WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

10.14.2008

PEMERINTAH ANTISIPASI PENURUNAN EKSPOR

[JAKARTA] Pemerintah dituntut mengembangkan strategi antisipatif, seperti penciptaan pasar baru, baik di luar maupun dalam negeri, guna mengatasi merosotnya ekspor komoditas pertanian, saat krisis finansial menghantam Amerika Serikat (AS). Pasalnya, dampak krisis kepada sektor pertanian lebih nyata pada aspek komoditas marketnya daripada aspek finansialnya
"Sektor pertanian paling kecil terkena dampak krisis finansial karena pertanian tidak ada di pasar saham, juga minus kredit. Oleh karenanya, sektor pertanian jadi lebih jauh dari gejolak pasar finansial. Bunga bank naik, petani biasa-biasa saja karena mereka punya mekanisme pembiayaan sendiri. Krisis ini lebih berimbas pada market demand-nya," papar Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Perikanan, Bayu Krisnamurthi, Rabu (8/10) di Jakarta.

Menurut Bayu, krisis finansial yang terjadi di AS diakui, tidak hanya memberikan dampak pada sektor finansial Indonesia. Sektor lain, seperti pertanian pun, ikut terkena imbas akibat menurunnya permintaan pasar. "Contohnya, para petani dan pengusaha kakao yang mengalami kesulitan mengekspor produk mereka," katanya. Berdasarkan laporan dari pengusaha kakao, penyebabnya karena produksi mereka mengalami kesulitan untuk menembus pasar AS.

"Padahal selama ini, sudah ada hambatan dari aturan perdagangan maupun hambatan dari sisi kualitas, sekarang ditambah lagi dengan kondisi krisis AS," kata Bayu.

Salah satu kebijakan pemerintah untuk menciptakan pasar dalam negeri adalah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga bahan bakar nabati (BBN) sebagai bahan bakar alternatif. Dengan peraturan tersebut, produk pertanian yang dapat digunakan untuk energi akan terus meningkat.

Salah satunya adalah minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) yang jumlahnya dapat mencapai 40 juta ton pada 2020. "Pada 2010, produksi CPO diperkirakan tembus 20 juta ton. Tahun ini 18 juta ton lebih, 2009 sebanyak 19 juta ton. Kebutuhan dalam negeri sebesar 4,5 juta ton. Untuk 2010, kebutuhannya 5 juta ton. Berarti ada surplus 15 juta ton, untuk ekspor. Masalahnya, demand Eropa untuk CPO sedang turun. AS juga diperkirakan akan turun, meski sekarang belum," tuturnya.

Dengan adanya peraturan tersebut, menurut Bayu, akan tercipta demand CPO dalam negeri sebesar 1-2 juta ton pada 2009. Ia juga menjamin, penggunaan CPO untuk BBN tidak akan menyebabkan kelangkaan pangan untuk minyak goreng.

Pengguna utama CPO sebenarnya adalah minyak goreng dan oleochemical. Namun, minyak goreng dan industri kimia hilir memiliki tingkat pertumbuhan yang tidak sepesat pertumbuhan produksi, bahkan hanya untuk menampung peningkatan produksi tanpa peluasan skala besar.

Sementara permintaan potensial untuk minyak nabati adalah untuk bahan bakar sehingga pengembangan pasar BBN sangat penting bagi pengembangan pasar produk pertanian. Untuk jenis bahan baku BBN sendiri, menurut Bayu. tidak ada pembatasan. Sehingga, terbuka pasar baru bagi bahan lain selain CPO seperti jarak pagar, nyamplung, dan bahan lainnya bahkan termasuk produk limbah pertanian.

"Asalkan harus memenuhi ketentuan spesifikasi teknis dipergunakan sebagai bahan baku BBN. Dengan aturan itu diharapkan dalam tahun 2009 diperkirakan akan ada permintaan baru BBN sekitar 1 hingga 1,2 juta ton," jelasnya.

Bea Keluar Progresif

Di sisi lain, pemerintah akan memberlakukan bea keluar (BK) progresif untuk ekspor CPO mulai tahun 2009 mendatang. Hal ini diberlakukan mengingat tren perkembangan harga CPO di dunia yang menunjukkan kenaikan, bahkan sempat meroket hingga US$ 1.200 per ton.

Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Departemen Perdagangan, Diah Maulida ditemui SP di Jakarta, Rabu, pemberlakuan BK progresif itu tentunya dengan sistem yang lebih sesuai dengan kondisi sekarang.

Kendati demikian, pembahasan perubahan pungutan ekspor (PE) menjadi BK baru akan dimulai pekan depan. Diah menuturkan, beberapa hal yang akan dibahas, perubahan patokan harga CPO untuk besaran PE/BK nol persen. "Selama ini, PE-nya nol persen kalau harga CPO internasional di bawah US$ 550 per ton. Saat itu, hal tersebut yang sedang dianalisis. Pekan depan baru akan dibahas," tutur Diah.

Dia mengatakan, sistem PE progresif selama ini cukup berhasil untuk menstabilkan harga dan mengamankan pasokan CPO dan minyak goreng di dalam negeri. Namun, mengingat tren perkembangan harga CPO di dunia menunjukkan kenaikan, bahkan sempat menyentuh US$ 1.200 per ton, pemerintah perlu menyesuaikan progresivitas PE CPO.

"Ada banyak konsep, tetapi belum dimatangkan kembali. Kami akan melihat lagi yang dampaknya paling minimal bagi sektor ekspor kita," tegas dia.

Menurut Diah, tujuan pemberlakuan PE memang bukan semata-mata untuk meningkatkan pendapatan pemerintah saja, tetapi juga untuk mencegah terjadinya fluktuasi harga.

Ekspor CPO, kata Diah, masih akan menjadi andalan yang memberi kontribusi besar terhadap kinerja ekspor nonmigas. Untuk itu, BK-nya harus progresif. Dia memprediksi, jika selama Oktober 2008 saja PE-nya 7,5 persen maka ekspornya akan mencapai US$ 2 miliar.

Berdasarkan data Depdag, volume ekspor CPO bulanan rata-rata berkisar US$ 2 miliar. "Memang, hingga Juli 2008, ekspornya hanya mencapai 600 jutaan, tetapi bulan sebelumnya, ekspor kita berkisar US$ 1 miliar. Hal ini dikarenakan ada penurunan PE dari 15 persen menjadi 10 persen," kata Diah.

Namun, pemerintah tetap mewaspadai kemungkinan penurunan permintaan ekspor akibat dampak dari krisis finansial AS. "Sekarang ini sudah ada aturan wajib untuk menyerap CPO sebagai biofuel yang akan diberlakukan tahun 2009 mendatang. Untuk itu, paling tidak kami bisa berharap, akan ada kelebihan produksi CPO yang bisa terserap ke sana," ujarnya. [CNV/D-10]

Sumber : Suara Pembaruan
Indonesia.go.id


Artikel yang berhubungan