BANDUNG, RABU - Kondisi lingkungan dan cuaca di wilayah Bandung Raya semakin rusak. Dampak pembangunan tidak terkendali menimbulkan fenomena urban heat island lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Menurut Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Thomas Djamaluddin, di Bandung, Rabu (22/10), cuaca panas yang saat ini terjadi sebenarnya merupakan kejadian biasa. Bulan April dan Oktober, sama seperti tahun sebelumnya, merupakan puncak panas. Saat itu posisi matahari berada di selatan dengan arah tegak lurus. Selain itu, bulan April dan Oktober merupakan musim peralihan. Akibatnya, udara pun akan terasa lebih panas.
Akan tetapi, ada hal signifikan yang terjadi pada tahun ini, yaitu fenomena urban heat island. Fenomena ini adalah keadaan yang disebabkan pemanasan lokal dimana daratan sangat panas di titik tengah tertentu dan lebih dingin di daerah yang mengelilinginya. Di Bandung Raya, urban heat island meliputi Kota Bandung dan Cimahi sebagai titik tengah, dan wilayah Kabupaten Bandung dan Bandung Barat di sekelilingnya.
Pada awal tahun 1990-an, menurut Thomas, suhu di Kota Bandung, pada April dan Oktober hanya sekitar 24 derajat celcius. Namun, pada tahun 2008, suhunya meningkat menjadi 33-34 derajat celsius. Dalam kurun waktu itu, Bandung kehilangan sekitar 30.000 hektar daerah dengan suhu ideal sebesar 28 derajat celcius. Namun, menambah sekitar 15.000 hektar daerah bersuhu 31 derajat celcius.
Hal ini menurut Thomas tidak lain disebabkan hilangnya daerah hijau di Kota Bandung akibat perubahan tata guna lahan. Dari tahun 1994 2001, Bandung kehilangan sekitar 30.000 hektar hutan tapi menambah sekitar 15.000 hektar lahan industri dan sekitar 8.000 lahan pemukiman.
"Hingga kini, pepohonan masih ditebang tapi pembangunan gedung bertambah. Hal itu hanya akan mempercepat peningkatan urban heat island di Kota Bandung," katanya.
Kompas.com