Seminar Peran Ekonomi Bioteknologi dalam Pertanian Indonesia
Berdasarkan hasil kajian Tim CARE-LPPM IPB menunjukan bahwa economic benefit pengembangan jagung transgenik hampir mencapai Rp 7 trilyun. Dalam jangka pendek, peningkatan produktivitas jagung sebesar 10 persen karena adanya adopsi jagung transgenik akan meningkatkan produksi jagung nasional untuk pakan sebesar 145,17 ribu ton (1,89%) dan untuk konsumsi langsung sebesar 225,55 ribu ton (5,59%) serta menurunkan harga jagung untuk pakan sebesar 1,45% dan untuk konsumsi langsung sebesar 1,05%.
Pernyataan tersebut dipaparkan oleh Tim Centre for Alternative Dispute Resolutions, Regulation & Policy Analysis and Community Empowerment (CARE) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) IPB, Ir. Dahri Tanjung, MS., Ir.Yeti Lies Purnamadewi, M.Sc., dan Dr.Utut Widyastuti pada Seminar "Peran Ekonomi Bioteknologi dalam Pertanian Indonesia," Kamis (23/10) Di Gedung Departemen Pertanian, Jakarta.
Dr.Utut Widyastuti, menjelaskan, meskipun terjadi penurunan harga, namun surplus produsen dan konsumen mengalami peningkatan. Peningkatan surplus ekonomi (surplus produsen dan konsumen) tersebut (3,82% untuk pasar jagung pakan dan 11,49% untuk pasar jagung konsumsi) menunjukkan bahwa kesejahteraan produsen dan konsumen mengalami peningkatan. Hal ini terjadi karena peningkatan produksi disebabkan oleh adanya peningkatan produktivitas. Adapun tambahan keuntungan yang dirasakan petani dengan menanam jagung transgenik rata-rata Rp 6,1 juta/ Ha.
"Dalam jangka panjang, penurunan harga jagung akan merangsang kenaikan permintaan jagung baik oleh industri pakan maupun untuk konsumsi langsung. Jika peningkatan produktivitas jagung sebesar 10 persen tersebut juga diikuti oleh peningkatan permintaan sebesar 10 persen, maka dampak positif yang timbul menjadi lebih besar. Surplus ekonomi yang terjadi menjadi berlipat sebagai akibat dari efek pengganda, di pasar jagung pakan surplus ekonomi tersebut meningkat sekitar 3,6 trilyun rupiah atau 29,46 persen dan di pasar jagung konsumsi meningkat 1,6 trilyun rupiah atau 46,83 persen," ujarnya.
Dijelaskannya, meskipun dampak pengembangan jagung transgenik dalam jangka panjang ini menyebabkan harga mengalami peningkatan Rp 153,95 per kilogram (7,11%) untuk jagung pakan dan Rp 112,72 per kilogram (7,90%) untuk jagung konsumsi, akan tetapi tidak hanya surplus produsen yang meningkat melainkan juga surplus konsumen. Hal ini karena peningakatan harga masih lebih rendah daripada peningkatan permintaan yang sebesar 10 persen.
"Pengembangan jagung trangenik juga memberikan value added di tingkat usaha tani. Meskipun pengadopsian jagung transgenik mengakibatkan penurunan harga jagung serta menaikkan biaya usaha tani, namun keuntungan usaha tani meningkat lebih besar,"ujarnya.
Menurut pengamatan yang telah dilakukan Tim CARE IPB, baik di Jawa Timur maupun di Lampung peningkatan keuntungan terjadi karena peningakatan produktivitas menyebabkan adanya penurunan marginal cost atau penurunan biaya per satuan output yaitu sebesar Rp 303 (27,57%) di Jawa Timur dan Rp 333 (47,86%) di Lampung dimana penurunan tersebut lebih besar daripada adanya penurunan marginal revenue atau penurunan harga/penurunan penerimaan persatuan output yang hanya sekitar 1,45 persen untuk harga jagung pakan dan 1,05 persen untuk harga jagung konsumsi.
"Dengan adopsi jagung transgenik, produksi jagung menjadi lebih efisien dimana biaya persatuan output jagung yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Di Jawa Timur, biaya persatuan output usaha tani jagung transgenik hanya sekitar 807, sementara biaya persatuan output usaha tani jagung hibrid mencapai 1.114. Begitu pula dengan di Lampung, meskipun tota biaya per hektar usahatani jagung transgenik lebih tinggi dibandingkan dengan total biaya usahatani jagung hibrida, namun tingkat produktivitas jagung transgenik yang jauh lebih tinggi dibandingakan dengan tingkat produktivitas jagung hibrida menyebabkan biaya persatuan output usahatani jagung transgenik hanya sebesar Rp 363, sedangkan biaya persatuan output usahatani jagung hibrida sebesar Rp 695," Yeti Lies Purnamadewi, M.Sc. menimpali.
Dikatakannya, dari total economic benefit atau total value added yang diperoleh, petani jagung menyumbangkan nilai tambah sebesar 62,62 persen, sekitar 55,75 persen dari adanya efisiensi produksi atau penghematan biaya dan 6,87 persen dari adanya peningaktan surplus produsen. Sementara konsumen jagung (industri pakan dan konsumen langsung) hanya menikmati value added dari adanya penghematan pengeluaran sebesar 3,51 persen dari total value added.
"Hal ini mengindikasikan bahwa pengembangan jagung transgenik akan membawa dampak positif yang cukup besar bagi upaya peningkatan kesejahteraan petani. Meskipun secara presentase nilai tambah yang dinikmati produsen benih relatif kecil (5,63%), namun secara nominal cukup besar untuk menjadi insentif bagi divisi research and development di industri benih untuk terus melakukan inovasi teknologi benih yang diharapkan nantinya terus dapat meningkatkan economic benefit bagi seluruh agen perekonomian terkait," ujarnya
Dijelaskannya, pemerintah juga mendapatkan manfaat cukup besar dari adanya pengembangan jagung transgenik ini, yakni mencapai 23,62 persen yang disumbangkan dari adanya peningkatan produk nasional sebesar 11,81 persen dan dari adanya penghematan devisa sebesar 11,81 persen. (*man)
Ipb.ac.id