3.31.2014
Segores Tinta Untuk Negeri
1.01.2012
Hujan diawal Tahun....
Waktu menunjukkan pukul 08.37 WIB saat saya menulis ini. Suasana sekitar rumah sepii.... Hujan mengguyur deras bagaikan langit sedang menangisi manusia yang mungkin sedang terlelap karena tadi malam terlalu gembira memperingati masuknya tahun baru.
Ya....Tahun telah berganti, namun sifat manusia sepertinya juga ikut berganti menjadi lebih aneh (menurut saya....). Aneh bagaimana? Ya aneh, kemarin liat di TV ada anak ngambil sendal polisi dihukum 5 taun, tapi ada yang udah jelas ngambilin uang rakyat trilyunan enak aja melenggang bayam....(kangkung maksudnya :))
Mungkin Hujan tersebut ingin menghapus kesedihan dan ketidakadilan tahun yang lalu. Mudah-mudahan tahun ini bisa lebih cerah, lebih segar, dan lebih bersih setelah dicuci oleh HJAN di AWAL TAHUN ini..... semoga....
10.29.2011
Selamatkan Plasma Nutfah Tumbuhan Kita Sekarang!
Oleh: Ahmad Satori, S.P.
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dikenal memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa, baik flora, fauna maupun mikroba. Namun kenyataan menunjukkan bahwa potensi kekayaan tersebut belum optimal dimanfaatkan. Indonesia dikategorikan sebagai wilayah Hot Spot, kaya dengan sumber daya hayati tetapi kondisinya terancam punah. Di mata internasional Indonesia juga dianggap kurang serius dalam menangani kelestarian sumber daya hayati. Anggapan ini rasanya tidak berlebihan karena terbukti emas hijau yang terhampar di hutan-hutan di wilayah republik ini dari waktu ke waktu jumlahnya makin menurun dengan laju yang semakin cepat, beberapa jenis dan varietas mulai langka bahkan ada yang telah punah sama sekali.
Kehidupan manusia sangat bergantung kepada sumber daya hayati sebagai sumber bahan pangan, sandang, papan dan bahan penunjang pengembangan industri. Peningkatan jumlah, jenis maupun kualitas kebutuhan manusia mendorong upaya pemanfaatan sumber daya hayati secara terus menerus, oleh karena itu kekayaan tersebut harus diamankan. Dalam pengamanannya dituntut perubahan sikap dari defensif yaitu melindungi alam dari pengaruh pembangunan menjadi upaya ofensif untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya hayati sekaligus mempertahankannya untuk kehidupan di masa yang akan datang.
Krisis Pangan
Persoalan rawan pangan yang menimpa penduduk negara-negara berkembang termasuk Indonesia perlu segera ditangani dan diantisipasi karena proyeksi penduduk pada tahun 2030 nanti ternyata memperlihatkan jumlah yang cukup fantastis, naik kurang lebih 160% dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 1990. Keanekaragaman genetika merupakan bahan mentah terpenting untuk mengembangkan bioteknologi modern dalam perakitan tanaman yang dipandang mampu menyelesaikan problematika pangan. Sumber daya genetika yang ada saat ini merupakan anugerah terakhir yang memberikan harapan untuk mengubah nasib bangsa ini menuju kecukupan pangan, mengentaskan kemiskinan sekaligus meningkatkan kesejahteraan.
Indonesia merupakan tempat tinggal lebih dari 6000 tumbuhan dari 28.000 jenis tumbuhan di dunia yang telah diketahui potensinya dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari. Dalam memenuhi kebutuhan pangan seperti karbohidrat, protein dan vitamin telah dimanfaatkan tidak kurang dari 900 jenis tumbuhan.
Tanaman Herbal Punah
Aktivitas perambahan hutan yang hingga kini terus terjadi semakin mengancam keberadaan sejumlah tanaman obat tradisional. sejumlah tanaman obat yang kerap digunakan masyarakat untuk pengobatan tradisional semakin jarang dijumpai.
Perambahan hutan yang mengancam tanaman tradisional itu, disebabkan oleh konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, dan aktifitas penebangan kayu dalam hutan baik legal maupun ilegal.
kehancuran ekosistem hutan berdampak pula pada hilangnya tanaman-tanaman obat tradisional, sedangkan minat masyarakat untuk budidaya tanaman obat tradisional masih sangat rendah. Keadaan ini makin buruk dengan adanya eksploitasi dan ekstrasi sumber daya hayati hutan melalui HPH (Hak pengusahaan hutan). Proses penggundulan telah mengikis habis jutaan hektar lahan hutan. Kekayaan flora dan fauna yang ada didalamnya ikut hilang untuk selamanya. Kerusakan hutan di Indonesia kini diperkirakan mencapai 1,6 juta hektar per tahun.
Mulai dari hal yang kecil, Mulai dari diri sendiri, Mulai saat ini juga
Kondisi sumber daya genetika sangat dipengaruhi proses pembangunan. Pembangunan di sektor pertanian. Eksploitasi tanpa dasar ilmiah memberikan dampak yang memprihatinkan. Fragmentasi dan kerusakan habitat, pengurasan populasi alaminya dan penanaman kultivar unggul yang terus menerus sehingga mendesak kultivar lokal akan menyebabkan keanekaragaman genetika makin lama makin menipis dan akan berakhir dengan kepunahan gen-gen yang berpotensi.
Pengelolaan sumber daya hayati termasuk sumber daya genetika yang ada didalamnya menjadi tanggung jawab yang berat terutama bagi pengambil keputusan, lembaga riset, perguruan tinggi maupun para intelektual. Dalam kegiatan ini masyarakat perlu dilibatkan agar mereka menyadari ketergantungan hidupnya kepada kekayaan biota tersebut. Dengan mengetahui potensi dan manfaatnya diharapkan penghargaan terhadap sumber daya hayati dan keanekaragaman genetikanya semakin meningkat sehingga tingkat kerusakan yang terjadi dapat ditekan.
Solusi yang paling realistis untuk menanggulangi erosi sumber daya genetik yang terus terjadi adalah dengan melakukan konservasi genetika. Kegiatan ini berupa pengelolaan koleksi dan pemeliharaan pusat-pusat sumber daya daya genetik yang mewakili spektrum keanekaragaman genetik, termasuk didalamnya koleksi kultivar lokal tradisional dan kerabat liarnya.
Ini adalah tanggung jawab kita semua.Marilah kita mulai menanam untuk masa depan yang lebih baik. ”Mulailah dari hal yang kecil, Mulailah dari diri sendiri, dan Mulailah saat ini juga”.
Diterbitkan di “Benih Kita” Edisi Tahun III No.5/2010, halaman 24-25
Keluarga Pilar Ketahanan Pangan
Oleh: Ahmad Satori, S.P.
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang permintaannya terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup. Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan Pasal 1 Ayat (17) disebutkan, ketahanan pangan sebagai kondisi keterpenuhan pangan rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup baik dalam jumlah, mutu, keamanan, serta merata dan terjangkau. Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Karena itu, masyarakat harus memahami bahwa nilai yang terkandung dalam pertanian dalam arti luas antara lain nilai pangan dan kesehatan. Maka untuk mewujudkan ketahanan pangan, aspek penting yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan, keterjangkauan, kelayakan, dan kesesuaian pangan. Sebagai suatu sistem yang kompleks, perwujudan ketahanan pangan tersebut hendak dicapai dengan terlaksananya subsistem ketersediaan terkait dengan upaya peningkatan produksi pangan; subsistem distribusi tentang keberadaan pangan yang merata dan terjangkau di masyarakat, dan subsistem konsumsi tentang kecukupan pangan yang dikonsumsi baik jumlah maupun mutunya.
Pengembangan ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena:
1. Akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi segenap rakyat Indonesia merupakan hak yang paling azasi bagi manusia.
2. Keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi.
3. Ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan.
Pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari ketiga subsistem tersebut. Pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan, yang berasal dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub-sistem distribusi pangan ber-tujuan menjamin aksesibilitas pangan dan stabilitas harga pangan. Pembangunan sub-sistem konsumsi bertujuan menjamin setiap rumah tangga mengkonsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, bergizi dan aman. Keberhasilan pembangunan masing-masing sub-sistem tersebut perlu didukung oleh faktor ekonomi, teknologi dan sosial budaya.yang pada akhirnya akan berdampak pada status gizi
Ketahanan pangan yang kokoh dibangun pada tingkat rumah tangga yang bertumpu pada keragaman sumberdaya lokal. Sejalan dengan dinamika pemantapan ketahanan pangan dilaksanakan dengan mengembangkan sumber-sumber bahan pangan, kelembagaan pangan dan budaya pangan yang dimiliki pada masyarakat masing-masing wilayah. Keunggulan dari pendekatan ini antara lain adalah bahwa bahan pangan yang diproduksi secara lokal telah sesuai dengan sumberdaya pertanian dan iklim setempat, sehingga ketersediaannya dapat diupayakan secara berkesinambungan. Dengan kemampuan lokal tersebut maka ketahanan pangan masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh masalah atau gejolak pasokan pangan yang terjadi di luar wilayah atau luar negeri.
Pembangunan manusia Indonesia seharusnya menghasilkan individu-individu yang produktif, terjadinya pemerataan dan melalui proses pendidikan yang berkelanjutan. Pemberdayaan diri perlu secara terus-menerus dilakukan sampai seseorang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai hal, mulai dari timbulnya ide, merencanakan, melaksanakan, mengontrol/memonitor dan mengevaluasi hasil yang didapat. Pemberdayaan diri yang ditopang oleh pola konsumsi seimbang dan berkesinambungan, serta pemahaman budi pekerti dan agama yang baik akan menghasilkan kesehatan lahir dan batin yang cukup untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia berawal dari Keluarga.
Pembangunan telah menyebabkan gejala modernisasi dan urbanisasi serta berbagai perubahan persepsi, terutama pada struktur ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan, khususnya petani. Terjadinya perubahan dalam sistem nilai sosial, norma dan tata laku. Peranan keluarga dalam membangun semangat kebangsaan, termasuk membangun ketahanan pangan bangsa ini harus ditingkatkan. Apalagi ketahanan pangan yang kuat merefleksikan ketahanan wilayah dan ketahanan nasional yang kukuh. Namun peran kunci keluarga sebagai produsen dan penyedia pangan dan peran yang sangat menentukan dalam memperkukuh ketahanan dan kemandirian pangan belum mendapat perhatian proporsional. Bila berbicara ranah domestik keluarga, maka yang biasanya segera terlintas adalah seputar dapur, sumur dan kasur. Sangat sedikit yang memasukkan kebun atau pekarangan sebagai bagian penting 'kekuasaan' keluarga. Padahal, melalui kebun itulah (selain juga melalui 'dapur') keluarga dapat berperan penting bagi ketahanan pangan suatu daerah. Dari keluargalah dapat diambil kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Keluargalah yang berkontribusi besar dalam proses pembangunan dan memainkan peran penting dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangganya sendiri, yang nantinya berkontribusi bagi daerah maupun nasional. Sebab didalam keluargalah terutama perempuan berperan dalam produksi, pengolahan, dan distribusi pangan di tingkat rumah tangga. Anggota keluargalah yang menentukan jenis makanan yang terhidang di meja makan.
Untuk memberdayakan diri guna mencapai keunggulan bersaing (kompetitif), setiap keluarga semestinya memenuhi enam syarat pembentuk kepribadian. Pertama, memiliki motivasi berprestasi tinggi. Kedua, berjiwa dan semangat wiraswasta yang unggul. Ketiga, berjiwa mandiri. Keempat, tanggap menghadapi dinamika perubahan. Kelima, tanggap menghadapi berbagai permasalahan. Keenam, tangguh memperjuangkan ketercapaian tujuan untuk keberhasilan usaha.
Ada tiga langkah strategis bagi Keluarga untuk memantapkan ketahanan pangan rumah tangga dewasa ini. Pertama, merevitalisasi program diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras. Kedua, meningkatkan daya beli masyarakat agar mampu mengonsumsi makanan yang secara jumlah dan mutu mencukupi kebutuhan gizi minimum. Ketiga, meningkatkan mutu pendidikan gizi dan kesehatan masyarakat.
Setiap keluarga harus memulai “Pendidikan” di dalam keluarganya akan pentingnya mengonsumsi pangan yang beragam. Harus diakui bahwa selama ini kita kurang terbiasa untuk memakan beragam bahan pangan. Terutama yang berkaitan dengan makanan pokok. Sebagian besar masyarakat kita terpaku pada beras sebagai bahan makanan pokok. Padahal, kian hari ketergantungan negara kita terhadap beras impor (akibat terbatasnya produksi beras nasional) semakin besar. Keluarga yang sadar gizi dapat mengatur menu keseharian dan dapat mensosialisasikan kepada keluarga yang lain dilingkungannya tentang pentingnya makanan bergizi dan seimbang. Memang dengan menurunnya konsumsi beras (yang identik dengan pemenuhan rasa 'kenyang') dapat diartikan telah terjadi pergeseran paradigma dari makan hanya untuk kenyang menjadi makan untuk sehat, antara lain dengan menambah porsi asupan sayur-mayur, buah serta protein. Keluarga sadar gizi akan mengolah makanan yang baik dan menjamin kecukupan gizi bayi dan balita mereka.
Rumah, sebagai tempat bernaung dan berkumpul anggota keluarga, dapat diberdayakan sebagai lahan penyediaan bahan pangan. Sangat banyak jenis sayuran yang mudah perawatannya. Misalnya saja, tomat, cabai, kacang panjang, kacang merah, labu siam, talas, ubi, sawi, singkong, dan lain-lain. Demikian juga dengan buah-buahan, ada pepaya, pisang, rambutan, mangga, nangka, alpokat, dan sebagainya. Bahkan, asalkan ada kemauan, bisa dikatakan bahwa hampir semua jenis sayur dan buah bisa kita tanam sendiri. Belum lagi, dengan tanaman bumbu dapur, seperti lengkuas, kunyit, kencur, jahe, dan sebagainya. Dapat juga dengan menambahkan dengan menanam berbagai jenis tanaman obat seperti lidah buaya, kumis kucing, sambiloto, dan sebgainya. Kalaupun lahannya terbatas, banyak teknik berkebun yang bisa diterapkan untuk mengatasinya, mulai dari sistem tumpang sari, berundak, bersusun, bonsai hingga hidroponik. Di sekitar rumah, juga dapat beternak unggas, misalnya. Selain bisa memperoleh daging dan telurnya, juga dapat memperoleh pupuk alami yang sangat baik bagi kesuburan tanaman. Sementara potongan-potongan sayur, kulit buah yang tidak bisa dikonsumsi bisa dipakai sebagai tambahan pakan ternak. Terjadi sinergi saling menguntungkan. Selain itu di pekarangan rumah juga bisa memelihara ikan. Seandainya saja hal di atas bisa dilaksanakan tentu akan sangat membantu terpenuhi kebutuhan protein keluarga. Apalagi, unggas, telur dan ikan merupakan makanan favorit keluarga.
Bercermin pada peran keluarga tersebut, maka setiap keluarga mempunyai hak untuk memperoleh kecukupan pangan yang merupakan kebutuhan dasar. Kekurangan pangan, busung lapar, dan kurang gizi merupakan persoalan kemiskinan yang semestinya tidak terjadi lagi. Keluargalah yang harus sepenuhnya berperan dalam pengambilan keputusan, dan mendorong untuk terlibat dalam berbagai aspek kehidupan terutama dalam hal mencapai ketahanan pangan keluarganya, daerahnya bahkan untuk negaranya. Betapa besar peran yang dapat 'dimainkan' keluarga dalam upaya membangun ketahanan pangan. Namun demikian, besarnya potensi kelarga tersebut akan tereduksi apabila tidak ada dukungan dari pihak lain, baik dari pemerintah, media, bahkan dari lingkungan terdekat, seperti tetangga dan anggota keluarga itu sendiri. Jadi, berdayakanlah keluarga, agar bisa berperan optimal dalam membangun ketahanan pangan. Pemberdayaan keluarga adalah ujung tombak ketahanan pangan yang optimal. Semoga Bermanfaat dan Selamat Hari Keluarga…..
Di terbitkan di “Harian Pelita” Edisi Selasa 28 Juni 2011, No. 12.020, Tahun XXXVII, halaman 4
9.30.2011
PENANGANAN PANEN DAN PASCA PANEN PEPAYA
Oleh: Ahmad Satori, S.P.
(Tulisan ini didedikasikan untuk Mengenang Jasa Almarhumah Prof.DR. Sriani Sujiprihati, Ahli Pepaya IPB, Dosen Pembimbing Skripsi penulis)
Pepaya harus dipanen pada saat yang tepat sesuai tingkat kematangan sehingga buah yang dipanen akan matang secara normal dan menghasilkan buah dengan aroma dan rasa yang bagus. Beberapa tanda yang bisa digunakan untuk menentukan kematangan buah yaitu: perubahan warna kulit, lama waktu dari saat bunga mekar, perubahan tekstur daging buah, perubahan bobot buah, dan perubahan komposisi kimianya. Perubahan warna kulit biasanya digunakan oleh petani dan pedagang. Tingkat kematangan ditentukan oleh derajat warna kuning yang terlihat dan pemanenan dilakukan tergantung tujuan pasar. Buah-buah yang akan dikirim ke pasar yang jauh biasanya dipanen pada saat warna kulit buah baru sedikit menggurat kuning. Pada tingkat warna ini, buah dapat bertahan lebh lama (tidak cepat busuk).
Untuk tujuan pasar lokal, buah dipanen pada tingkat kematangan yang lebih tinggi yaitu ketika tiga perempat kulit buah sudah berwarna kuning dan warna tangkai buah juga mulai berubah menjadi kuning. Buah-buah seperti ini harus dipasarkan cepat karena buah tidak akan bertahan lama dengan jarak hidup yang sangat pendek hanya sekitar 3-4 hari.
Sebuah metode yang sistematik dalam menggambarkan/menjelaskan tanda-tanda warna untuk pepaya dijelaskan oleh Lam, P.F (1987) dalam tulisannya yang berjudul : “Ciri-ciri Fizikal, Fisiologi dan Biokimia Buah Betik”. Index warna buah diberikan nilai menurut tingkat kematangan buah seperti terlihat pada gambar 1. Buah untuk pasar yang jauh harus dipanen pada index warna 2 & 3. Buah yang berada pada index warna 1 tidak dapat dikonsumsi langsung karena buah masih sangat hijau dan bila dipetik buah tidak akan matang secara normal. Buah yang dipanen pada index warna 4 & 5 hanya sesuai untuk pasar lokal.
Gambar 1. Index warna pepaya
Index warna Warna kulit
1 Hijau penuh
2 Hijau dengan gurat kuning
3 Lebih banyak hijau daripada kuning
4 Lebih banyak kuning daripada hijau
5 Kuning dengan gurat hijau
6 Kuning penuh
Pemanenan
Pemanenan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari luka dan memar pada kulit buah. Buah yang luka akan mudah terinfeksi oleh bakteri dan jamur. Pemanenan dapat dilakukan pada pagi hari untuk mencegah kehilangan kelembaban, namun pemanenan lebih baik dilakukan pada siang hari untuk mengurangi kadar getahnya.
Buah pepaya biasanya dipanen dengan tangan (lebih baik lagi bila menggunakan sarung tangan) terutama ketika tanaman pepaya masih kecil dan mudah dijangkau. Ketika tanaman pepaya sudah lebih tinggi dan sulit dijangkau dengan tangan, pemetikan buah bisa dibantu dengan menggunakan tangga atau juga dapat digunakan galaj kayu atau bambu yang diujungnya dilengkapi dengan pisau atau alat pemotong lainnya serta dilengkapi dengan keranjang atau jarring untuk menangkap buah agar buah tidak jatuh ke tanah.
Buah yang telah dipanen dikumpulkan dan ditempatkan di dalam keranjang bambu atau plastik yang dialasi dengan Koran atau daun pisang sebelum dibawa ke tempat pengepakan. Untuk mencegah memar, masing-masing buah dibungkus dengan Koran sebelum diletakkan di dalam keranjang.
Sortasi dan Perlakuan
Sortasi (pemilahan) buah di lapangan dilakukan untuk memisahkan buah yang tidak sesuai untuk dipasarkan. Kegiatan tersebut antara lain memisahkan buah yang bentuknya tidak baik, buah yang terlalu muda, terlalu matang, buah yang luka, rusak, buah yang diluar kriteria yang ditentukan atau buah yang tidak sesuai dengan standar kualitas minimal yang diminta oleh pasar. Sortasi ditingkat lapangan ini membantu mengurangi beban transportasi dan meringankan pengolahan di tempat pengepakan. Selanjutnya sortasi buah dilakukan pada saat pencucian buah.
Pencucian diperlukan untuk menghilngkan kotoran, benda asing, dan terutama menghilangkan getah pada kulit buah. Pencucian dilakukan secara manual dengan cara merendam buah ke dalam air bersih dan digosok dengan kain atau dengan sepon yang halus. Selama pencucian, buah yang rusak, terkena penyakit, atau luka dipisahkan untuk mencegah penularan kepada uah yang lain. Tangkai buah dipotong dan disisakan sekira 1 cm untuk mencegah luka. Buah juga dapat dicuci dalam air yang telah dicampur dengan desinfektan seperti SOPP 500 mg/kg (ppm) selama 30 detk, klorin (sodium hypochlorite 0.1%) dan alum 10% sebagai penghilang getah.
Setelah pencucuian, buah pepaya yang terpilih untuk diekspor atau disimpan lama diberi perlakuan dengan air panas atau fungisida. Sedangkan buah yang akan dikonsumsi segar atau untuk pasar lokal tidak perlu diberikan perlakuan tersebut. Perlakuannya yaitu meliputi perendaman buah ke dalam air panas (suhu sekitar 49-50 oC) selama 10 menit, diikuti dengan pendinginan dengan menggunakan air mengalir (air kran) selama 20 menit.
Pencegahan penyakit akan lebih efektif dengan merendam buah ke dalam fungisida (250 mg/kg (ppm) propiconazole) selama 5 menit atau 200 mg/kg (ppm) prochloraz selama 2-3 menit atau 1,1 ml/L thiobendazole selama 5 menit. Perlakuan dengan bahan kimia tersebut membantu pencegahan terhadap penyakit seperti antraknosa dan busuk pangkal buah terutama selama dalam masa penyimpanan.
Pemilahan Buah
Buah pepaya dipilih berdasarkan index warna kulit, bobot, ukuran dan bentuknya. Buah-buah tersebut harus seragam dalam hal warna dan bentknya.
Pengepakan
Untuk pasar ekspor, pepaya dibungkus busa polyurethane putih (lihat gambar 2) untuk menjaga buah dari memar karena benturan selama dalam perjalanan. Setelah masig-masing buah dibungkus, kemudian dimasukkan ke dalam kemasan dus karton dan disusun sedemikian rupa dengan pangkal buah berada di bawah.
Gambar 2. Pengepakan Pepaya untuk pasar eksport
Untuk pasar lokal, buah biasanya tidak dibungkus. Buah hanya dikemas di dalam keranjang bambu atau plastik yang dialasi dengan koran. Setiap keranjang dapat menampung buah sampai dengan berat 30 Kg. Di Filipina, buah untuk pasar lokal pun dibungkus setiap buahnya dengan kertas Koran (dibungkus setengah bagian buah dari mulai ujung pangkal buah sampai tengahnya), lalu dikemas di dalam kerat kayu berukuran 60X45X35 Cm yang dilapisi 3 lembar kertas Koran. Masing-masing kerat kayu tersebut berisi 20-22 Kg atau sekira 35-40 buah pepaya di dalamnya.
Gambar 3. Pengepakan pepaya untuk pasar lokal di Filipina
Pengangkutan
Alat pengangkutan untuk pasar lokal biasanya tidak dilengkapi dengan alat pendingin. Biasanya kotak pengangkut hanya dilapisi terpal untuk mencegah agar buah tidak terkena sinar matahari langsung. Buah yang diangkut dengan menggunakan pesawat ditempatkan pada kargo yang tidak berpendingin. Untuk buah yang diangkut menggunakan kapal laut harus menggunakan pendingin dengan suhu diatur pada 10-12 oC.
Tulisan ini didedikasikan untuk mengenang jasa Almarhumah Prof. DR. Sriani Sujiprihati, M.Si. Beliau adalah dosen pembimbing skripsi penulis sewaktu penulis menyelesaikan S1 pada Program Studi Pemuliaan Tanaman Institut Pertanian Bogor.
(Dipublikasikan di Tabloid: Sinar Tani Edisi 28 September - 4 Oktober 2011 No. 3424 Tahun XLII, Halaman 14)
9.09.2011
Selamat Jalan Dosenku..... (Prof. Sriani Sujiprihati)
Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiuun....
Telah Berpulang ke Rahmatullah dengan tenang, Dosenku tercinta Ibu Sriani Sujiprihati Pada hari Selasa, 6 September 2011.
Semoga Amal Ibadahnya diterima disisi Allah, dan beliau diberikan tempat yang terindah dan terbaik di akhirat sana, Amiin......
Sungguh banyak jasa beliau membimbing saya saat saya kuliah. Beliau tidak pernah lelah dan bosan membimbing dan memberikan petuahnya kepada saya.
Beliau adalah ibu yang sangat perhatian, sabar, dan selalu penuh dengan senyuman....
Ibu....Jasamu Tiada Tara....
Ya Allah.......
Ampunilah dosanya,
Sayangilah Ia,
Maafkanlah kesalah-kesalahannya,
Muliakanlah Ia,
Luaskanlah kuburnya,
Jauhkanlah Ia dari fitnah Kubur dan Azab neraka....
Amiin........
6.04.2011
Sang Juara Teknologi Tepat Guna 2011
Gelar Teknologi Tepat Guna VII Tingkat Provinsi Banten Tahun 2011 yang diadakan di Lapangan Mardi Gras, Citra Raya, Tangerang mulai tanggal 23 Mei sampai 26 Mei 2011 akhirnya dimenangkan oleh Kaupaten Tangerang sebagai Juara I sekaligus membawa pulang Piala Bergilir TTG dari Gubernur Banten. Juara ke-2 dimenangkan oleh Kabupaten Serang. Sedangkan Kota Tangerang Selatan berhasil menyabet Juara ke-3.
Gubernur Banten tengah berbincang-bincang dengan Penemu Mesin Pemeras Santan Kelapa merk SOS yang membuat Kabupaten Tangerang Berhasil merebut juara di acara Gelar Teknologi Tepat Guna VII tingkat Propinsi Banten Tahun 2011
5.25.2011
GELAR TEKNOLOGI TEPAT GUNA KE-7 TINGKAT PROPINSI BANTEN TAHUN 2011
Mulai Tanggal 23-26 Mei 2011, diadakan Gelar Teknologi Tepat Guna ke-7 Tingkat Propinsi Banten Tahun 2011 yang bertempat di Lapangan Mardi Gras, Citra Raya, Tangerang.
Teknologi Tepat Guna atau yang biasa disingkat dengan TTG adalah teknologi yang dirancang bagi masyarakat yang dapat disesuaikan dengan kondisi lingkungan , keetisan, kebudayaan, sosial politik, dan ekonomi masyarakat.
Tujuan dikehendaki dari TTG haruslah menerapkan metode hemat sumberdaya, mudah dirawat, dan berdampak polutif minimal.
Gelar Teknologi Tepat Guna adalah suatu kegiatan acara terpadu dalam ranka penyebarluasan informasi berbagai jenis Teknologi Tepat Guna (TTG) dalam mengelola SDA yang dapat memberikan nilai tambah, sekaligus sebagai forum untuk menggali gagasan pemikiran dalam penyusunan kebijakan masyarakat dan pemanfaatan TTG pada masa mendatang.
Tema Gelar TTG Tahun 2011 adalah: "Dengan Gelar Teknologi Tepat Guna VII Propinsi Banten Kita Tingkatkan Kreatifitas dan Produktifitas Dalam Mengembangkan Potensi lokal Melalui Posyantek Untuk Membangun Ekonomi Masyarakat Yang Kuat"
Dasar Hukum penyelenggaraan Gelar TTG adalah:
1. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2. Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2005 Tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan Pengembangan oleh perguruan tinggi dan lembaga pendidikan dan pengembangan;
3. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 2001 tentang Penerapan dan Pengembangan TTG;
4. Permendagri No. 20 Tahun 2010 tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui TTG;
5. Permendagri No. 4 Tahun 2001 tentang penerapan TTG;
6. Kepmendagri No. 151 tahun 2004 tentang penyelenggaraan TTG;
7. Surat Keputusan Gubernur Banten 510.13/kep.510-Huk/2010, tanggal 25 Agustus 2010 tentang penunjukan kabupaten Tangerang sebagai tuan rumah gelar TTG ke-7 Tingkat Propinsi Banten Tahun 2011.
Semoga Tulisan sederhana ini bisa bermanfaat bagi yang memerlukan.
Namun sayang, dalam penyelenggaraannya terlihat kurang semarak karena mungkin tidak melibatkan pedagang dan pasar rakyat dan hiburan yang disediakan hanya sampai jam 18.00. Padahal terlihat pengunjung mulai banyak berdatangan sekira pukul 17 (5 sore) sampai malam. Namun karena tidak ada hiburan dan pasar rakyat serta stand yang ada pun sudah tutup sejak sore hari membuat masyarakat yang datang banyak yang mengeluh, mereka hanya berkeliling sebentar, lalu pulang, SAYANG BANGET KAN...??? Potensi itu disia-siakan...............
12.30.2010
Hymne IPB
Ada banyak kenangan di IPB. Kampus yang hijau namun akan menjadi putih pada sekitar bulan agustus september, indah sekali....ah.........
Menjadi alumni IPB adalah kebanggaan tersendiri, namun jadi malu sendiri kalo inget waktu wisuda ga hapal hymne IPB... cuman mangap-mangap ngikutin yang laen, He...he...he... Ayo ngaku, masih banyak yang ga hapal hymne IPB kan...!!!???
Supaya ga malu, dengerin ni hymne IPB.mp3, hapalin ya...
Klik Disini untuk mendownload hymne IPB.mp3
9.23.2010
Mengajak Masyarakat Melirik Pangan Nonberas
Kebergantungan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap beras masih terbilang tinggi. Agar upaya diversifikasi pangan berjalan lancar harus sembari mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi masyarakat.
Setiap manusia tentunya membutuhkan gizi seimbang demi kesehatan dan perkembangan tubuhnya. Kecukupan gizi itu bisa terpenuhi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Namun, persoalannya, tidak ada satu pun jenis makanan yang mengandung unsur-unsur gizi lengkap seperti yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.
Untuk menyiasati kekurangan itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan ialah diversifikasi pangan. Memang, diversifikasi pangan bukanlah isu baru, bahkan selalu mengemuka dalam peringatan Hari Gizi Nasional dan Makanan yang jatuh tiap 25 Januari.
Upaya diversifikasi atau penganekaragaman pangan pun kerap didengung-dengungkan untuk dipercepat, apalagi ketika beras sebagai pangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia harganya beranjak naik. Kenaikan itu terjadi pula pada beberapa pekan belakangan ini.
Harga beras rata-rata melonjak 1.000 rupiah per kilogram. Untuk beras jenis IR 64 yang berkualitas rendah, misalnya, harganya naik dari 5.300 rupiah menjadi 6.200 rupiah per kilogram.
Diversifikasi pangan, dijelaskan Hermanto, Sekretaris Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, merupakan upaya pemilihan pangan oleh seseorang dan tidak bergantung pada satu jenis saja, melainkan banyak pilihan bahan pangan.
Adapun pangan pokok utama didefinisikan sebagai pangan yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk secara rutin sehari-hari dalam jumlah besar sebagai sumber energi.
Secara historis, pangan pokok lokal penduduk Indonesia sebenarnya sudah beragam. Lihat saja, penduduk di Provinsi Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Papua terbiasa mengonsumsi sagu, sementara masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Madura kerap mengonsumsi jagung.
Masyarakat di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung pun sudah familiar mengonsumsi ubi kayu sebagai pangan pengganti beras.
Namun, seiring perjalanan waktu dan perkembangan zaman, proses introduksi beras dengan berbagai macam keunggulan dan kemudahannya untuk dimasak menggeser pola konsumsi seluruh penduduk Indonesia. Bahkan hingga saat ini, tingkat kebergantungan masyarakat Indonesia pada beras sebagai bahan pangan pokok masih tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sampai saat ini, tingkat konsumsi beras di Indonesia mencapai 104 kilogram per kapita per tahun (kg/kap/tahun).
Angka itu dianggap masih tinggi. Karena itu, pemerintah mendorong percepatan penganekaragaman konsumsi pangan penduduk.
Strategi yang dilakukan untuk tujuan tersebut ialah menginternalisasi penganekaragaman konsumsi pangan dan mengembangkan bisnis serta industri pangan lokal.
Menurut Hermanto, strategi tersebut dibagi dalam dua periode. Periode pertama berlangsung dari tahun 2009 sampai 2011 dan periode kedua dari tahun 2012 sampai 2015.
Pada periode pertama, strategi yang ditempuh masih difokuskan pada internalisasi penganekaragaman konsumsi pangan dengan gizi seimbang dan aman.
Untuk menerapakan strategi itu, pemerintah telah melakukan berbagai macam gerakan berupa kampanye, sosialisasi, advokasi, dan promosi percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, khususnya di daerah-daerah marginal.
Tidak hanya itu, BKP juga menggandeng Kementerian Pen didikan Nasional untuk memasukkan materi makanan pokok lokal ke kurikulum pendidikan di tingkat sekolah dasar (SD).
BKP juga berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menerjunkan tenaga penyuluh memberi pembinaan kepada para ibu rumah tangga maupun industri skala kecil untuk membuat produk dari sumber daya pangan lokal.
Menteri Pertanian juga pernah mengimbau seluruh pemerintah daerah untuk menyediakan makanan nonberas sebagai makanan yang dikonsumsi ketika rapat.
Imbauan untuk menyediakan menu makanan nonberas ditujukan pula pada maskapai penerbangan Garuda dan beberapa hotel.
“Tak lupa pemerintah juga mengembangkan ketersediaan bahan baku dan pasar domestik aneka ragam pangan, baik segar maupun olah an,” ujar Hermanto.
Berbagai upaya pengalihan perhatian penduduk dari beras itu diharapkan dapat menurunkan tingkat konsumsi beras hingga mencapai 99,3 kg/kap/tahun pada 2011 dan 91 kg/kap/tahun pada 2015.
Lantas, apakah strategi percepatan penganekaragaman pangan itu akan berhasil? Harry Susianto, pengamat perilaku konsumen dari Universitas Indonesia, pesimistis akan hal itu.
Menurutnya, pola konsumsi seseorang merupakan proses belajar yang juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi.
Sebagai contoh, berbagai menu makan siap saji (fast food) asal Amerika Serikat, seperti makanan yang tersedia di McDonald, membutuhkan waktu 15 tahun untuk bisa diterima oleh masyarakat Belanda.
Ada dua alasan yang melatari masyarakat Negeri Kincir Angin itu tidak bisa menerima makanan siap saji dalam waktu singkat.
Pertama, mereka kerap berpikir ulang mengeluarkan uang untuk mengubah pola konsumsi yang selama ini telah mereka jalani.
Alasan lainnya, masyarakat Belanda memiliki kesadaran tinggi bahwa makanan siap saji kurang sehat untuk dikonsumsi sehari-hari. Kelas Dua Kondisi yang berbeda terjadi di Indonesia.
Masyarakat Indonesia justru sangat welcome dengan makananmakanan siap saji. “Hal itu bisa terjadi lantaran kebanyakan masyarakat di negeri ini hanya memburu gengsi.
Dari kondisi itu, bisa dikatakan bahwa faktor sosial ekonomi masyarakat di suatu negara turut memengaruhi pola konsumsi masyarakatnya,” ujar Harry yang juga mengamati behavioral economics itu. Dengan demikian, lanjutnya, upaya Pemerintah Indonesia mendorong masyarakat untuk tidak bergantung pada beras masih terlalu berat.
Sebab, sampai sekarang, sebagian besar masyarakat masih berasumsi bahwa makanan nonberas seperti umbi-umbian merupakan makanan kelas dua yang biasa dikonsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Bisa dikatakan pola konsumsi sebagian besar masyarakat masih berorientasi pada pencitraan diri. Semakin tinggi tingkat sosial seseorang, makanan yang dipilih pun cenderung berupa exotic food (makanan asing).
Mereka beranggapan makanan itu bisa menaikkan gengsi. Untuk itu, lanjut Harry, salah satu cara mengubah pola konsumsi makanan pokok masyarakat ialah melalui pendekatan pencitraan yang baik terhadap makanan nonberas.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan sebagai bentuk konkret sosialisasi pengalihan konsumsi bahan pangan, termasuk sumber karbohidrat nonberas.
Salah satunya Presiden memberi contoh mengonsumsi singkong, kentang, atau jagung setiap Senin dan Kamis. “Dengan demikian, masyarakat tidak akan merasa malu untuk turut mengonsumsi makanan- makanan itu karena Presiden juga mengonsumsinya,” papar Harry.
Menanggapi upaya sosialisasi yang dilakukan pemerintah, Mulyono Machmur, Kepala Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan BKP, menyatakan sebenarnya pemerintah pusat sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang mengajak masyarakat mengurangi konsumsi beras setidaknya satu hari dalam satu bulan atau satu pekan.
Kebijakan itu telah diterapkan di beberapa daerah, antara lain di Kabupaten Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara, melalui gerakan one day no rice.
Meski demikian, Mulyono mengakui bahwa dalam pelaksanaannya, gerakan itu tidak berjalan lancar akibat adanya pemberitaan miring di media masa.
Sebagai contoh, ketika masyarakat Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, pada bulan tertentu mengonsumsi tiwul sebagai makanan pokok, media massa justru memberitakan di daerah itu terjadi krisis pangan.
Padahal, kata Mulyono, pola konsumsi itu berkaitan erat dengan kearifan lokal yang masih dianut sebagian masyarakat setempat. “Ini yang menjadi tantangan pemerintah saat ini,” tandasnya.
sumber: Koran Jakarta