti/petani penyeleksi dalam identifikasi genotipe unggul, melalui sifat-sifat dengan GEI non-repeatable kecil. Keuntungan seleksi adaptasi lokal adalah kesesuaian varietas yang dihasilkan dengan kondisi setempat dan kebutuhan petani, sedangkan kerugiannya adalah rendahnya efektifitas seleksi terutama untuk sifat-sifat dengan heritabilitas rendah yang hanya dapat dievaluasi dengan baik pada lingkungan yang lebih beragam.
Pada kondisi lingkungan spesifik, seperti cekaman yang dihadapi di banyak daerah atau sistem budidaya tertentu, maka seleksi untuk adaptasi spesifik akan lebih sesuai. Pada kondisi ini GEI non-repeatable dapat diatasi dengan pengulangan seleksi pada banyak lokasi yang mirip, untuk menghasilkan ketelitian yang tinggi dalam evaluasi genotipe. Pendekatan ini disebut sebagai multiple-environment testing (MET), yang karena mencakup banyak lokasi membutuhkan suatu koordinasi terpusat. Keuntungan pendekatan ini adalah seleksi yang efektif untuk sifat-sifat dengan heritabilitas rendah, kerugiannya adalah apabila seleksi lebih dititikberatkan pada penampilan dan produktivitas tanaman dalam MET, kekhasan lokal dan kepentingan petani setempat akan terabaikan, sehingga varietas yang dihasilkan kurang beradaptasi pada lingkungan lokal.
Tujuan Pemuliaan Tanaman Partisipatif
Pada awalnya PTP terutama diterapkan untuk merespon kebutuhan tanaman yang kurang komersial dan lahan dengan cekaman lingkungan. Hasil yang dicapai masih beragam, terspesialisasi dan kurang dipublikasikan, walaupun demikian PTP terus berkembang kearah yang lebih luas. Tujuan lain dalam PTP juga mulai dikembangkan seperti meningkatkan keranekaragaman genetik, konservasi plasmanutfah, pengembangan varietas untuk kelompok marginal, program pemuliaan yang lebih efisien dari segi biaya, dan pemuliaan secara desentralisasi untuk lingkungan spesifik dan konsumen khusus (Tabel 1).
Analisis lebih lanjut terhadap beberapa program PBB menunjukkan bahwa beberapa goal explicit akan tercapai (seperti peningkatan produksi) sementara yang tidak terlalu jelas dan tidak dinyatakan, kecuali bila merupakan bagian dari disain penelitian (misalnya menjangkau kelompok interes khusus), beberapa kasus juga menunjukkan bahwa beberapa tujuan tidak kompatibel, misalnya peningkatan keragaman dengan menjangkau petani miskin (Sperling et al., 2001).
Tabel 1. Goal dalam PTP dan indikator pencapaiannya
Goal Indikator
Produktivitas (termasuk Peningkatan produksi,
peningkatan kualitas) stabilitas
Penyerapan lebih cepat
Difusi lebih luas
Peningkatan nilai pasar
Peningkatan Petani mendapatkan akses
Keanekaragaman/ lebih luas akan plasmanutfah
Konservasi Plasma Petani mendapatkan akses
Nutfah lebih luas akan pengetahuan
yang dibutuhkan
Keanekaragaman lebih
tinggi dalam varietas
Keanekaragaman lebih
tinggi antar varietas
Kesesuaian materi genetik
baru dengan materi yang ada
Sasaran pemuliaan yang
lebih spesifik
Target yang lebih efektif Pengguna yang lebih
bagi pengguna/petani beragam berkaitan dengan
akses pengguna
Peningkatan tingkat
kepuasan petani
Perluasan kisaran pengguna
Mencapai sasaran yang
marginal
Efisiensi Biaya Pengurangan biaya atas
dasar pengaruh yang dicapai
Peluang yang lebih besar
dalam penyertaan biaya
penelitian
Biaya yang lebih murah bagi
difusi varietas
Pengembangan Penguatan hubungan petani
kapasitas dan dengan sumber materi dan
pengetahuan bagi informasi
masyarakat petani dan Merubah hubungan/perilaku
peneliti formal antara masyarakat dengan
sistem penelitian formal
Meningkatkan pemahaman
pemulia formal akan
kompleksitas sifat yang
diinginkan petani dan
permasalahan lokal
Perluasan diseminasi
pengetahuan
Pemberdayaan Peningkatan partisipasi
masyarakat petani masyarakat dalam PTP
Peningkatan akses dan
penggunaan plasma nutfah
dan informasi
Institusi dan Organisasi Identifikasi metode
berkelanjutan bagi
desentralisasi PTP
Perluasan cakupan institusi
yang terlibat
Scaling up proses dan
produk PTP
Kebijakan Perbenihan Mengakui peran petani
dalam pengujian bagi
pelepasan varietas
Jumlah varietas yan spesifik
petani yang dilepas
Dukungan terhadap
perbanyakan dan penyebaran
benih secara lokal
Penguatan dan dukungan
terhadap penangkar benih
lokal
Partisipasi dan PTP
Pada saat ini PTP telah dilakukan diberbagai tempat (Weltzien et al., 1999) dan mulai berkembang konsep- konsep bagaimana pola pengorganisasian kolaborasi antara petani dan peneliti dan metode pemuliaan apa yang paling sesuai. Pengetahuan yang sejajar antara peneliti dengan petani dalam beberapa tahap pemuliaan sangat penting untuk menjamin keberhasilan program, karena sebagian besar PTP dilakukan pada lingkungan marginal, dimana proporsi interaksi genotype x lingkungan besar sedang heritabilitas rendah, merupakan hal yang harus dihadapi. Disisi lain petani dapat berkontribusi melalui pengetahuan mereka akan kualitas yang diinginkan dan karakteristik lingkungan yang menjadi target lingkungan.
Partisipasi (seperti PTP) merupakan terminology dengan sejumlah konotasi, akan tetapi yang penting dalam evaluasi suatu pola partisipasi adalah kualitas partisipasi, yang dapat diterjemahkan kedalam beberapa dimensi seperti tahapan partisipasi, tingkat partisipasi, dan pemeran dalam kegiatan partisipasi, yang perlu dikaji lebih jauh untuk mengetahui hubungan antara tipe partisipasi dalam PTP dengan hasil yang dapat dicapai.
Beberapa peneliti pada umumnya menganggap bahwa partisipasi dalam PTP berarti tahapan dalam siklus pemuliaan yang melibatkan petani. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa terjadinya partisipasi pengguna lebih awal dalam proses pemuliaan berarti kesempatan yang lebih besar diberikan pada pengguna untuk ikut merumuskan tujuan dan strategi pemuliaan dan hasil akhir yang ingin dicapai, tetapi seberapa besar peran pengguna akan keterlibatannya dalam proses pemuliaan akan menentukan tingkat partisipasi.
Dimensi kedua dari partisipasi adalah tingkat besarnya peranan petani atau pengguna lain yang berpartisipasi dalam
mempengaruhi atau menentukan keputusan mengenai proses pemuliaan dalam setiap tahap. Dalam banyak kasus ternyata tingkat partisipasi seringkali sulit dirumuskan, yang mencerminkan belum jelasnya rumusan para parktisi PTP mengenai pengaruh tingkat partisipasi dalam tahapan pemuliaan terhadap capaian hasil akhir. Waktu yang lebih lama dalam proses partisipasi tidak berarti akan meningkatkan kualitas partisipasi, baik dari fungsi dalam pemuliaan maupun dalam kaitannya dengan pemberdayaan petani.
Dimensi ketiga dalam partisipasi peran-peran khusus yang dilaksanakan oleh pemulia peneliti, petani dan pengguna khusus. Peran dalam partisipasi mengacu pada bagaimana fungsi masing-masing dilaksanakan, seperti peran pengelolaan, peran pertukaran informasi dan pengetahuan, atau penyediaan tenaga lapangan bagi proses pemuliaan.
Tahapan Partisipasi
Dalam program PTP pertama yang harus dijadikan acuan bersama adalah goal keseluruhan dari suatu kegiatan PBB, yang mencakup peningkatan keanekaragaman, pengembangan keahlian petani, dan peningkatan produksi. Dari hal tersebut di atas menurut Schnell (1982), terdapat lima tahapan yang dapat dijalankan, dan seringkali merupakan suatu siklus yaitu :
1. Menetapkan target pemuliaan
2. Merakit keragaman melalui persilangan atau memanfaatkan koleksi
3. Seleksi populasi segregasi
4. Pengujian varietas dan karakterisasi
5. Sistem penyediaan benih, seperti pelepasan, promosi / pemasaran / difusi, produksi benih dan distribusi benih.
Tahapan kolaborasi antara petani/pengguna dengan peneliti merupakan satu faktor yang membedakan PTP dengan FPB. Pada PTP masukan dari petani dipadukan dalam berbagai tahap proses pemuliaan (misalnya dari tahap 1-4), yang jarang ditemukan dalam pendekatan FPB.
Dalam program PTP memungkinkan untuk melakukan proses tidak mengikuti tahapan seperti diatas, misalnya peneliti dengan petani melakukan tahapan yang ke-empat, sebelum merumuskan tahapan pertama, sehingga merupakan kegiatan pemuliaan yang interaktif, bukan proses yang linier, dimana peneliti, penyuluh, petani, pedagang atau pengguna lain memiliki peran yang berbeda dalam setiap tahap. Pada beberapa kasus upaya PTP berkaitan dengan distribusi benih informal, sehingga pemahaman akan sistem perbenihan harus dipertimbangkan sejak tahap pertama, kerjasama dengan petani pada tahap keempat dan kelima dapat membantu peneliti meningkatkan peran pada tahap pertama, sehingga selanjutnya pada tahap kedua dan ketiga peran petani dapat dikurangi.
Menurut Sterling et al. (2001) partisipasi petani dapat dilakukan dalam berbagai waktu dan tahapan, tergantung jenis tanaman, materi tetua yang digunakan, areal target penanaman, kapasitas peneliti menterjemahkan criteria petani, kapasitas petani menangani materi pemuliaan, sifat yang dikembangkan, dan sekala program pemuliaan/jumlah material yang harus disaring.
Tahapan partisipasi petani dalam sebuah program pemuliaan dapat merubah tujuan pemuliaan, strategi pemuliaan, atau bahkan merubah organisasi pelaksana program (misalnya beberapa aktivitas dilaksanakan oleh suatu program sedangkan aktivitas lain dilakukan oleh fihak yang berbeda). Pada banyak kasus perimbangan peran petani dan peneliti akan berubah sejalan dengan perkembangan program, karena peningkatan pemahaman antar fihak peningkatan keahlian masing-masing fihak, serta perubahan prioritas.
Tingkat Partisipasi
Tingkat partisipasi petani dalam PTP dapat dijadikan criteria dalam klasifikasi sebuah program PTP, menurut Lilja et al., 2000 tingkat partisipasi petani berevolusi sejalan dengan waktu dan tahapan proses pemuliaan. Potensi keterlibatan petani dalam PTP dapat berupa manipulatif, pasif, kontrak, konsultatif, kolaboratif, kolegial, hingga inisiasi petani.
Secara praktis terdapat tiga tingkat partisipasi yang banyak ditemukan dalam PTP (Sterling et al., 2001), yaitu konsultatif, kolaboratif, dan kolegial. Konsultatif berarti pemulia memperoleh berbagai informasi dari petani atau pengguna lain untuk merancang sebuah program pemuliaan. Kolaboratif berarti terdapat pembagian tugas antara pemulia dengan petani dalam rangkaian proses pemuliaan yang ditetapkan oleh pemulia. Kolegial berarti peneliti mendukung suatu program yang diinisiasi dan dikelola petani, dalam mencapai tujuan pemuliaan bagi kebutuhan tertentu dengan memanfaatkan plasma nutfah setempat seoptimum mungkin.
Analisis terhadap program PTP di berbagai belahan dunia (McGuire et al., 1999; Weltzien et al., 1999), menunjukkan bahwa tingkat partisipasi yang paling banyak dilakukan adalah tingkat konsultatif diikuti oleh kolaboratif dan dilaksanakan pada tahap paling awal dalam menetapkan target (misalnya ideotipe menurut petani, sifat yang dianggap paling bernilai). Pada tahapan selanjutnya seperti pengujian varietas, perbanyakan benih dan distribusi, tampak bahwa peran petani masih belum berarti. Beberapa kasus yang diamati sudah mencapai tingkat partisipasi kolegial, dimana petani memiliki keterlibatan yang jelas.
Peran dalam PTP
Partisipasi petani dan peneliti dalam PTP (terlepas dari tahapan dan tingkat) memungkinkan mereka mengambil peran dan fungsi berbeda. Dalam berbagai kasus ternyata peran petani dan peneliti masih belum dijabarkan dengan jelas, sehingga sulit menghubungkan antara tahapan dan tingkat partisipasi dalam PTP dengan pencapaian hasil. Peran yang sudah dilakukan oleh petani antara lain peranan pengelolaan, menyediakan pengawalan teknologi yang memberikan kontribusi terhadap proses pemuliaan praktis, kepemimpinan organisasi sosial dalam hal scale up program dan diseminasi hasil PTP. Peran berarti lain petani adalah pengelolaan plasma nutfah. Peran peran tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Peran Manajerial: Mengembangkan kepemimpinan teknis bagi PTP. Petani dapat memegang peranan penting dalam mendapatkan varietas yang sesuai bagi lingkungan spesifik dan kegunaan tertentu, melalui interpretasi interaksi genetik dan lingkungan berdasarkan keragaan varietas pada beberapa musim dan lokasi tanam. Pada peran ini dibutuhkan pemimpin lokal yang menjadi manajer PTP, sesuai untuk daerah terpencil dimana pemulia/peneliti formal sulit diharapkan kehadirannya.
b. Peran Manajerial. Mengembangkan kepemimpinan organisasi sosial bagi PTP. Kelompok tani, atau organisasi petani lain (Mitra Cai) merupkan wahana yang
sangat efektif untuk meningkatkan keberhasilan PTP. Peran organisasi tani tersebut berupa pengorganisasi pengujian lapang serta perbanyakan dan penyebaran benih hasil PTP.
c. Peran Sumber Informasi. Petani sebagai sumber informasi bagi tipe varietas yang diinginkan, sifat-sifat lokal yang ingin dipertahankan, sifat-sifat baru yang ingin diperkenalkan, dalam kaitannya dengan adaptasi lingkungan setempat dan pengembangan produk selanjutnya. Preferensi petani dapat dijabarkan dalam:
i. Sifat tanaman: Sifat apa yang paling penting bagi petani setempat dan mengapa?
ii. Penajaman penapisan sifat. Merupakan rentang penerimaan untuk sifat-sifat yang diinginkan (seperti kisaran tinggi tanaman, kisaran umur panen). Pemulia sering menggunakan istilah karakteristik tanaman.
iii. Penajaman Prioritas. Perlu penajaman prioritas dari daftar sifat yang diinginkan, karena perbaikan di satu sifat bisa menyebabkan penurunan bagi sifat yang lain, sehingga dapat menetapkan sistem seleksi (tunggal, tandem atau indeks).
iv. Perbedaan antar kelompok petani. Mencakup perbedaan dalam persepsi dan keinginan antar kelompok petani, sehingga hasil yang diharapkan lebih baik.
d. Pengembangan Kapasitas dan Pelatihan. Peran ini dilakukan oleh pemulia untuk memberdayakan dan menigkatkan kemampuan petani dalam PTP, peran petani dalam melatih petani lain, serta peran petani dalam mengembangkan pengetahuan pemulia dalam hal karakteristik lokal.
e. Peran Penyediaan Tenaga. Tenaga petani sangat dibutuhkan untuk melakukan seleksi lebih akurat, karena petani melakukan interaksi lebih kuat dengan tanaman di lapang, sering lebih memahami perilaku setiap populasi.
f. Peran Penyediaan Masukan. Pemuliaan untuk lingkungan spesifik cenderung lebih berhasil bila dilakukan pada lokasi target. Untuk melakukan pendekatan ini pemulia dapat membuat petani melakukan metode-metode pemuliaan standar yang dilakukan pemulia di kebun percobaan mereka.
g. Peran Penyediaan Materi Genetik. Baik petani maupun pemulia secara bersama-sama berkontribusi dalam penyedian materi genetik bagi sifat-sifat yang akan dikembangkan, baik berupa land races maupun materi genetik introduksi.
Penutup
Pemuliaan Tanaman Partisipatif (PTP), merupakan pendekatan komplemen bagi Pemuliaan yang secara Formal dilakukan di lembaga-lembaga penelitian, sebagai jawaban keterbatasan cakupan kegiatan yang dapat dilakukan lembaga formal, baik dari sisi ketersediaan sumberdaya manusia, keragaman agroklimat yang harus ditangani, besarnya sumberdaya genetik yang yang dikelola, serta skala cakupan adaptasi yang relatif kecil akan sulit dilakukan secara terpusat. PTP merupakan perluasan dari proses sebelumnya yang disebut Seleksi Varietas Partisipatif (SVP) dimana petani melakukan seleksi terhadap populasi segregasi yang dihasilkan pemulia (Witcombe et al., 1996).
Pada saat peran konsumen makin besar dalam proses produksi, sehingga petani sebagai bagian terpenting dari faktor produksi harus lebih memahami kebutuhan konsumen dalam skala pemasaran produk yang dihasilkannya. Dalam konteks ini maka skala partisipasi akan menjadi makin luas, dimana arah pemuliaan tidak hanya pada daya adaptasi lokal atau spesifik, tapi juga mempertimbangkan faktor ekonomi dan preferensi konsumen serta kriteria pasar, sehingga varietas yang dituju merupakan paduan antara sifat-sifat land races dengan sifat-sifat varietas modern. PTP dalam pendekatan ini tidak terbatas pada lingkungan tertentu atau konteks pasar tertentu, tetapi merupakan paduan proporsional antara kedua faktor tersebut.
Aplikasi SVP maupun PTP umumnya masih pada tahap petani memberikan umpan balik terhadap populasi segregasi yang dikembangkan oleh pemulia formal (Sperling et al., 2001). Hal ini karena fokus pemuliaan masih pada produksi bagi kecukupan setempat dimana petani masih dianggap subsisten. Kedepan, dimana pola pertanian sudah berorientasi pasar, maka tuntutan standar mutu menjadi sejajar dengan tuntutan produksi, maka umpan balik konsumen menjadi sejajar dengan umpan balik dari petani produsen. Pemulia berperan sebagai jembatan antara konsumen dan produsen, sehingga tuntutan pasar dapat dicapai dengan kondisi agroklimat dan sistem budidaya setempat.
Pada tanaman hortikultura, termasuk buah dan sayur, dimana produk yang dikonsumsi lebih sedikit dibandingkan yang dipasarkan, PTP harus diartikan sebagai upaya pemuliaan untuk memenuhi kriteria mutu standar pada kondisi lingkungan setempat, kolaborasi yang harus terlibat menjadi meluas dibandingkan konsep PTP yang awal diperkenalkan oleh Witcombe et al. (1996).
Daftar Pustaka
Almekinders, C.J.M. and A. Elings. 2001. Collaboration of farmers and breeders: Participatory crop improvement in perspective. Euphytica 122: 425– 438.
Anne Elings, A., C.J.M. Almekinders and P. Stam. 2001. Introduction: Why focus the thinking on participatory plant breeding? Euphytica 122: 423– 424.
Byerlee, D. and T. Husain, 1993. Agricultural research strategies for favored and marginal area: the experience of farming systems research in Pakistan. Expl Agric 29: 155–171.
Ceccarelli, S., S. Grando, E. Bailey, A. Amri, M. El-Felah, F. Nassif, S. Rezgui and A. Yahyaoui. 2001. Farmer participation in barley breeding in Syria, Morocco and Tunisia. Euphytica 122: 521–536.
Cooper, M., S. Fukai & L.J. Wade, 1999a. How can breeding contribute to more productive and sustainable rained lowland rice systems? Field Crops Res 64: 199–209.
Joshi, K.D., B.R. Shapit and J.R. Witcombe, 2001. How narrowly adapted are the products of decentralised breeding? The spread of rice varieties from a participatory plant breeding program in Nepal. Euphytica 122: 589–597.
Kornegay, J., J.A. Beltran and J. Ashby, 1996. Farmer selections within segregating populations of common bean in Colombia. In Eyzaguirre, P.and M. Iwanaga (Eds.), Participatory Plant Breeding, Proc Workshop on Participatory Plant Breeding, Wageningen, the Netherlands. pp. 151–159.
Lilja, N., J.A. Ashby and L. Sperling. 2000. Assessing the impact of participatory research and gender analysis. CGIAR System wide Program on Participatory Research and Gender Analysis for Technology Development and Institutional Innovation. CIAT, Colombia, Cali. 352 pp.
Maurya, D.M., A. Bottrall and J. Farrington, 1988. Improved livelihoods, genetic diversity, and farmer participation: A strategy for rice breeding in rainfed areas of India. Expl Agric 24: 211–320.
McGuire, S., G. Manicad and L. Sperling, 1999. Technical and institutional issues in participatory plant breeding: from the perspective of farmer plant breeding. CGIAR Systemwide Program on Participatory Research and Gender Analysis for Technology Development and Institutional Innovation. Working Document No. 2, October 1999. Cali, 87 pp.
Monyo, E.S., S.A. Ipinge, G.M. Heinrich E. Chinhema. 2001. Participatory Breeding: Does It Make A Difference? Lessons from Namibian Pearl Millet Farmers. In: N. Lilja, J.A. Ashby, L. Sperling and A.L. Jones (eds). Assessing the Impact of Participatory Research and Gender Analysis. CGIAR. pp. 198-207.
Sperling, L. and J.A. Ashby, 1999. Moving Participatory Breeding Forward: The next steps. In: M. Collinson (Ed.), History of Farming Systems Research, London, CABI. 15 pages.
Sperling, L., J.A. Ashby, M.E. Smith, E. Weltzien and S. McGuire. 2001. A framework for analyzing participatory plant breeding approaches and results. Euphytica 122: 439–450,
Weltzien, E., M. Smith, L.S. Meitzner and L. Sperling, 1999. Technical and institutional issues in participatory plant breeding – from the perspective of formal plant breeding: A global analysis of issues, results and current experience. CGIAR Systemwide Program on Participatory Research and Gender Analysis for Technology Development and Institutional Innovation. Working Document No. 3, October 1999. Cali, 118 + IVIII pages.
Witcombe, J.R., A. Joshi, K.D. Joshi and B.R. Sthapit, 1996. Farmer participatory crop improvement: I. Varietal selection and breeding methods and their impact on biodiversity. Exp Agric 22: 443–460.
Witcombe, J.R. and D.S. Virk. 2001. Number of crosses and population size for participatory and classical plant breeding. Euphytica 122: 451–462.
Dari: Pusat Kajian Buah Tropika IPB
rusnasbuah.or.id