Limbo kehancuran
kepulan asap bergeroyok tutupi mata sedesa 
nyanyian sumbang, teriak warga menyelingi sukma 
duhai hutan belantara, adakah rasa benci 
menghunjam di kedalaman sanubarimu?
cerah-benderah langit membiru warnanya kedapkan laksa 
rasa dan imaji warga berlari ke masa lalu saat tumbangkan 
pohon berjejer di hutan belantara.
duhai langit meluas, pongahkah aku?  
manusia berderai nafsu ngangkangi keagungan-Mu
tanda-ayat itu kini menebar tak tergagahi 
merangsek menusuk-nusuki manusia pongah 
berbalut ketidakadilan
temaram malam kian gagapi aku yang malang 
melintang ke arah sumur  tua di kabuyutan 
tepi sungai pun tak henti-hentinya aliri kekalutan 
dengan limbo-limbo kehancuran
bandung, Maret 2008
Berdetak Kencang
duduk di tepi trotoar 
kaki kupanjatkan pada sebilah pedang 
sakit kupaksakan meski derai air mata meluber ke sekujur badan
bus itu maju ke depan, tak ke belakang 
genjring, gitar, dan talu rebana mengiringi nada Sunda 
dari tiga pengamen jalanan lenyapkan duka lara
cantik…, wanita Cicalengka pandangkan matanya 
aku tersipu malu menahan rasa cinta yang datang sekejap mata 
belokan jalan itu pun kembali buyarkan sejuta asa
mengembalikan keterpurukan jiwa yang tak kunjung membaik
garut-bandung, Maret 2008
Alamat kekerasan
duka memendungi lelangitan hidupku
baitullah di kampungku gosong terbakar api kebencian 
raungan titahnya memerindingkan bulu kudukku 
hingga senyap-senyipkan rasa kantuk yang sejak kemarin 
ku tahan erat-kuat agar me-“meleki” gerakan pedang dan serulitmu
sumbing bibirku tak lenyapkan selaksa kata kebenaran
tertusuk anak panah yang melesat dari busur 
digenggam angkara murka Arjuna 
yang kerasukan dedemit perusak
gerlik suara cericit burung kematian itu tetap terdengar jelas
memekak ke dalam gendang telinga yang pecah karena kebengisan 
laku-kata yang tak luapkan ke-Mahapengasih-an Tuhan
alamat kekerasan pula yang kemarin menuliskan 
kampung halaman, tempatku bercengkrama 
dengan berjuta derita
dalam secarik kertas fatwa kekerasan atas nama Agama! 
Garut-Bandung, 02 Mei 2008
Matinya kebenaran
mata elang itu tertancap duri pohon salak
hempasan tubuhnya membuat aku tersentak kaget
lantas kemudian jejak-menjejaki menuntun langkah 
ketakpastianku yang terus menggerogoti keyakinan 
terbang juga akhirnya kau burung elang
meski dengan satu mata kebenaran 
yang tak jamak di mata orang  
ah, biar matinya kebenaran menjadi petanda 
bahwa manusia gila akan terus menggilas 
suara-suara sumbang kebenaran
Bandung, 02 Mei 2008
Mendaki puncak kearifan
kerikil-kerikil tajam di sepanjang jalan kenangan 
menuju puncak gunung Manglayang yang tinggi menjulang 
hamparkan semiliar perbedaan di Kota kembang 
laiknya harum bunga di taman firdaus penuh harapan 
untuk terus menggerayangi memukaunya keindahan
puncak gunung itu ajarkan aku melihat dari angkasa 
atas hamparan kota dipenuhi bangunan yang melalat 
kerlip cahaya lampu temaram dari arah Barat 
cerahi rasa egoisku atas penyeragaman keberbedaan pemahaman
dan, aku pun menemukan puncak kearifan yang me-luas 
kala menyaksikan putaran Bumi yang diversif dan majemuk 
dari puncak menara Melayang aku terjatuh 
menimpa keindahan yang ragam dan unik
lalu, aku pun tersedu menangis 
kembali kepada keegoisan yang melekatkan diri 
dengan berjumput laku kekerasan  
bandung, 04Mei 2008
Tentang hitam
hitam kotoran anjing menempel di baju putihku
sehitam aspal di jalan raya Soekarno-Hatta 
aku melepuh tak bisa melepasnya dari hehitaman yang mencekat 
terus-terusan bagaikan dedakian di punggungku yang menggempal 
berlarian membercaki seluruh tubuh dan jiwa
bajuku pun hanya bisa menundukkan diri 
nerima catatan ilahi yang digariskan dari lauhmahfudz 
dosaku kilatannya sudah sedemikian tak terlihat 
hingga de javu kerap hantui akibat tak beringat 
akan kental menghitamnya dosaku yang kini mulai legam
warna hitam dosaku menutup diri dari nur  aini 
menjadikan aku sebagai manusia berkubang dzulmun aini 
aku bermetamorofsa jadi makhluk wail yang tak bergeming 
kala si cacah miskin tak bisa makan nasi aking sekalipun
jiwaku terkurung tubuh kasat 
yang tegak ajek menyombongi Tuhan 
karena matinya cahaya putih bersih bersinar dari jiwa 
terembusi angin kegelapan yang meracaukan kebejatan moral 
manusiawi di dalam diriku pun warnanya telah menghitamkan 
rasa berbagi dengan sesama
aku, saat ini sang hitam yang merindukan 
sang putih menghidupkan dirinya kembali 
merengkuh kemanusiaan yang seputih berbening-bening mutiara 
kalau dalam konteks keindonesiaan, hitam adalah warna kejahatan!
Bandung, 04 Mei 2008  
Jamur kepedihan
mati rasa aku tengkurap dalam kenestapaan 
kerinduan tak pasti terus saja menghinggapi asa 
aku dan ragam rasa bergelayutan jadi satu 
membunuh keangkaramurkaan
tak biasa harus tertunduk pada hidup!
tak bergeming kala rintih kepiluan 
datangkan kesenyapan hati yang tak bersahutan 
dengan biofilia yang sejak kemarin kalah 
mati tertunduk hasrat nekrofilia dalam diri
pemimpinku, wahai yang tersenyum pada kemiskinan 
akankah kau balut diri dengan kepedulian? 
hari ini aku hanya bisa merengkuh sepiring nasi 
berlumur jamur kepedihan 
Bandung, 05 Mei 2008
“Wau qasam”
Wallahi Surti, 
Aku tak bisa membiarkan diperbudak berhala duniawi 
Wallahi Agami, 
Aku tak bisa menghalangi diri membumikan ajaran suci
Wallahi Insani,
Rasa kemanusiaanku tak akan pernah mati 
Wallahi Khalafi, 
Keberbedaan itu tak mungkin aku caci-maki
Wallahi ya harfal ilahi, 
Huruf nan Agung itu ikatkan diri bersama ilahi Rabbi 
Wau qasam terus bersemayam menukik di hati 
Tak kuat diri melepaskan semangat Ilahi
Bandung, 05 Mei 2008
Sufi pedesaan
sarung lama lekat di pinggang 
kopiah ladus wadahi kepala 
sorba putih kecoklatan melilit leher berkurap 
tak menghijabnya berma’rifat pada Tuhan
seusai Subuh bergulir, ia pergi ke sawah becek 
memangku cangkul di pundak 
bergontai lewati jalan penuh aral menghadang 
untuk menanam urat nadi kehidupan
bulir-bulir padi itu merekah 
tanda keikhlasan sang sufi mengabdi pada ilahi 
yang tak tertandindi mobil, HP, dan duit bergepok 
dari kekuasaan yang berjabat-jabat
bandung, 05 Mei 2008 
estetika kata
kata apa yang harus kutuliskan di atas lembaran kertas?
estetika kata pun tak menyerap dalam tarian jari tanganku
ah, biar tak kau bilang estetis juga.
Asal ada semangat kemanusiaan yang coba aku tawarkan. 
Karena itulah estetika kata yang didengungkan penyair ulung
Bandung, 05 Mei 2008
Yasinan
buku tipis sediakan segumpal pengharapan 
gema tahlil mengakbarkan nama Tuhan
satu jam mata mengantuk dendangkan puji-pujian suci 
setelah itu suasana ramai cengengesan anak kecil berhamburan 
menghampiri sohibul hajat yang sibuk menyedekahkan panganan
nama agung Jaelani jadi wasilah buat keselamatan dunia dan akhirat 
kedukaan sang mayat menerpa setiap jiwa pelayat yang sedikit berkarat 
dengan dedakian dosa yang hijab-menghijabi laku lampah
andai semangat dibalik surat Yaasin koe tangkap agar tak meliar 
niscaya gemilang peradaban mewujud jadi satu keindahan
bandung, 06 Mei 2008
Jelang seabad Indonesia
dulu, Negara ini dihuni oleh banyak “mereka” yang bersitegang 
namun ketertindasan 
adalah satu alasan bersatu melakukan perlawanan
jelang seabad kebangkitan nasional 
kita pun kembali saling bertegangan 
mendobrak secara paksa benteng pertahanan yang dahulu dibangun 
dengan keringat darah yang bercucur dari sekujur badan
jelang akhir seabad kebangkitan nasional 
kita hanya mampu mengembangbiakkan kebersitegangan 
nenek moyang barbarian di tubuh bangsa.
aku berdoa, semoga seabad kebangkitan Indonesia 
tidak menjadi beban peradaban 
melainkan jadi pemanggul tegaknya keberadaban 
yang bisa mengukir sebuah ketakberartian 
menjadi keberartian yang penuh kagum merayu.  
Bandung, 06 Mei 2008
--------------
Sukron Abdilah, Lahir di Garut, 22 Maret 1982. Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung (2007), selain menulis artikel, mengedit buku, sekarang lagi belajar nulis puisi bersama kawan-kawan di Komunitas Sastra Wau Qasam, Bandung.