JAKARTA, KAMIS — Bursa Efek Indonesia dinilai gagal memanfaatkan sejumlah momentum positif yang berkembang di bursa regional dan global. Sejak pekan lalu Indeks Harga Saham Gabungan BEI justru cenderung merosot di tengah penguatan indeks bursa-bursa utama regional dan global.
”Bursa kita ini kehilangan momentum. Beberapa kali bursa regional dan global menguat tajam, tetapi kita justru stagnan, bahkan merosot,” kata ND Murdani, Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Seluruh Indonesia, Rabu (22/10) di Jakarta.
Menurut dia, kegagalan bursa saham Indonesia memanfaatkan momentum penguatan bursa regional dan global mulai tampak sejak 13 Oktober. Saat itu IHSG hanya naik 0,7 persen atau 10,20 poin menjadi 1.461,87.
Padahal, dalam waktu yang bersamaan, bursa-bursa utama di Asia naik cukup signifikan. Indeks Shanghai di China naik 3,65 persen, Indeks Straits Times di Singapura naik 6,57 persen, bahkan Indeks Hang Seng di Hongkong naik 10,25 persen.
Sentimen positif
Penguatan indeks regional saat itu dipengaruhi sentimen positif investor terhadap pengumuman Bank Sentral Eropa yang menyatakan akan menjamin likuiditas perbankan di wilayah itu.
Kegagalan pasar saham Indonesia memanfaatkan momentum, tutur Murdani, terus berlanjut sampai dua hari kemudian. Walaupun pada Selasa (14/10) IHSG naik 94,09 poin atau 6,44 persen menjadi 1.555,96, penguatan itu dinilai tidak sebanding dengan penguatan indeks regional dan global. Saat itu Indeks Nikkei 225 di Jepang, misalnya, melonjak sampai 14,15 persen.
Penguatan itu didorong oleh sentimen positif investor terhadap kenaikan Indeks Dow Jones di New York Stock Exchange sebesar 11,08 persen, terbesar sejak depresi besar melanda perekonomian AS pada 1932.
Pada Selasa IHSG hanya menguat 0,93 persen, padahal indeks bursa-bursa regional rata-rata menguat 3-5 persen. Adapun Indeks Dow Jones menguat 4 persen lebih.
Sementara itu, pada perdagangan saham kemarin, IHSG kembali anjlok cukup signifikan, yaitu turun 60,40 poin atau 4,19 persen menjadi 1.379,74 poin. Ini merupakan posisi IHSG terendah sejak Agustus 2006.
Ada dua penyebab gagalnya pasar saham Indonesia memanfaatkan momentum penguatan indeks regional dan global.
Pertama, strategi program pembelian kembali (buy back) saham-saham BUMN tidak berjalan dengan baik. Emiten BUMN melaksanakan buy back hanya ketika harga sahamnya sudah mencapai titik yang sangat rendah.
”Program buy back itu kan dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan investor, bukan untuk cari harga termurah yang dinilai menguntungkan,” kata Murdani.
Kedua, batas atas autorejection atau penghentian perdagangan saham otomatis terlalu kecil, yaitu hanya 10 persen sehingga harga saham tidak bisa meningkat tajam di saat sentimen pasar sedang positif.
Dirut BEI Erry Firmansyah mengatakan, sistem perdagangan BEI masih belum dapat menerapkan asymetric autorejection atau pembatasan harga saham yang tidak simetris.
Kompas.com