WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

2.13.2009

Puisi-puisi Sukron Abdilah

Limbo kehancuran

kepulan asap bergeroyok tutupi mata sedesa
nyanyian sumbang, teriak warga menyelingi sukma
duhai hutan belantara, adakah rasa benci
menghunjam di kedalaman sanubarimu?


cerah-benderah langit membiru warnanya kedapkan laksa
rasa dan imaji warga berlari ke masa lalu saat tumbangkan
pohon berjejer di hutan belantara.

duhai langit meluas, pongahkah aku?
manusia berderai nafsu ngangkangi keagungan-Mu

tanda-ayat itu kini menebar tak tergagahi
merangsek menusuk-nusuki manusia pongah
berbalut ketidakadilan

temaram malam kian gagapi aku yang malang
melintang ke arah sumur tua di kabuyutan
tepi sungai pun tak henti-hentinya aliri kekalutan
dengan limbo-limbo kehancuran

bandung, Maret 2008

Berdetak Kencang

duduk di tepi trotoar
kaki kupanjatkan pada sebilah pedang
sakit kupaksakan meski derai air mata meluber ke sekujur badan

bus itu maju ke depan, tak ke belakang
genjring, gitar, dan talu rebana mengiringi nada Sunda
dari tiga pengamen jalanan lenyapkan duka lara

cantik…, wanita Cicalengka pandangkan matanya
aku tersipu malu menahan rasa cinta yang datang sekejap mata
belokan jalan itu pun kembali buyarkan sejuta asa
mengembalikan keterpurukan jiwa yang tak kunjung membaik

garut-bandung, Maret 2008

Alamat kekerasan

duka memendungi lelangitan hidupku
baitullah di kampungku gosong terbakar api kebencian
raungan titahnya memerindingkan bulu kudukku
hingga senyap-senyipkan rasa kantuk yang sejak kemarin
ku tahan erat-kuat agar me-“meleki” gerakan pedang dan serulitmu

sumbing bibirku tak lenyapkan selaksa kata kebenaran
tertusuk anak panah yang melesat dari busur
digenggam angkara murka Arjuna
yang kerasukan dedemit perusak

gerlik suara cericit burung kematian itu tetap terdengar jelas
memekak ke dalam gendang telinga yang pecah karena kebengisan
laku-kata yang tak luapkan ke-Mahapengasih-an Tuhan
alamat kekerasan pula yang kemarin menuliskan
kampung halaman, tempatku bercengkrama
dengan berjuta derita
dalam secarik kertas fatwa kekerasan atas nama Agama!

Garut-Bandung, 02 Mei 2008

Matinya kebenaran

mata elang itu tertancap duri pohon salak
hempasan tubuhnya membuat aku tersentak kaget
lantas kemudian jejak-menjejaki menuntun langkah
ketakpastianku yang terus menggerogoti keyakinan

terbang juga akhirnya kau burung elang
meski dengan satu mata kebenaran
yang tak jamak di mata orang
ah, biar matinya kebenaran menjadi petanda
bahwa manusia gila akan terus menggilas
suara-suara sumbang kebenaran

Bandung, 02 Mei 2008

Mendaki puncak kearifan

kerikil-kerikil tajam di sepanjang jalan kenangan
menuju puncak gunung Manglayang yang tinggi menjulang
hamparkan semiliar perbedaan di Kota kembang
laiknya harum bunga di taman firdaus penuh harapan
untuk terus menggerayangi memukaunya keindahan

puncak gunung itu ajarkan aku melihat dari angkasa
atas hamparan kota dipenuhi bangunan yang melalat
kerlip cahaya lampu temaram dari arah Barat
cerahi rasa egoisku atas penyeragaman keberbedaan pemahaman

dan, aku pun menemukan puncak kearifan yang me-luas
kala menyaksikan putaran Bumi yang diversif dan majemuk
dari puncak menara Melayang aku terjatuh
menimpa keindahan yang ragam dan unik

lalu, aku pun tersedu menangis
kembali kepada keegoisan yang melekatkan diri
dengan berjumput laku kekerasan

bandung, 04Mei 2008

Tentang hitam

hitam kotoran anjing menempel di baju putihku
sehitam aspal di jalan raya Soekarno-Hatta
aku melepuh tak bisa melepasnya dari hehitaman yang mencekat
terus-terusan bagaikan dedakian di punggungku yang menggempal
berlarian membercaki seluruh tubuh dan jiwa

bajuku pun hanya bisa menundukkan diri
nerima catatan ilahi yang digariskan dari lauhmahfudz
dosaku kilatannya sudah sedemikian tak terlihat
hingga de javu kerap hantui akibat tak beringat
akan kental menghitamnya dosaku yang kini mulai legam

warna hitam dosaku menutup diri dari nur aini
menjadikan aku sebagai manusia berkubang dzulmun aini
aku bermetamorofsa jadi makhluk wail yang tak bergeming
kala si cacah miskin tak bisa makan nasi aking sekalipun

jiwaku terkurung tubuh kasat
yang tegak ajek menyombongi Tuhan
karena matinya cahaya putih bersih bersinar dari jiwa
terembusi angin kegelapan yang meracaukan kebejatan moral
manusiawi di dalam diriku pun warnanya telah menghitamkan
rasa berbagi dengan sesama

aku, saat ini sang hitam yang merindukan
sang putih menghidupkan dirinya kembali
merengkuh kemanusiaan yang seputih berbening-bening mutiara
kalau dalam konteks keindonesiaan, hitam adalah warna kejahatan!

Bandung, 04 Mei 2008

Jamur kepedihan

mati rasa aku tengkurap dalam kenestapaan
kerinduan tak pasti terus saja menghinggapi asa
aku dan ragam rasa bergelayutan jadi satu
membunuh keangkaramurkaan

tak biasa harus tertunduk pada hidup!

tak bergeming kala rintih kepiluan
datangkan kesenyapan hati yang tak bersahutan
dengan biofilia yang sejak kemarin kalah
mati tertunduk hasrat nekrofilia dalam diri

pemimpinku, wahai yang tersenyum pada kemiskinan
akankah kau balut diri dengan kepedulian?
hari ini aku hanya bisa merengkuh sepiring nasi
berlumur jamur kepedihan

Bandung, 05 Mei 2008

“Wau qasam”
Wallahi Surti,
Aku tak bisa membiarkan diperbudak berhala duniawi
Wallahi Agami,
Aku tak bisa menghalangi diri membumikan ajaran suci
Wallahi Insani,
Rasa kemanusiaanku tak akan pernah mati
Wallahi Khalafi,
Keberbedaan itu tak mungkin aku caci-maki

Wallahi ya harfal ilahi,
Huruf nan Agung itu ikatkan diri bersama ilahi Rabbi
Wau qasam terus bersemayam menukik di hati
Tak kuat diri melepaskan semangat Ilahi

Bandung, 05 Mei 2008

Sufi pedesaan

sarung lama lekat di pinggang
kopiah ladus wadahi kepala
sorba putih kecoklatan melilit leher berkurap
tak menghijabnya berma’rifat pada Tuhan

seusai Subuh bergulir, ia pergi ke sawah becek
memangku cangkul di pundak
bergontai lewati jalan penuh aral menghadang
untuk menanam urat nadi kehidupan

bulir-bulir padi itu merekah
tanda keikhlasan sang sufi mengabdi pada ilahi
yang tak tertandindi mobil, HP, dan duit bergepok
dari kekuasaan yang berjabat-jabat

bandung, 05 Mei 2008

estetika kata

kata apa yang harus kutuliskan di atas lembaran kertas?
estetika kata pun tak menyerap dalam tarian jari tanganku
ah, biar tak kau bilang estetis juga.

Asal ada semangat kemanusiaan yang coba aku tawarkan.
Karena itulah estetika kata yang didengungkan penyair ulung

Bandung, 05 Mei 2008

Yasinan
buku tipis sediakan segumpal pengharapan
gema tahlil mengakbarkan nama Tuhan

satu jam mata mengantuk dendangkan puji-pujian suci
setelah itu suasana ramai cengengesan anak kecil berhamburan
menghampiri sohibul hajat yang sibuk menyedekahkan panganan

nama agung Jaelani jadi wasilah buat keselamatan dunia dan akhirat
kedukaan sang mayat menerpa setiap jiwa pelayat yang sedikit berkarat
dengan dedakian dosa yang hijab-menghijabi laku lampah

andai semangat dibalik surat Yaasin koe tangkap agar tak meliar
niscaya gemilang peradaban mewujud jadi satu keindahan

bandung, 06 Mei 2008

Jelang seabad Indonesia

dulu, Negara ini dihuni oleh banyak “mereka” yang bersitegang
namun ketertindasan
adalah satu alasan bersatu melakukan perlawanan

jelang seabad kebangkitan nasional
kita pun kembali saling bertegangan
mendobrak secara paksa benteng pertahanan yang dahulu dibangun
dengan keringat darah yang bercucur dari sekujur badan

jelang akhir seabad kebangkitan nasional
kita hanya mampu mengembangbiakkan kebersitegangan
nenek moyang barbarian di tubuh bangsa.

aku berdoa, semoga seabad kebangkitan Indonesia
tidak menjadi beban peradaban
melainkan jadi pemanggul tegaknya keberadaban
yang bisa mengukir sebuah ketakberartian
menjadi keberartian yang penuh kagum merayu.

Bandung, 06 Mei 2008
--------------
Sukron Abdilah, Lahir di Garut, 22 Maret 1982. Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung (2007), selain menulis artikel, mengedit buku, sekarang lagi belajar nulis puisi bersama kawan-kawan di Komunitas Sastra Wau Qasam, Bandung.

Artikel yang berhubungan