WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

11.11.2008

Potret Buram Pertanian Indonesia

Oleh: Med Nurhindarno, SP.

Sebuah anugerah luar biasa dari Allah SWT yang telah memberikan kepada negeri ini kekayaan alam yang melimpah. Iklim tropis yang ada di Indonesia mendukung berkembangnya sektor pertanian dengan sub sektor pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan.Pada sektor pertanian inilah mayoritas penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya. Mulai dari sebagai petani produsen, pedagang pengumpul hingga pedagang eceran yang langsung berhubungan dengan konsumen. Akan tetapi faktanya, manisnya sektor pertanian saat ini hanya dinikmati oleh segelintir orang saja yang notabene merupakan pihak minoritas. Mereka adalah para pedagang/ penyalur produk pertanian. Sementara petani sebagai produsen masih belum dapat merasakan nikmatnya usaha mereka.

Oleh sebagian besar petani Indonesia, kegiatan pertanian masih dianggap sebagai rutinitas turun temurun. Petani masih belum berorientasi pada aspek bisnis untuk mendapatkan keuntungan besar.

Petani Indonesia saat ini sedang berada dalam kondisi dilematis. Sektor pertanian menjadi satu-satunya harapan sebagai sumber pemasukan bagi mereka dan keluarga. Akan tetapi ternyata pertanian tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Setidaknya ada 4 faktor yang menjadi penyebab kenapa hal ini terjadi, diantaranya:

1. Penguasaan tanah
Kepemilikan tanah petani Indonesia sangat sempit sehingga mereka tidak mendapatkan keuntungan yang besar dari sektor pertanian ini. Sebagai gambaran, petani kita rata-rata hanya memiliki sawah dengan luas 0,5 ha. Ini sangat berbeda sekali dengan petani Thailand yang rata-rata memiliki luas sawah 4 ha. Apabila dibuat penghitungan berdasar produktivitas sawah dengan standar rata-rata per musim 4 ton per ha. Maka apabila rata-rata sawah yang dimiliki 0,5 ha berarti semusim petani panen 2 ton gabah kering panen (GKP). Rata-rata harga GKP Rp.2.000 per kg. Jadi selama satu musim (± 4 bulan) petani hanya mendapatkan Rp.4.000.000. Berarti Rp. 1.000.000 per bulan. Itupun belum dipotong dengan modal tanam berupa benih, pupuk, traktor untuk olah lahan ataupun tenaga yang dikeluarkan selama perawatan sawah. Bisa dibayangkan berapa total uang yang dibawa pulang petani untuk keluarganya.

Menilik mengenai penguasaan tanah, sesungguhnya banyak pula petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Mereka umumnya hanya maro dengan pemilik tanah sebenarnya. Dewasa ini dengan barbagai krisis ekonomi yang makin kompleks petani banyak yang menjual tanah pertaniannya kepada para konglomerat dari kota-kota besar. Selanjutnya mereka hanya menjadi buruh tani saja (baca tulisan penulis ”menjadi buruh di rumah sendiri”). Pada kasus seperti ini, tentunya kondisi petani yang memiliki lahan meski cuma 0,5 ha lebih beruntung dibanding petani yang tidak memiliki lahan sama sekali.

2. Produktivitas Rendah
Masalah produktivitas dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya lahan, varietas, dan skill (keterampilan) petani. Tidak dipungkiri bahwa ada lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang berbeda. Sehingga ada pengkelasan lahan. Lahan kelas A mempunyai potensi produktivitas yang tinggi. Selanjutnya disusul dengan kelas B, C dan seterusnya yang memiliki kualitas lebih rendah. Kualitas lahan ini dipengaruhi oleh kesuburan dan atau kandungan unsur hara pada tanah.

Jenis varietas tanaman juga memiliki peran besar dalam produktivitas tanaman. Kebanyakan petani belum begitu memperhatikan peranannya. Petani kadangkala masih asal dalam pemilihan jenis varietas. Bahkan banyak pula yang tidak mempedulikan varietas yang ditanam, yang penting mereka tanam padi. Entah itu dari varietas unggul atau tidak. Padahal dengan mengetahui jenis varietas yang ditanam, maka petani dapat memiliki gambaran tentang bagaimana resistensi tanaman yang akan ditanam terhadap hama dan penyakit tanaman, berapa rata-rata produktivitasnya, cara pemupukannya, pemeliharaannya, dan sebagainya. Dengan demikian petani dapat mengoptimalkan varietas yang ditanam dengan lahan atau lingkungannya.

Peran skill atau keterampilan petani juga tidak bisa dianggap remeh. Petani yang berpengalaman akan mampu mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya alam disekitarnya. Dengan kombinasi ketiga hal tersebut, yakni lahan yang subur, varietas unggul dan skill petani yang memadai maka produktivitas akan dapat ditingkatkan.

3. Serangan HPT
Serangan hama dan penyakit tanaman (HPT) sering menjadi momok besar bagi petani. Keberadaan serangan HPT tertentu pada tanaman dapat membuyarkan seluruh mimpi-mimpi petani. Besarnya harapan petani di awal musim tiba-tiba harus dihadapkan pada kenyataan. Serangan HPT dapat menurunkan produktivitas tanaman bahkan kadang sampai membuat petani gagal panen. Tetapi sebenarnya petani dapat meminimalisasi serangan HPT dengan melakukan pengantisipasian pemilihan terhadap jenis varietas yang ditanam atau menanggulanginya dengan pembasmian menggunakan pestisida. Akan tetapi petani kadang merasa dilematis, disatu sisi serangan HPT memerlukan pembasmian menggunakan pestisida dengan dosis tinggi tapi disisi lain penggunaan pestisida secara berlebihan dapat mengakibatkan hama menjadi resisten.

4. Kebijakan pemerintah
Tanah yang luas, produktivitas yang tinggi dan tiadanya serangan HPT belumlah cukup untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Masih ada faktor kunci lagi, yakni kebijakan pemerintah. Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap nasib rakyatnya, termasuk petani. Melalui kebijakan yang dikeluarkannya akan menentukan sejahtera tidaknya petani.

Berbagai contoh dapat menjadi bukti, diantaranya ialah kasus kedelai. Meskipun pengguna produk kedelai di negeri ini banyak tapi faktanya sedikit petani yang mau tanam tanaman ini. Permasalahannya bukan petani tidak memiliki skill melakukan budidaya terhadap tanaman ini atau lemahnya para peneliti dalam melakukan riset terhadap kedelai unggul tapi permasalahannya pada buruknya kebijakan pemerintah. Pemerintah tidak melindungi petani dengan kebijakan harga yang ideal.

Petani dibiarkan bertarung sendiri dengan petani luar negeri yang notabene dilindungi oleh aturan undang-undang yang dibuat pemerintahnya masing-masing. Sehingga wajar jika pasar di negeri ini banyak diserbu dengan bulir-bulir kedelai dari luar negeri terutama Amerika. Ketika beberapa waktu lalu harga kedelai mahal, petani Indonesia beranggapan jika mereka menanam tanaman ini maka mereka akan mendapat untung besar. Selanjutnya petani berbondong-bondong menanam kedelai. Tiba saat panen ternyata kedelai mereka tidak laku.

Ini baru satu contoh produk pertanian. Masih banyak produk-produk lain yang sangat bergantung dengan kebaikan kebijakan pemerintah. Misalnya bawang merah di Brebes. Petani seringkali mengalami kerugian akibat tidak memiliki bargaining position atas tanaman yang mereka tanam. Dalam penentuan harga bawang, mereka banyak ditentukan oleh para tengkulak. Mereka sama sekali tidak memiliki akses info terhadap harga real di pasaran.

Berbicara mengenai kesejahteraan petani sesungguhnya banyak faktor yang bertalian. Seperti mengurai benang kusut maka sesungguhnya masalah ini tidak bisa diselesaikan setangah-setengah. Penyelesaiannya harus secara integral. Berbagai pihak baik itu pemerintah, peneliti dan bahkan petani sendiri sama-sama memiliki peran penting.

pertaniansehat.or.id



Artikel yang berhubungan