WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

11.10.2008

Dewa Ruci: Perjalanan Sufi

Oleh JALALUDDIN RAKHMAT

MENJELANG Bharatayudha, Prabu Dhuryudhana memanggil seluruh anggota Kurawa buat melakukan Sidang Istimewa. Dari perhitungan kertas, Kurawa lebih kuat dari Pendawa kecuali karena satu hal saja; Pendawa memiliki Bhima yang sangat sakti. Di samping sangat perkasa, Bhima juga ksatria yang jujur, lugu, dan kuat kemauan. Ia tidak bisa dibeli. Ia berpegang teguh pada keyakinannya.Bhima berkata, “Sing sapa becik, dhen beciki, sapa ala dhen alani, nadhyan bahu kanan-kering jen ala binuwang.” Supaya Kurawa menang, sidang memutuskan: Binasakan Bhima. Tapi, masalahnya, Bhima terlalu kuat untuk dikalahkan.

Dibuatlah sebuah skenario. Bhima harus dibuang. Caranya bagaimana? Bhima sangat hormat dan patuh kepada gurunya, Resi Dhurna. Resi Dhurna memerintahkan Bhima untuk mencari air kehidupan: Tirta Perwita, tirta prawita, atau tirto sucining ngaurip, tirta kamandalu. Amrtanjiwangi, amrta, atau tirta amrta. Menurut Sang Begawan, siapa saja yang dapat memperoleh air kehidupan ini, ia akan mencapai tingkat hidup yang sempurna. Ia akan memiliki pranawa—“ilmu kebebasan jiwa”. Ia akan memahami rahasia kejadian alam semesta dengan segala isinya. Ia akan “saestu sumerep purwa-wekasaning jagadh royo” atau ilmu tentang sangkan paraning dhumadhi. Bhima tidak boleh ragu-ragu dalam mencari tirta amrta ini, karena “jen rering rangu bade mboten sumerep sarto dhumugi telenging kawruh kasunyataan”.

Tirta amrta ini tidak mudah diperoleh. Ia berada di Gunung Candramuka, di Rimba Palasara. Tanpa ragu, Bhima berangkat, walaupun saudara-saudaranya menghalanginya. Tekadnya sudah bulat. Ia harus berkhidmat kepada gurunya. Ia memasuki gua di Gunung Candramuka itu. Di situ ia bertemu dengan dua raksasa: Rukmuka dan Rukmakala. Melalui pertempuran yang dahsyat, Bhima berhasil mengalahkan keduanya; yang ternyata kemudian -setelah mati- berubah menjadi Bhatara Indra dan Bhatara Bayu. Dan melalui suara batin, Bhima mendengar dari kedua dewa itu bahwa Dhurna sebenarnya berdusta. Tirta kehidupan itu tidak berada di Candramuka.

Bhima bergegas ke Ngastina. Dhurna berkata kepadanya, “O, anakku, hal ini tidak mengherankan. Memang kami sengaja, telah kurencanakan sedari semula. Sebenarnya kami hanya ingin mengetahui seberapa jauh kesanggupanmu pada umumnya. Tempat air hidup ini sebenarnya terletak di tengah-tengah rimba Palasari tadi, di dalam sebuah gua yang berbentuk ’sumur gumuling’ Silakanlah kembali mengambilnya dari dalam gua tersebut. ” Bhima kembali lagi.

Tetapi sebelum kembali, ia sekali lagi menghadap saudara-saudaranya, mohon doa restunya. Mereka meminta Werkudara untuk tidak berangkat. Tapi Bhima tidak menghiraukannya. Ia masuk ke dalam Gua Sigrangga, di tengah rimba Palasara. Di sini juga, alih-alih air kehidupan, Bhima bersua dengan seekor ular besar. Ular itu membelit tubuh Bhima dengan belitan yang sangat ketat. Ketika dengan “kuku Pancanaka” Bhima berhasil mengalahkannya, ular itu menghilang dan menjelma menjadi bidadari, Dewi Maheswari. Kali ini, Sang Dewi memberitahu putra kedua Pendawa itu bahwa air kehidupan sebenarnya tidak terletak di Gua Sigrangga.

Ia kembali lagi kepada gurunya. Seperti biasa, Pendeta Dhurna mengatakan bahwa ia hanya ingin menguji muridnya. Pada kali pertama, ia ingin menguji keikhlasannya; kedua, kesetiaannya; dan ketiga, ketetapan akan kesempurnaan hidupnya. Air kehidupan itu sebenarnya ada di dalam lautan selatan, yang penuh gelombang besar. Dalam perjalanannya menuju Laut Selatan, ia sampai di sebuah rimba belantara, yang penuh bahaya, Wana Sunyapringga. Di sini, ia tiba-tiba dicegat oleh empat saudara. Mereka menghalang-halangi maksud Bhima untuk menceburkan dirinya ke dalam samudra.

Keempat saudara itu adalah Anoman, kera yang berwarna putih; Jajagwreko, raksasa yang berwarna merah; Setubandha, gajah berwarna hijau; dan Begawan Maenaka, pendeta berwarna kuning. Bhima sendiri berwarna hitam.

Bhima menolak nasihat keempat bersaudara itu dengan mengatakan tekadnya untuk “nggebyur ing telenging samudro,….sanadhyan tumekeng antaka anetepi ugo janji kautaman.” Bhima mengusir mereka dalam pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya. Bhima mengembalikan mereka ke tempatnya masing-masing. Lepas dari halangan saudara-saudaranya sekekuatan (tunggil bayu), Bhima melocat ke dalam lautan. Ia disambut dengan semprotan racun dari ular besar Nabatnawa. Bhima dapat menghindarkan bahaya bisa ular itu dengan aji Jalasengsara yang dimilikinya. Ia juga bisa berjalan di dalam dan di atas air laut. Segera terjadilah pertempuran mati-matian di antara Bhima dan Nabatnawa. Kemenangan -sudah dapat diduga- berada pada Bhima, tetapi ular yang terluka dengan Kuku Pancanakanya itu mengeluarkan banjir darah yang mencelup air samudra menjadi merah. Ketika Bhima mengambil air laut yang merah itu dan mempersembahkannya kepada gurunya sebagai air amrta, Resi Dhurna menolaknya. Ia mengatakan bahwa yang diberikan Bhima itu bukan amrta sejati, tetapi air yang sudah tercemari. Ia diperintahkan untuk terjun kembali.

Sekarang Bhima yang perkasa sudah hampir kehabisan tenaga. Ia diombang-ambingkan oleh gelombang samudra yang besar. Ia berulangkali dibenturkan ke batu karang yang keras dan tajam. Ia merasa terpuruk dan hampir mendekati ajalnya. Pada saat itulah Dewa Ruci muncul. Ia menaruh kasihan kepada Bhima yang sengsara. Ia mula-mula muncul sebagai cahaya yang terang benderang (mencorong manter sak sodho lanang). Setelah itu ia muncul sebagai anak kecil yang rupanya persis seperti Bhima. Dalam pertemuan itu terjadilah dialog yang sangat mistikal antara mereka.

Saya tidak bermaksud mengutip semua dialog ini, tetapi ingin menutup kisah singkat ini dengan mengutip sebagian kecil dialog seperti terdapat pada Tjeritera Dewa Rutji:

“Adaku pada tempat ini,” kata Dewa Rutji selandjutnja, ialah hanja untuk “mengejobungah” (rindu akan kegirangan, kesukaan, suka tjita).

“Mungkinkah keinginan tuan itu tertjapai pada tempat jang sunji senjap seperti ini?” Tanja Bima heran.

Djawab Dewa Rutji: “Kaki, ijo sedjatine bungah iku kang wus anggedekhake panarimo lan santoso. Margo ono ing paramean aku ora seneng, kekurangan aku ora nggrantes, tjatjad wus ndhak anggep pantes. Dhene kang ndhak pangan jen ono godong kumlejang kang tibeng ngarsaku, lamun sepen sepi.” (Ketahuilah, wahai anakku pada hakikatnja, sukatjita itu dapat memperbesar rasa “menerima” atau terima kasih (aanvaarden en berusten.) dan keteguhanku. Pada suatu pesta aku tidak merasa lebih senang lagi. Kekurangan dan kemiskinan, kemelaratan bagiku tidak berarti penderitaan atau kesedihan. Ilat (tjatjad) saya anggap tidak merugikan diriku. Makananku ialah amat sederhana, artinja sederhana sadja!).

Cerita Dewa Ruci diduga—menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr. Stutterheim—ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R. Ng. Ronggowarsito.

Siapa pun penulisnya, naskah Dewa Ruci yang kita ketahui sekarang, tampaknya telah diislamkan atau dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam, khususnya tasawuf. Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama “angkatan tua”, ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk “ilmu kasampurnan” .

Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan “bahasa” orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko. Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi, kita akan melihatnya sangat sufistik. Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritera. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu. Lihatlah, bagaimana Sa’di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.

R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya. Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana. Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai. Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti. Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu: Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu—Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.

Dewa Ruci, Gilgamesh, Aleksander, dan Khidhir
Sangat tidak mungkin membahas penafsiran Dewa Ruci sebagai buku tasawuf di sini. Kita memerlukan bukan saja buku tersendiri untuk itu tetapi sebuah penelitian yang mendalam -boleh jadi dengan menggunakan pendekatan hermeneutik mutakhir (yang dikritik sangat nihilistik belakangan ini)- kepada teks Dewa Ruci. Apa yang saya sampaikan di sini hanyalah simplifikasi dari pemahaman saya yang juga sebenarnya sangat sederhana kepada Cerita Dewa Ruci.

Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa. Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria. Di kota kuno Uruk bertahta raja yang sangat perkasa, Gilgamesh. Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia. “Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras,” begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.

“Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur,” kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan:

O Gilgamesh, whither do you fare?
The life you seek, you will not find
When the gods created man,
They apportioned death to mankind;
And retained life to themselves
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
Make of each day a festival of joy,
Dance and play, day and night!
Let your raiment be kept clean,
Your head washed, body bathed,
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Let your wife delighted your heart,
For in this is the portion of man

Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada “the portion of man”. Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi. Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis. Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya. Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis. Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam. Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat. Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi. Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai, dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu. Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa.

Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia. Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian. Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas. Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.

Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan. Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak. Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai. Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.

Kisah Aleksander ini disebutkan dalam Al-Quran sebagai kisah Zulqarnain. Kitab-kitab tafsir menjelaskan maksud perjalanan Zulqarnain ini sebagai upaya mencari air kehidupan. Kisah Zulqarnain ini dikisahkan segera setelah Tuhan bercerita tentang perjalanan Musa as untuk belajar kepada seorang manusia yang juga hidup abadi. Al-Quran tidak menyebutkan nama guru ruhani ini. Hadits menyebutkannya sebagai Khidhir:

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubayr: Aku berkata kepada Ibnu Abbas -Nauf al-Bikali menyatakan bahwa Musa, sahabat Al-Khidhr, bukanlah Musa dari Bani Israil. Ibn Abbas berkata: Musuh Allah itu berdusta. Diriwayatkan oleh Ubayy bin Ka’ab bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: Musa berdiri menyampaikan khotbah di hadapan Bani Israil. Ia ditanya siapakah manusia yang paling berilmu. Musa menjawab, “Aku.” Allah memperingatkan dia karena ia tidak menisbahkan pengetahuan pada Tuhan semata. Allah mewahyukan kepadanya, “Di pertemuan di antara dua lautan ada hamba Kami yang lebih berilmu dari kamu.” Musa bertanya, “Ya Allah, di mana bisa kujumpai dia?” Allah berkata, “Bawalah ikan dan masukkan ke dalam wadah dan berjalanlah (sampai kamu kehilangan ikan itu)”.

Berangkatlah Musa beserta pembantunya -Yusya bin Nun, sampai mereka mencapai sebuah batu. Keduanya beristirahat dan tidur di atasnya. Ikan tergoncang dalam wadah dan terlempar ke dalam laut dan mengambil jalan ke laut seperti dalam terowongan (QS. Al-Kahfi; 61). Allah menghentikan arus air di kedua arah yang dibuat ikan itu, sehingga jalan itu mirip terowongan. Ketika Musa bangun, sahabatnya lupa menyebutkan ikan itu. Mereka melanjutkan perjalanan selama sisa hari itu dan sepanjang malam. Pada pagi harinya, Musa menyuruh pembantunya, “Bawalah makanan pagi kita. Sebenarnya kita sudah menemui kelelahan dalam perjalanan ini.” (QS. Al-Kahfi; 62).

Musa tidak kelelahan sampai ia mencapai tempat yang diperintahkan Allah untuk dicari Musa. Pelayannya berkata, “Ingatkah Anda ketika kita beristirahat di atas batu? Aku lupa pada ikan itu. Hanya Setanlah yang membuat aku lupa. Ikan itu sudah mengambil jalan ke laut dengan sangat mengherankan.” (QS. Al-Kahfi; 63). Adanya terowongan untuk ikan itu, bagi Musa dan pembantunya adalah hal yang sangat mencengangkan. Musa berkata: Itulah tempat yang kita cari. Jadi mereka kembali lagi, menapak tilas yang pernah dilewatinya (QS. Al-Kahfi: 64). Mereka kembali sampai mereka berjumpa dengan seorang berjubah.

JALALUDDIN RAKHMAT,
Dosen ICAS Jakarta dan pengasuh Pengajian Ahad Masjid Al-Munawarah, Yayasan Muthahhari Bandung

(Makalah ini disampaikan pada Seminar Tasawuf dalam Tradisi Jawa dan sekaligus ulang tahun Yayasan Tazkiya Sejati, yang dilaksanakan pada 5 Agustus, 2000 di Jakarta Design Center, Jakarta).

REFERENSI:
Dr.A. Seno-Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa Rutji (Djakarta: Penerbit Kinta, 1967)
Joseph Campbell, Occidental Mithology: The Masks of God (New York: Penguin Books, 1976)
Imam Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Jilid 6, hadits 249).
Dr.Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Sebuah Studi terhadap Serat Wirid Hidayat Jati (Jakarta: UI-Press, 1988)

ahmadsamantho.wordpress.com



Artikel yang berhubungan