WILUJENG SUMPING DI SITUS SATORI Poenya

12.30.2008

Kapitalisasi Pertanian Padi

Kapitalis turun ke sawah. Itulah kalimat yang paling pas untuk menggambarkan gejala masuknya beberapa perusahaan besar, antara lain sejumlah badan usaha milik negara (BUMN), ke bisnis tani padi akhir-akhir ini.

Bagaimana gejala itu sebaiknya disikapi? Ditolak atau sebaliknya disambut gembira? Kalangan lembaga swadaya masyarakat pembela petani jelas menolak kapitalis masuk ke agrobisnis padi. Alasannya, kapitalis akan mematikan petani.
Benarkah petani akan mati? Ya, kalau kapitalis bermain sendiri. Tidak, kalau ia bekerja sama dengan petani. Dalam konteks kerja sama itu kapitalisasi padi sawah harus disambut positif. Mengapa?

Salah satu tujuan pembangunan pertanian padi adalah transformasi cara produksi dari kegiatan ekonomi keluarga menjadi kegiatan bisnis. Itu berarti transformasi dari usaha tani keluarga (mikro/kecil) ke perusahaan agrobisnis (besar).

Proses transformasi melewati tiga tahap. Pertama, tahap agrobisnis berbasis sumber daya yang digerakkan kelimpahan sumber daya alam dan manusia tak terdidik. Pada tahap ini agrobisnis bersifat padat kerja. Produk akhirnya dominan komoditas primer.

Kedua, tahap agrobisnis berbasis investasi yang digerakkan kekuatan investasi (capital) melalui percepatan pembangunan, pendalaman industri hulu/hilir, dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Agrobisnis di tahap ini bersifat padat modal. Produk akhirnya dominan komoditas olahan.
Ketiga, tahap agrobisnis berbasis inovasi yang digerakkan inovasi melalui peningkatan teknologi dan kemampuan sumber daya manusia. Ini tahap agrobisnis yang bersifat padat inovasi (iptek). Produk akhirnya dominan komoditas olahan/jadi/ turunan.

Kesenjangan
Hampir empat dekade pembangunan pertanian, namun pertanian padi kita secara keseluruhan masih mandeg di tahap pertama. Dengan kata lain transformasi pertanian gagal!

Revolusi Hijau dan program intensifikasi lanjutannya, hingga kini, tidak mampu membawa pertanian ke tahap agrobisnis berbasis investasi sekalipun. Kendati terjadi modernisasi teknologi pertanian padi tetap bersifat padat kerja dengan dominasi padi sebagai hasil akhir.

Transformasi pertanian gagal karena kesenjangan antara perubahan teknologi dan organisasi (manajemen). Pembangunan pertanian telah merevolusi teknologi pertanian dari non-kapitalis ke kapitalis. Tetapi, tidak demikian dengan organisasi produksi.

Organisasi produksi pertanian padi masih "non-kapitalis" . Ia masih melekat pada institusi keluarga petani. Pertanian padi diorganisasi sebagai salah satu dari sejumlah kegiatan ekonomi keluarga petani.

Dalam proses transformasi, organisasi dan teknologi seyogianya bersisian. Teknologi kapitalis akan menjadi malapetaka jika organisasi produksinya non-kapitalis. Terbukti semasa revolusi hijau petani gurem terpaksa menjual sawah kepada petani kaya karena organisasi produksinya (non-kapitalis) tak mampu mengelola teknologi kapitalis.

Kesenjangan terjadi karena pembangunan pertanian menomorduakan aspek organisasi. Hingga kini program-program pembangunan pertanian padi, misalnya, Primatani dan Peningkatan Produksi Beras Nasional, masih terfokus pada teknologi.

Tanpa revolusi ke organisasi produksi kapitalis, adopsi teknologi kapitalis tidak akan optimal. Teknologi akan diadopsi secara terbatas, serendah daya kelola organisasi produksi non-kapitalis.

Kemitraan
Tiga tahapan proses transformasi pertanian tidak hanya menunjuk pada perubahan teknologi, tetapi juga perubahan organisasi (manajemen) produksi dari non-kapitalis ke kapitalis.

Fakta di lapangan menunjukkan, setelah hampir empat dekade pembangunan pertanian teknologi sudah berwatak kapitalis, tetapi organisasi produksi masih non-kapitalis. Pemerintah gagal mendorong perubahan organisasi produksi padi.
Karena pertanian padi gagal bertransformasi dari "usaha keluarga" (non-kapitalis) ke "bisnis" (kapitalis), maka adopsi/pene- rapan teknologi kapitalis tidak optimal. Akibatnya, peningkatan produksi tidak optimal, sehingga ketahanan pangan rentan.

Ketahanan pangan (beras) nasional mempersyaratkan organisasi produksi yang kuat. Organisasi produksi non-kapitalis terbukti tidak memadai. Oleh karena itu, harus ada pergeseran revolusioner ke organisasi produksi kapitalis.
Pemerintah sudah terbukti gagal mendorong transformasi ke organisasi produksi kapitalis. Maka harapan layak ditujukan pada perusahaan kapitalis. Dengan skema agrobisnis berbasis kemitraan, perusahaan kapitalis dapat bersinergi dengan petani untuk mewujudkan agribisnis berbasis investasi/inovasi.
Kemitraan petani dan perusahaan kapitalis itu dapat mengambil bentuk organisasi badan usaha milik petani (BUMP). Di situ petani menyediakan modal tanah dan tenaga tani. Sementara perusahaan kapitalis menyediakan modal finansial, teknologi, je- jaring pasar, dan keahlian manajemen.

Pola kemitraan seperti itu sudah diterapkan sejumlah BUMN lingkup agrobisnis/agroindu stri dan komunitas petani di Subang dan Karawang, yang berhasil meningkatkan produksi padi dari lima menjadi delapan ton per hektare.
Idealnya, kemitraan itu mewujudkan agrobisnis padi terpadu skala besar (1.000 hektare per BUMP). Sebagai agrobisnis berbasis investasi/inovasi, agrobisnis padi itu tidak hanya menghasilkan gabah/beras, juga energi biomas, pangan olahan (mi beras, makanan bayi, nasi instan, tepung beras, minyak beras), bahan bangunan, dan pupuk organik.

Menurut taksiran moderat, dari 1 juta hektare sawah dengan pola kemitraan seperti di atas akan diperoleh gabah kering panen 15,2 juta ton. Dari pengembangan horisontal akan diperoleh energi listrik sebesar 281 mw atau 1.824 gwh.

Jadi, pola kemitraan tersebut tidak hanya berpotensi mendukung ketahanan pangan nasional, juga mencukupi kebutuhan energi listrik pedesaan. Pendapatan dan kesejahteraan petani sudah pasti meningkat.
Jadi, mengapa harus takut jika kapitalis baik BUMN maupun swasta turun ke sawah? Dengan suatu skema kemitraaan kapitalis-petani yang difasilitasi pemerintah, misalnya pola BUMP, taraf kehidupan sosial-ekonomi petani akan terangkat.

Secara bersamaan pertanian padi juga akan bertransformasi menjadi agrobisnis berbasis investasi dan inovasi. Sejalan dengan kebijakan revitalisasi, itulah wujud pertanian padi modern yang tangguh dan berdaya saing.


Penulis adalah Kepala Bagian Sosiologi Pedesaan dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB

aph168.blogspot.com

Artikel yang berhubungan