Negara berkembang, termasuk Indonesia, diperlakukan tidak adil dalam krisis keuangan global saat ini. Mereka menghadapi kesulitan mendanai pembangunannya dari pasar ekuitas dan kredit internasional. Padahal, sebagian besar negara berkembang memiliki fundamental ekonomi yang baik.
Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal itu di tengah pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara-negara kelompok 20 (G-20) di Sao Paulo, Brasil, Senin (10/11).
Indonesia menyampaikan beberapa usulan yang mendapatkan persetujuan dari anggota G-20 lain. Usulan itu kemudian masuk dalam komunike bersama G-20.
Pertama, Indonesia mengusulkan pendefinisian krisis yang terjadi saat ini sebagai krisis yang menyebabkan tidak berfungsinya pasar ekuitas dan kredit internasional. Kondisi itu diperparah adanya tren aliran modal masuk (capital inflow) ke negara maju.
”Akibatnya, negara-negara berkembang mengalami ketidakadilan karena, walaupun mereka sudah memiliki fundamental ekonomi dan kerangka kebijakan yang baik, tetap saja terkena imbas krisis keuangan. Itu bukan kesalahan mereka,” ujar Sri Mulyani yang menjadi pembicara utama dalam pertemuan ini bersama Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick.
Maka, Indonesia mengusulkan poin kedua, yakni pembentukan mekanisme pendanaan khusus untuk mendukung pembangunan negara-negara berkembang dalam mengatasi krisis global.
Krisis keuangan yang bermula di Amerika Serikat mulai berdampak ke negara berkembang, terutama setelah Presiden George W Bush memutuskan menalangi lembaga keuangan yang kolaps senilai 700 miliar dollar AS. Celakanya, sumber dana yang digunakan adalah hasil penerbitan obligasi negara AS.
Akibatnya, sebagian besar dollar AS akan tersedot ke Amerika. Negara seperti Indonesia yang juga kerap mencari dana pembangunan dari penerbitan surat utang global akan terkena dampak berupa peningkatan biaya imbal hasil dan tidak adanya pembeli yang mau mengambil obligasi itu.
Tokyo
Seiring dengan imbauan Menkeu di Sao Paolo, Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto mulai mendekati empat lembaga yang paling menentukan dalam pencairan dana pinjaman murah di Jepang. Ini dilakukan agar Indonesia mendapatkan skema pinjaman lunak untuk membiayai APBN dalam kondisi krisis.
”Kami akan bertemu JFC (Japan Finance Corporation), JICA (Japan International Cooperation Agency), MOF (departemen keuangan), dan MOFA (departemen luar negeri) Jepang. Untuk mendapatkan pinjaman,” ujar Rahmat.
Jumlah dan persyaratan pinjaman khusus krisis yang akan diperoleh Indonesia akan sangat tergantung dari hasil pembicaraan awal dengan keempat lembaga tersebut.
Jepang merupakan kreditor utama Indonesia. Hingga Juni 2008, posisi utang luar negeri pemerintah yang diperoleh dalam bentuk yen Jepang mencapai Rp 247,998 triliun. Itu berarti pinjaman yen berada di posisi kedua terbanyak di bawah utang dalam dollar AS yang mencapai Rp 271,96 triliun.
Sumber : Kompas Cetak