Indonesia merupakan salah satu negara penghasil buah tropis yang memiliki keanekaragaman dan keunggulan cita rasa yang cukup baik bila dibandingkan dengan buah-buahan dari negara-negara penghasil buah tropis lainnya.
Produksi buah tropika nusantara terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 2007 produksi buah Indonesia sebesar 17.116.622 ton atau naik sekitar 4,18 % bila dibandingkan dengan produksi tahun 2008 sebesar 17.831.252 ton.
Peluang pasar hortikultura internasional yang terbuka luas sampai saat ini masih belum dimanfaatkan secara baik oleh pelaku hortikultura nasional. Berbagai upaya peningkatan produksi dan mutu yang dilaksanakan seperti penerapan GAP/SOP, penataan rantai pasokan, pengembangan kelembagaan usaha dan peningkatan investasi di bidang hortikultura pada akhirnya diharapkan juga untuk dapat mengisi peluang pasar di tingkat internasional.
Perdagangan buah tropika di tingkat dunia terus mengalami peningkatan berdasarkan data FAO mengenai perdagangan (Morey, 2007). Pada tahun 2004, jenis buah tropika utama yang diimpor pada tingkat dunia adalah pisang (12,4 juta ton), nenas (1,6 juta ton), mangga (732 ribu ton) dan pepaya (208 ribu ton). Negara terbesar yang mengimpor buah tropika dalam bentuk segar adalah Amerika Serikat diikuti oleh negara-negara Eropa.
Volume ekspor total untuk mangga, manggis dan jambu biji dipasar dunia mencapai 1.178.810 ton dalam tahun 2005. Indonesia berkontribusi sebesar 1.760 ton atau 0,15 persen dari ekspor total dunia. Impor total dunia untuk ketiga komoditas tersebut mencapai 857.530 ton dan untuk Indonesia hanya sebesar 540 ton atau sekitar 0,06 persen (FAO, 2007). Dalam tahun 2006, ekspor total dari komoditas tersebut menjadi 901.520 ton senilai US $ 684,6 juta (NAFED, 2007).
Indonesia memiliki beragam jenis buah-buahan bermutu yang berpotensi untuk mendatangkan devisa bagi negara. Untuk total ekspor buah Indonesia pada tahun 2006 sebesar 26.236 ton atau senilai US $ 144.492.469, angka tersebut mengalami penurunan sebesar 39,92 % bila dibandingkan dengan volume ekspor pada tahun 2007 sebesar 15.761 ton atau senilai US $ 93.652.526. Sedangkan untuk tahun 2008 volume ekspor buah meningkat sebesar 105,50% dibanding tahun sebelumnya yaitu 32.389 ton dengan nilai US $ 234.867.444.
Selengkapnya : http://www.hortikultura.deptan.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=240&Itemid=1
7.23.2009
Upaya Pengembangan Kawasan Buah Unggulan Tropika untuk Ekspor
Breeder Penerima Anugerah HKI Luar Biasa DIKTI 2009
Berita Acara Pengumuman Calon Penerima
Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa
NOMOR : 747/D3/LL/2009
Yang bertanda tangan di bawah ini, penanggung jawab kegiatan Anugerah
Kekayaan Intelektual Luar Biasa:
Menimbang :
a. bahwa telah masuk proposal sejumlah 61 (enam puluh satu) untuk Bidang
Teknologi yang dilindungi Paten, 23 (dua puluh tiga) untuk Bidang Varietas
Tanaman yang dilindungi Hak PVT, dan 17 (tujuh belas) untuk Bidang Industri
Kreatif;
b. bahwa telah dilakukan penilaian terhadap proposal tersebut pada butir a oleh
Tim Penilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
Mengingat :
a. berita acara penilaian yang disampaikan oleh Tim Penilai untuk Bidang
Teknologi yang dilindungi Paten, Bidang Varietas Tanaman yang dilindungi
Hak PVT, dan Bidang Industri Kreatif;
b. hasil risalah rapat Tim Pengarah dengan Tim Penilai pada tanggal 16 Juni
2009 pukul 19.00 WIB bertempat di Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.
Memutuskan :
Menetapkan sebagai CALON PENERIMA ANUGERAH KEKAYAAN
INTELEKTUAL LUAR BIASA 2009 sebagai berikut :
Bidang Varietas Tanaman yang dilindungi Hak PVT
No. Nama Sub Bidang Hasil Karya
1 Dr. Aan A. Daradjat Tanaman
Padi
Varietas unggul tanaman padi
2 Dr. Ir. Budi Marwoto Tanaman
Hias
Varietas unggul tanaman Krisan, Lili,
dan Anyelir
3 Dr. Ir. H. Sudjindro, MS Tanaman
Perkebunan
Varietas unggul tanaman Kenaf
4 Dr. Ir. Srijani Sujiprihati, MS Tanaman
Sayuran
Varietas unggul tanaman Cabe dan
Pepaya
5 Ir. Nurul Hidayati Tanaman
Sayuran
Varietas unggul tanaman Tomat, dan
Terong
6 Prof.Ir.H. Achmad Baihaki,MSc.Ph.D. Tanaman
Serealia
Varietas unggul tanaman Kedelai
dan Jagung
7 Dr. Abdul Razak Purba Tanaman
Perkebunan
Varietas unggul tanaman Kelapa
Sawit
8 Dr. Ir. Darman Moudar Arsyad,MS Tanaman
Serealia
Varietas unggul tanaman Kedelai
9 Ir. Asep Harpenas Tanaman
Sayuran
Varietas unggul tanaman Cabe, Paria
dan Kacang Panjang
Jika tidak ada keberatan dari semua pihak, Calon Penerima akan ditetapkan sebagai
Penerima Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa pada tanggal 1 Juli 2009
Jakarta, 17 Juni 2009
Penanggung Jawab Kegiatan
ttd
Suryo Hapsoro Tri Utomo
NIP. 131471476
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
Gedung DIKTI Jl. Jenderal Sudirman Pintu Satu, Senayan, Jakarta 10270
Tlp. 021 -57946043 (Hunting); Faks. 021-5731846 website: http://dp2m-dikti.net/ email: sip@dp2m-dikti.net
7.13.2009
LOMBA FILM DOKUMENTER “CINTA BUAH INDONESIA”
LATAR BELAKANG
Berdasarkan rekomendasi FAO (Food and Agriculture Organization), untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, konsumsi buah-buahan yang dianjurkan adalah 60 kg/kapita/tahun. Menurut data SUSENAS pada tahun 2005 konsumsi buah-buahan di Indonesia masih kurang dari 32 kg/kapita/tahun. Berdasarkan fakta tersebut, di tahun-tahun mendatang permintaan buah-buahan Indonesia masih terus meningkat, seriring perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Beberapa jenis buah konsumsinya meningkat dari tahun ke tahun antara lain jeruk, semangka, duku, dan durian. Di sisi lain ada pula beberapa jenis buah yang tingkat konsumsinya cenderung menurun seperti pisang, pepaya, dan nanas. Buah-buahan yang konsumsinya cenderung meningkat ini adalah buah yang tinggi volume impornya seperti jeruk dan durian. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa telah terjadi pergeseran preferensi konsumen dari buah nasional ke buah impor. Beberapa alasan konsumen untuk mengkonsumsi buah impor yang utama adalah rasanya yang dianggap lebih memenuhi selera konsumen. Selain itu juga karena faktor harga yang bersaing dengan buah nasional, sementara penampilannya dianggap lebih baik.
Target pasar buah impor pada awalnya adalah golongan berpendapatan menengah ke atas melalui supermarket dan gerai khusus buah, namun faktanya sekarang sudah masuk ke gerai pasar tradisional. Para importir buah-buahan sub-tropik umumnya pemodal kuat, sehingga mereka mempunyai fasilitas gudang penyimpanan yang berpendingin. Kondisi ini juga telah meningkatkan dayasaing buah impor, karena importir dapat mengatur kapan, kemana dan bagaimana cara pemasaran yang paling tepat untuk memperoleh tingkat keuntungan yang optimal. Untuk itu diperlukan upaya secara gencar untuk mempengaruhi konsumen dalam mengalokasikan pendapatannya untuk mengkonsumsi buah lebih banyak ke arah buah nasional. Tentu saja berbagai strategi dan program untuk peningkatan daya saing buah nasional dari sisi suplai tetap perlu dilakukan.
Terdapat beberapa alternatif program promosi untuk mendorong konsumsi buah nasional. Sebagai contoh pemerintah dapat mencarikan kerjasama dengan perusahaan nasional yang loyal dan prihatin akan keterpurukan ekonomi bangsa, sehingga bersedia mengiklankan buah-buahan nasional. Biaya iklan relatif mahal apabila sepenuhnya harus dibayar swasta. Karena itu harus dibantu dari layanan masyarakat pada TV swasta dan TV pemerintah, radio, media cetak, dan billboard di tempat-tempat yang strategis.
Instrumen promosi yang tidak kalah pentingnya adalah yang berkaitan dengan pendidikan konsumen. Seringkali konsumen maish belum tahu jenis-jenis buah nasional yang mempunyai kandungan gizi yang lebih baik daripada buah impor. Sebagai contoh buah manggis mempunyai antioksidan yang tinggi yang di luar negeri digunakan sebagai bahan baku obat cancer. Pisang Raja Bulu yang sudah dilepas oleh Menteri Pertanian mempunyai kandungan beta karoten tinggi, rasanya manis namun glikemiks indeks-nya paling rendah dibandingkan pisang jenis lain. Tentunya masih banyak kelebihan buah nasional dibanding buah impor yang informasinya tidak diketahui oleh masyarakat. Penyebaran informasi Ini dapat dilakukan misalnya melalui pembuatan film pendek yang dikemas dalam CD. Sekaligus pula dapat disebarkan informasi yang dapat membangkitkan kesadaran kosumen akan industri buah nasional yang menyangkut hajat hidup petani, seperti dengan penyebaran tagline “Pastikan setiap rupiah yang Anda keluarkan menguntungkan petani Indonesia”.
SIGNIFIKANSI DAN TUJUAN KEGIATAN
Pengeluaran untuk konsumsi buah yang terus meningkat saat ini mengindikasikan bahwa sumber serat, vitamin dan mineral sudah tidak bertumpu pada sayuran saja. Data di negara maju menunjukan bahwa semakin tinggi pendapatan masyarakat semakin besar porsi dari pendapatan dialokasikan untuk konsumsi buah-buahan, sebagai upaya untuk mewujudkan hidup sehat. Buah dilihat bukan hanya sebagai sumber serat, vitamin dan mineral, akan tetapi kebutuhan karbohidrat dan kebutuhan gula sebagai sumber energi dan antioksidan mereka menyediakannya dari mengkonsumsi buah-buahan.
Upaya promosi melalui pembuatan film dokumenter ini terutama ditujukan untuk para ibu rumahtangga, remaja dan anak2 yang mempunyai akses untuk mengalokasikan anggaran belanjanya bagi kehidupan sehari-hari. Diharapkan mereka akan mengalokasikan anggarannya dengan bijaksana, karena telah diberikan informasi tentang cara hidup sehat dengan mengkonsumsi komoditi yang lebih besar manfaatnya bagi kesehatan tubuh, daripada mengkonsumsi sumber karbohidrat dan lemak secara berlebihan. Makanan siap saji yang semakin murah dan marak diadvertensikan dalam jangka panjang akan mengurangi proporsi sumberdaya yang sehat jasmani, apabila tidak diimbangi dengan informasi tentang altenatif hidup sehat dengan banyak mengkonsumsi buah. Pembuatan film ini akan sangat bermanfaat bagi halayak baik bagi konsumen buah serta bagi para pekebun. Kesadaran akan manfaat mengkonsumsi buah nasional, secara tidak langsung akan meningkatkan permintaan terhadap buah nasional yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani buah.
TEMA KEGIATAN
“Cinta Buah Indonesia”
KETENTUAN LOMBA
Kegiatan Lomba Lomba Pembuatan Film Dokumenter “Cinta Buah Indonesia” dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Peserta lomba adalah mahasiswa berbagai strata di perguruan tinggi dan siswa sekolah menengah.
2. Peserta harus memilih satu atau gabungan alternatif isu berikut:
· Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap buah nasional
· Meningkatkan citra buah nasional di gerai buah, pasar tradisional dan pasar modern
· Mendorong konsumsi rumahtangga terhadap buah nasional
· Teknologi produksi bagi peningkatan kualitas buah nasional
3. Buah harus mencakup minimal salah satu atau gabungan dari buah nenas, pepaya, pisang dan manggis.
4. Durasi film berkisar 15 sampai dengan 20 menit.
5. Film dalam format CD/DVD sudah diterima sekretariat paling lambat tanggal 31 Juli 2009 pukul 12.00 BBWI.
6. Tim juri terdiri atas tiga pihak: Direktorat Budidaya Buah Departemen Pertanian, Pusat Kajian Buah Tropika IPB dan Profesioanl di bidang perfilman.
7. Film dokumenter yang menjadi pemenang I sampai V akan digunakan sebagai bahan diseminasi/promosi non-komersial oleh Departemen Pertanian untuk mendorong industri buah nasional.
8. Peserta tidak dikenakan biaya pendaftaran.
9. Pemenang I sampai V akan memperoleh hadian dan penghargaan sebagai berikut:
· Pemenang I : Uang tunai Rp 5.000.000 + Piala Menteri Pertanian
· Pemenang II : Uang tunai Rp 3.000.000 + Piala Rektor IPB
· Pemenang III : Uang tunai Rp 2.000.000 + Sertifikat
· Pemenang IV : Uang tunai Rp 1.500.000 + Sertifikat
· Pemenang V : Uang tunai Rp 1.000.000 + Sertifikat
10. Pertanyaan dan informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sekretariat Lomba Pembuatan Film Dokumenter “Cinta Buah Indonesia”, dengan alamat Pusat Kajian Buah Tropika Institut Pertanian Bogor, Jl Raya Pajajaran Kampus IPB Baranangsiang Bogor 16144, Telp/Fax (0251) 8326881, email ipbfruit@indo.net.id, website http://pkbt.ipb.ac.id.
Ngaran-ngaran Usum
Pada bagian kedua “Belajar Bahasa Sunda Yu….” Kali ini membicarakan soal nama musim-musim yang biasa digunakan oleh orang sunda khususnya.
a. Nu patali jeung Kaayaan alam
1. Usum katiga = usum halodo
2. Usum mamareng = usum mimiti rek ngijih
1. usum dangdangrat = usum panyelang antara halodo jeung ngijih
2. Usum ngijih = usum hujan
3. Usum barat = Usum gede angin (nu jolna ti kulon)
4. Usum selatan = usum gede angin nu jolna ti kidul
b. Nu patali jeung kaayaan masyarakat
1. usum pagebug = usum loba nu gering/panyakit
2. usum sasalad = usum loba panyakit bari tepa
3. usum patepok = usum loba kawin
4. usum tigerat = usum kurang dahareun
5. usum paceklik = usum kakurangan pare/dahareun
c. Nu patali jeung kaayaan tatanen
1. Tatanen di sawah
i. Usum nyambut = usum mitembean ngagarap sawah
ii. Usum morekat = usum nyawah leutik
iii. Usum tandur = usum melakeun binih pare di sawah
iv. Usum ngarambet = mangsa patani miceunan jukut nu jaradi diantara tangkal pare
v. Usum celetu = mangsa pare geus mimiti cul cel aya buahan
vi. Usum beukah = mangsa pare geus loba buahna nu barijil
vii. Usum rampak = mangsa pare geus rata/papak beukah
viii. Usum panen = mangsa dibuat, ngala pare
ix. Usum jami = sabada panen
2. Tatanen di Huma
i. Usum nyacar = usum nyacar leuweung pikeun pihumaeun
ii. Usum ngahuru = meuleum kai jeung kakayon nu geus garing benang nyacar
iii. Usum ngaduruk = meresihan sarta ngaduruk kai nu can kabeleuman waktu ngahuru
iv. Usum ngaseuk = melak pare ku cara nyocog-nyocogeun kai meunang nyeukeutan tungtungna
v. Usum ngored/ngoyos = meresihan jukut nu jaradi diantara luwukan pare ku parabot kored
vi. Usum dibuat/ngetem = ngala pare make parabot etem
vii. Usum ngunjal = mawaan pare ti huma ka imah
Babasan jeung Paribasa
Belajar Bahasa Sunda yu…
Berikut ini ada beberapa peribahasa yang menggunakan bahasa sunda. Bagi para sastrawan sunda mohon sarannya.
1. Atah anjang = langka silih anjangan
2. Adigung adiguna = takabur, sombong
3. Ambek nyedek tanaga midek = napsu gede tapi tanaga euwueh
4. Anjing ngagogogan kalong = mikahayang nu lain-lain
5. Adat kakurung ku iga = lampah goreng hese leungitna
6. Alak paul = jauh pisan
7. Aki-aki tujuh mulud = geus kolot pisan
8. Ayem tengtrem = tenang teu aya kasieun
9. Asa teu beungeutan = awahing ku era
10. Anu borok dirorojok = nu titeuleum disimbeuhan = mupuas kanu keur cilaka
11. Amis = hade paroman
12. Aya jurig tumpak kuda = Aya milik nu teu disangka-sangka
13. Aya jalan komo meuntas = aya kahayang aya nu ngajak
14. Awewe dulang tinande = awewe nurutkeun kahayang salaki
15. Amis daging = babarian katerap panyakit
16. Abong letah teu tulangan = sagala dicaritakeun sanajan pikanyeurieun batur
17. Ari umur tunggang gunung, angen-angen pecat sawed = ari umur geus kolot, tapi ari kahayang sia budak ngora
18. Agul kupayung butut = agul ku turunan
19. Aya pikir kadua leutik = aya kahayang
20. Asa ditonjok congcot = ngarasa bungah pisan
21. Adean ku kuda beureum = ginding ku pakean meunang nginjeum
22. Birit aseupan = teu daek cicing
23. Biwir nyiru rombengeun = resep nyaritakeun ruisah atawa kasalahan batur
24. Bengkung ngariung bongkok ngaronyok = sauyunan, ngariung babarengan
25. Beurat birit = hese dititah
26. Bali gusan ngajadi = lemah cai kalahiran
27. Balungbang timur = nuduhkeun hate beresih
28. Bobo sapanon carang sapakan = aya kakurangan
29. Bilatung ninggang dage = bungah pisan
30. Batok bulu eusi madu = ninggang lain pitempateunana
31. Badak cihea = degig
32. Bonteng ngalawan kadu = nu hengker ngalawan nu bedas
33. Babalik pikir = insap
34. Balik pepeh = nu gering teu daek cicing
35. Balik ka temen = asal banyol jadi pasea
36. Buntut kasiran = medit
37. Bodo alewoh = bodo tapi teu daek tatanya
38. Bodo kawas kebo = bodo kacida
39. Beja mah beja = beja ulah waka dipercaya
40. Bancang pakewuh = pikasusaheun
41. Budak ker muejeuhna bilatung dulang = keur meujeuhna beuki dahar
42. Bulu kapaut = kabawa kubatur
43. Balabar kawat = beja nu seumebar
44. Beak dengkak = sagala ikhtiar geus diusahakeun tapi teu hasil bae
45. Batan kapok galah gawok = batan eureun kalah maceuh
46. Buruk-buruk papan jati = hade goreng dulur sorangan
47. Cueut kahareup = tereh maot
48. Deukeut-deukeut anak taleus = deukeut tapi taya nu nyahoeun
49. Disakompetdaunkeun = disamarutkeun
50. Dibejerbeaskeun = dijentrekeun, dieceskeun
51. Dog dog pangewong = acara panambah
52. Dibabuk lalaykeun = dibabuk kenca katuhu
53. Dagang oncom rancatan emas = teu saimbang
54. Dihin pinasti anyar pinanggih = papasten geus ditangtukeun ku gusti Alloh
55. Dug hulu pet nyawa = usaha satekah polah
56. Elmu ajug = bisa mapatahan batur, ari sorangan teu bisa ngamalkeun
57. Gantung denge = masih dedengeun
58. Ginding kekempis = ginding tapi sakuna kosong
59. Gede gunung pananggeuhan = boga andeleun pedah boga dulur beunghar
60. Garomengmengeun = taya kasabaran
61. Galehgeh gado = sagala dicaritakeun
62. Garo singsat = pagawean awewe dina aya ka teu panuju
63. Gurat batu = pageuh kana jangji atawa mawa karep sorangan
64. Goong saba karia = nonjolkeun maneh sangkan kapake ku dunungan
65. Goong nabeuh maneh = ngagulkeun diri sorangan
66. Getas hareupan = gancang napsu
67. Gindi pikir gelang bayah = goreng hate
68. Hampang birit = daekan kana gawe
69. Hamur congcot murah bacot = goreng carek tapi berehan
70. Heuras genggerong = omongana sugal
71. Hade gogog hade tagog = jalma sopan
72. Hutang salaput hulu = hutangna kaditu kadieu
73. Hurung nangtung siang leumpang = nu beunghar pangabogana dipake
74. Hejo tihang = sok pundah pindah gawean
75. Harigu manukeun = dadana nyohcor kahareup
76. Haripeut ku teuteureuyan = gancang kapincut kupangbibita
78. Mandap lanyap = omongana lemes tapi ngahina
79. Halodo sataun lintis ku hujan sapoe = kahaden mang taun-taun leungit kukagorengan sakali
80. Heureut pakeun = kurang kaboga
81. Hampang leungeun = gancang tunggal teunggel
82. Iwak nangtang sujen = ngadeukeutan pibahayaeun
83. Inggis batan maut hinis = paur pisan
84. Jalma atah warah = teu narima didikan sacukupna
85. Jati kasilih kujunti = pribumi kaelehkeun kusemah
86. Jauh-jauh panjang gagang = jauh-jauh teu beubeunangan
87. Kawas anjing tutung buntut = teu daek cicing
88. Kawas anjing kadempet lincar = gogorowokan menta tulung
89. Kawas bueuk meunang mabuk= ngeluk taya tangan pangawasa atawa jempe teu nyarita
90. Kokolot begog = budak pipilueun kana urusan kolot
91. Kurung batok = tara indit-inditan jauh
92. Kawas beusi atah beuleum = beungeutna beureum awaning ambek
93. Kawas nu dipupul bayu = leuleus taya tangan pangawasa
94. Kumaha geletuk batuna, kecebur caina = kumaha brehna
95. Kejot borosot = gampang nyokot kaputusan teu dipikir heula
96. Kabawa ku sakaba-kaba = kabawa ku nu teu puguh
97. Kahieuman bangkong = Jiga beunghar pedah katitipan barang batur
98. Katempuhan buntut maung = batur nu boga dosana urang nu katempuhanana
99. Kawas cai dina daun taleus = taya tapakna
100. Kawas jogjog mondok = teu daek repeh
101. Kelek jalan = deukeut tapi jalana taya nu lempeng
102. Kawas jaer kasaatan = teu daek cicing
103. Kawas gaang katincak = jempe
104. Kawas hayam panyambungan = lumbang limbung teu puguh
105. Kawas kuda leupas tina gedogan= ngarasa bebas
106. Kaciwit kulit kabawa daging = anak nu boga dosana kolot nu kababawa
107. Kandel kulit beungeut = euweuh kaera
108. Kujang dua pangadekna = pagawean nu maksudna dua cabak
109. Kokoro manggih mulud = makmak mekmek
110. Kawas kedok bakal = goreng patut pisan
111. Kaliung kasiput = loba baraya beunghar
112. Kawas kapuk kaibunan = leuleus taya tangan pangawasa
113. Kalapa bijil ti cungap = rusiah dicaritakeun kusorangan
114. Kawas kacang ninggang kajang = nyaritana capetang tur gancang
115. Kawas nyoso malarat rosa = malarat pisan
116. Kulak canggeum = milik nu geus ditangtukeun ku gusti Allah
117. Kembang buruan = budak nu keur resep ulin
118. Kawas leungeun palid = uyap ayap teu daek cicing
119. Kawas lauk asup kana bubu = hese rek kaluar
120. Kawas merak = beuki kana cengek
121. Kawas cucurut kaibunan = goreng patut pisan, kalimis
122. Kacai jadi saleuwi kadarat jadi salebak = sauyunan
123. Leuleus awak = daekan
124. Leuleus jeujeur liat tali = gede tinimbangan
125. Laer gado = kabitaan
126. Leutik-leutik ngagalatik = awakna leutik tapi gede kawani
127. Landung kandungan laer aisan = gede tinimbangan
128. Lalaki langit lalanang jagat = gagah perkasa
129. Lauk buruk milu mijah = marok-marokan maneh
130. Lesang kuras = teu bisa nyekel duit
131. Leumpeuh yuni = teu kuat nenjo nu cilaka
132. Lodong kososng ngelentrung = jalma loba ngomong pangartina kosong
133. Loba luang jeung dulang = loba pangaweruhna
134. Leutik ringkang gede dulang = manusa awakna leutik jiwana gede
135. Legok tapak genteng kadek = loba pangalaman
136. Meungpeun carang ku ayakan= api-api teu nyaho tapi nyaho
137. Murag bulu bitis = teu betah cicing di imah
138. Mindingan beungeut ku saweuy = ngarusiahkeun hiji perkara padahal batur geus nyahoeun
139. Miyuni kembang = loba nu mikaresep
140. Miyuni tai = loba nu mikangewa
141. Miyuni kohkol = nasibna diteungeulan bae batur
142. Monyet dibere sesengked = nu rek jahat dibere parabot
143. Mipit teu amit, ngala teu menta = cocorokot kana barang batur
144. Monyet ngagugulung kalapa = boga elmu teu nyaho maksudna
145. Mopo memeh nanggung = ngarasa hoream memeh digawe
146. Maut nyere kacongona = sangsara kakolotnakeun
147. Malengpeng pakel ku munding = migawe nu moal hasil
148. Nu asih dipulung seungit = kahadean dibales kahadean
149. Nete taraje nincak hambalan = tertib mapay ti handap
150. Nyeri beuheung sosonggeteun= ngalieukan nu rek datang
151. Ngajul bentang ku asiwung = pagawean nu moal aya hasilna
152. Ngabuntut bangkong = teu puguh tuluyna
153. Nyolong bade = bangun bageur tapi jahat
154. Nyeungeut damar disuhunan = barang bere hayang kapuji
155. Nyaah dulang = kabudak ngurus daharna wungkul,pendidikana teu dipirosea
156. Ngeplak jawer = taya wawanen
157. Ngadaun ngora = jadi rame
158. Nyoo gado = ngunghak
159. Nyalindung ka gelung = nu teu boga kawin ka awewe nu beunghar
160. Ngadu geulis = paalus-alus
161. Ngarep-ngarep kalangkang heulang = ngarep-ngarep rejeki bari teu usaha
162. Neundeun piheuleut = ngajak goreng
163. Ninggang kana kekecrek = nya goreng rupa nya goreng lampah
164. Ngalungkeun kuya ka leuwi = nitah balik ka lemburna
165. Ngawur kasintu nyieuhkeun hayam = ari kabatur bageur ari kadulur medit
166. Ngaboretekeun liang tai di pasar = nembongkeun wiwirang sorangan
167. Ngadeupaan lincar = api-api ngaliwat hayang diaku ngare-ngarep pamere
168. Nyiduh ka langit = sahandapeun mapatahan ka saluhureun
169. Ngeupeul ngahuapan maneh = ngaluskeun hiji perkara pikeun kauntungan pribadi
170. Nangkeup mawa eunyeuh = ditulungan akhirna nyilakakeun nunulungan
171. Ngadek saclekna nilas saplasna = nyarita sajalantrahna
172. Nyieun pucuk ti girang = miheulaan nyieun pipaseaeun
173. Ngageuingkeun macan turu = ngahudangkeun piambeukeun batur
174. Nulak cangkeng dina kelek = ngarasa luhur diri
175. Oray nyampeurkeun paneunggeul = nyampeurkeun pibahayaeun
176. Paanteur-anteur julang = silih anteurkeun
177. Panjang leungeun = daek puak paok
178. Panjang lengkah = jauh panyabaanana loba pangalamanana
179. Pindah pileumpangeun = robah adat
180. Paeh teu hos hirup teu neut = gering ngalanglayung
181. Pacikrak ngalawan merak = jalma hina ngalawan nu mulya
182. Piit ngeundeuk-ngeundeuk pasir = jalma lemah ngalawan nu kuat
183. Pupulur memeh mantun = menta buruhan memeh gawe
184. Puraga tamba kadenda = digawe tamba lumayan
185. Pagiri-giri calik pagirang-girang tampian = pakia-kia teu daek sauyunan
186. Rea ketan rea keton = taya kakurang
187. Silih jenggut jeung nu dugul = silih tulungan jeung nu teu boga
188. Saciduh metu saucap nyata = sakti ucapanana tara nyalahan
189. Sisit kadal = goreng milik
190. Sibanyo laleur = ngan saliwat geus beak deui
191. Saur manuk = ngajawab bareng
192. Sieun meubeut meulit = sieun kabawa
193. Teu gedag bulu salambar = taya kasieun
194. Titip diri sangsang badan = mihapekeun maneh
195. Teu beunang dikoet ku keked = medit pisan
196. Ti kikirik nepi ka jadi anjing = ti bubudak nepi ka sawawa
197. Ti ngongkoak nepi ka ngeungkueuk = ti ngora nepi ka kolot
198. Teng manuk teng anak merak kukuncungan = kalakuan kolot nurun ka anakna
199. Tuturut munding = sagala rupa nurutken batur
200. Wawuh munding = wawuh ngan saliwat
5.31.2009
Bagaimana Mencegah Hepatitis B
Virus Hepatitis B sangat mudah menyebar ke tubuh seseorang. Tapi dengan pencegahan secara dini, virus ini bisa dihindari. Bagaimana caranya?
Dr Poernomo Boedi Setiawan, mengungkapkan, bayi yang baru lahir atau orang yang berpotensi lebih besar tertular bisa meningkatkan antibodi dengan menyuntik imunisasi pasif dalam tubuhnya.
Hal itu bisa dilakukan kapan pun, segera setelah bayi lahir dari kandungan ibu, atau setelah melakukan kontak dengan pengidap hepatitis B positif.
Imunisasi pasif, dia menambahkan, akan bertahan dalam tubuh dan membentuk antibodi serta meningkatkan imun tubuh. Zat tersebut sangat berguna melawan virus hepatitis B karena virus hepatitis B akan mengganas dan menimbulkan penyakit hati saat respon imun dalam tubuh rendah.
"Bayi dan anak-anak sangat penting karena respon imun mereka masih rendah, berbeda dengan kaum dewasa," jelasnya.
Dr Poernomo mengatakan, virus hepatitis B pada bayi baru akan terdeteksi saat berusia 40-50 tahun, sehingga banyak pengidap hepatitis B yang meninggal pada usia tersebut. Kondisi itu sering menimbulkan persepsi, penyakit hati baru ada pada usia lanjut. Padahal, prosesnya sudah berlangsung sejak lahir.
Karena itulah, Anda perlu mendeteksi penyakit hepatitis B sejak dini sebelum muncul keluhan pada hati Anda.
Selain imunisasi aktif, Dr Poernomo menyarankan, pada usia produktif sebaiknya rutin mengecek darah minimal enam bulan sekali. Jika perlu, ultranografi dan imunisasi aktif untuk membentuk zat antibodi dalam tubuh Anda.
VIVAnews.com
Mengenal Ciri Penderita Hepatitis B
Penasaran dengan gejala orang yang mengidap hepatitis B? Biar jalas bagaimana cirinya, berikut daftar gejala yang sering dialami oleh 70 persen orang dewasa yang terinfeksi hepatitis B. Gejala tersebut baru muncul setelah seseorang terinfeksi hepatitis B.
- Kulit atau mata menguning, kondisi ini sering disebut penyakit kuning
- Mudah lelah dan capai
- Hilang nafsu makan dan mual
- Air seni berwarna gelap
- Demam
- Nyeri sendi
Dr Poernomo Boedi Setiawan, SpPD KGEH mengatakan, masa pasien dengan gejala seperti itu merupakan masa aktif penyakit hepatitis B. Pada masa tersebut, Anda sebaiknya masuk ke dalam taraf pengobatan intensif.
"Pengobatan dilakukan dengan menyuntik antivirus," jelas dia pada acara media briefing Indonesia Viral Hepatitis B di hotel JW Marriott, Jakarta.
Dr Poernomo menambahkan, antivirus bagi hepatitis B kini sudah makin mutakhir. Penelitian terbaru berhasil menyiptakan immuno modulator, yakni obat antivirus yang bisa merangsang imun tubuh, sehingga hasil antivirus bisa berguna melawan virus hepatitis B dalam tubuh yang belum terdeteksi. Sedangkan, antivirus yang sudah ada hanya berperan untuk melawan virus yang sudah ganas.
"Immuno modulator atau PEG Interferon Alfa-2a mampu merangsang kekebalan tubuh, sehingga kesembuhan klinis terus meningkat, bahkan setelah pasien tidak mengonsumsi obat tersebut," tuturnya.
Dia menambahkan, 12,2 persen pasien yang mengonsumsi PEG berhasil mencapai kesembuhan klinis berdasar penelitian pada jangka waktu lima tahun setelah terapi berakhir. Sedangkan, obat antivirus biasa hanya mencapai tingkat kesembuhan 3,5 persen.
Meski demikian, dia mengatakan, penyakit hepatitis B terus diteliti dan makin hari akan banyak terobosan baru bagi kesembuhan pengidap penyakit ini. "Yang terpenting, virus hepatitis B tidak bisa menjadi alasan untuk menolak status seseorang dalam kehidupan sosial. Karena, obatnya akan terus berkembang," kata Dr Poernomo.
VIVAnews.com
Pemerintah Akan Membangun Lembaga Riset Kelapa Sawit Berskala Besar
Indonesia merupakan produsen terbesar kelapa sawit. Untuk menghadapi persaingan industri kelapa sawit yang makin gencar sekarang ini, dalam waktu dekat pemerintah akan membangun Lembaga Riset dan Pengembangan Kelapa Sawit berskala besar. “Lembaga ini nantinya akan berstatus BUMN,”demikian diungkapkan Menteri Pertanian Anton Apriyantono seusai memimpin rapat Dewan Pengarah Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) yang didampingi oleh Dirjen Perkebunan Achmad Mangga Barani dan Ketua DMSI Franky Widjaja, di Jakarta, Rabu (6/5). Rapat ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan kelapa sawit, mulai dari pemerintah, pengusaha, sampai petani.
Melalui lembaga riset ini menurut Menteri Pertanian, pemerintah akan berupaya mengembangkan segala bentuk teknologi kelapa sawit mulai dari perbenihan hingga ke industri turunana minyak sawit (down stream industry). Sedangkan mengenai pengaturan soal substansi riset dan pengembangan menurut Menteri Pertanian akan digodok di dalam sebuah Konsorsium Sawit. Konsorsium ini terdiri dari berbagai unsur, seperti pemerintah, BUMN maupun swasta yang bergerak di bidang perkebunan sawit. Untuk mendukung konsorsium sawit ini pemerintah akan menyiapkan dana Rp. 3 miliar per tahun.
Lebih lanjut Menteri Pertanian juga mengungkapkan pembentukan lembaga baru ini tidak akan terlepas dari kerja sama antar pemangku kepentingan lewat Konsorsium Sawit. Kerja sama penelitian ini juga akan memfasilitasi pembangunan kebun plasma nutfah seluas 1.000 hektar di Sijunjung, Sumatera Barat. Dengan demikian nantinya lembaga riset ini akan ada dua yakni Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) milik pemerintah dan PT. LRPKS (Lembaga Riset Pengembangan Kelapa Sawit) yang berstatus BUMN. Kedua lembaga ini akan mengakomodasi kepentingan masing-masing. Apalagi Indonesia kini memiliki 7,1 juta hektar kebun kelapa sawit dengan produksi 19,2 juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO) tahun 2008. Pemerintah kini berkonsentrasi meningkatkan produktivitas tanaman untuk meraih produksi 40 juta ton CPO di tahun 2020.
Rencana penbentukan Lembaga riset ini juga mendapat dukungan dari kalangan swasta. Menurut Ketua DMSI, Franky Widjaja, lembaga riset dan pengembangan ini sangat penting untuk mendukung peningkatan produksi dalam negeri. Dengan begitu kata Franky Wijaya, kerja sama penelitian dan pengembangan kelapa sawit sangat penting untuk jangka panjang. Selanjutnya pemerintah bisa menikmati efek domino (multiplier effects) dari peningkatan kesejahteraan petani yang menghasilkan CPO lebih banyak. Untuk itu DMSI saat ini tengah memperjuangkan agar sebagian dana hasil bea keluar CPO dapat dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan tersebut.
Pengendalian Penyakit Layu Pada Tanaman Pisang
Pendahuluan
Penyakit layu pada tanaman pisang telah menjadi masalah nasional karena penyakit ini telah tersebar luas dan banyak merusak tanaman pisang di Indonesia dan belum berhasil dikendalikan. Penyakit layu ini disebabkan oleh: Cendawan Fusarium oxysporum if.sp. cubense; dan Bakteri Ralstonia solanacearum.
Gejala layu Ralstonia sp. pada daun
Sifat Patogen
Merupakan patogen tular tanah dan sanggup bertahan lama dalam tanah tanpa ada tanaman pisang. Sekali tanah terinfeksi oleh patogen ini, patogen dapat bertahan dan menjadi sumber inokulum/infeksi yang sukar dibersihkan.
Patogen dapat menyebar melalui bibit, alat-alat pertanian, tanah, angin yang menerbangkan tanah terinfeksi, serta terbawa melalui pengairan . Penyebaran patogen (layu bakteri) dapat juga melalui influorescens (bunga) yang ditularkan oleh serangga. Penularan oleh serangga menyebabkan penyakit tersebar dengan cepat terutama pada saat pembuahan.
Patogen ini memiliki kecepatan penyebaran yang tinggi. Sebagai patogen luka, akan sinergik menimbulkan layu jika ada seranagn nematoda.
Sangat dipengaruhi oleh tipe tanah. Layu fusarium akan berkembang pada tanah berpasir yang masam, dan kurang berkembang pada tanah yang liat dan alkalis. Sebaliknya, tanah yang liat dan alkalis akan sangat kondusif bagi layu lakteri (Ralstonia solanacearum).
Gejala layu Ralstonia sp. pada buah
Pengendalian
1. Cara Bercocok tanam
a. Penanaman bibit bebas penyakit (kultur jaringan atau anakan tanaman/rumpun sehat), serta tidak menenm bibit dari daerah terserang penyakit layu.
b. Pemupukan dengan pupuk organik (pupuk kandang atau pupuk kompos),
c. Menghindari terjadinya pelukaan akar saat pemeliharaan tanaman, pemindahan bibit, dan pembumbunan.
d. Pergiliran tanaman dengan tanaman yang tidak sefamili dengan pisang, misalnya jagung.
e. Pengapuran atau pemberian abu dapur jika pH tanah rendah (minimal 15 abu dapur jika pH tanah (minimal 15 hari sebelum tanam)
f. Santasi gulma
g. Tidak menanam tanaman inang lainnya, yaitu jenis Heliconia (pisang pisangan) dan Kanna (bunga tasbih)
h. Perbaikan drainase kebun
i. Memotong bunga jantan segera setelah sisir buah terakhir dbentuk
j. Pengerodongan bunga dan buah dengan plastik
k. Tanam Pindah cepat secara periodik (± 3 Tahun)
2. Cara Fisis/Mekanis
a. Memotong bunga jantan (jantung pisang) tanpa menggunakan alat (dengan tangan) segera setelah sisir buah terakhir terbentuk
b. Pembongkaran tanaman sakit kemudian membakarnya (jika memungkinkan)
c. Penggenaan, jika memungkinkan
3. Genetis
a. Penggunaan varietas tahan sesuai dengan kondisi setempat.
4. Biologis
a. Penggunaan agens antagonis (Gliocladium sp, Trichoderma sp.) dan Pseudomonas fluoressence, yang dicampur dengan pupuk organik.
5. Kimiawi
a. Alat-alat pertanian yang digunakan untuk memotong tanaman sakit dicuci bersih dengan sabun atau klorox 1% (misalnya Bayclin) dan dikeringkan di bawah sinar matarai.
b. Eradikasi tanaman sakit dengan menyuntikkan larutan herbisida 5-15 ml/tanaman atau dengan minyak tanah.
c. Benih pisang dicelupkan dalam larutan desinfektan (suci hama) sebelum ditanam.
6. Peraturan
a. Tidak membawa bibit (anakan) dari daerah serangan)
Gejala layu Fusarium sp. pada batang (penampang irisan)
Bertani “Nyeblok”
Bertani adalah suatu keniscayan bagi masyarakat ang tinggal di desa-desa. Begitu banyak kegiatan pertanian yang dilakukan petani dari mulai bertanam padi, jagung, palawija, singkong, pisang, nenas, karet, albasia, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu dibutuhkan oleh kita sebagai penikmat (konsumen).
Ditengah modernisasi yang semakin berkembang saat ini, ketika rasa kesetiakawanan semakin rendah dan masyarakat semakin bersikap individualistis, ternyata masih ada masyarakat kita yang masih memegang teguh ajaran nenek moyang tentang makna “hidup bersosial”. Ketika di daerah subang atau karawang, para petani I empunya sawah menyewa orang untuk mengerjakan pekerjaan disawah seperti tandur, ngoyos atau ngarambet, petani di kabupaten Lebak provinsi Banten justru saling membantu tanpa diminta. Pada saat salah satu petani terlihat akan mulai menanam padi, para tetangga pun berdatangan membantu menanam tanpa diminta dan dikomando. Begitu pula ketika saatnya ngoyos atau ngarambet, secara spontan tetangga itu pun turun ke sawah tanpa dibayar.
Pada waktu panen tiba, si empunya sawah mempersilahkan tetangga yang telah membantu tandur dan ngoyos tadi untuk ikut panen menikmati hasil keringat mereka. Karena pada waktu tandur dan ngoyos mereka tidak dibayar, maka pada saat panen inilah keringat mereka dibayar. Dari 5 bakul padi yang didapat, 4 bakul untuk si empunya sawah, 1 bakul untuk tetangga yang membantu itu, bahkan sering pula si empunya sawah memberikan lagi 1 bakul untuk mereka. Itulah yang disebut bertani “Nyeblok”.
Dengan sistem tersebut, ketahanan pangan masyarakat di desa itu dapat terjaga kuat karena rasa kesetiakawanan yang tinggi dan rasa saling membutuhkan satu sama lain. Untuk makan sehari-hari, masyarakat di desa tersebut tidak ada yang membeli beras di pasar, sebab masing-masing rumah memiliki lumbung padi sendiri-sendiri. Dengan adanya lumbung tersebut, kebutuhan makan mereka tercukupi hingga maa panen yang akan datang.
Namun, dengan gempuran arus modernisasi seperti sekarang, akankah sistem “Nyeblok” tersebut dapat bertahan? Ketika pemuda-pemuda desa lebih tertarik dan bangga bekerja di kota daripada menjadi petani, akankah kesetiakawanan seperti itu dapat terus terjaga?
Keterangan:
Tandur : Menanam padi
Ngoyos (ngarambet) : Membersihkan gulma
Bagan Warna Daun
Menghemat Penggunaan Pupuk N pada Padi Sawah
Hasil panen yang tinggi dapat diperoleh melalui pemupukan berimbang yang memperhatikan ketersediaan dan keseimbangan hara dalam tanah serta tingkat serapan hara sesuai kebutuhan tanaman. Pemakaian pupuk N yang kurang dari kebutuhan tanaman akanmemberikan hasil panen padi yang rendah atau tidak optimal, sebaliknya pemberian pupuk N secara berlebihan akan menyebabkan tanaman menjadi lebih rentan terhadap infeksi penyakit dan mudah rebah.
Bagan Warna Daun (BWD) dapat membantu petani untuk mengetahui apakah tanaman perlu segera diberi pupuk N atau tidak dan berapa takaran N yang perlu diberikan. Pemberian pupuk N berdasarkan pengukuran warna daun dengan BWD dapat menekan biaya pemakaian pupuk sebanyak 15-20 % dari takaran yang umum digunakan petani tanpa menurunkan hasil. BWD berbentuk persegi panjang dengan 4 kotak skala warna, mulai dari hijau muda hingga hijau tua.
Gambar 1. Bagan Warna Daun (BWD) tampak depan dengan 4 skala warna (atas) dan tampak belakang dengan petunjuk penggunaan (bawah).
BWD dan Tingkat Hasil
Penggunaan BWD berkaitan erat dengan berapa tingkat hasil tinggi yang biasa dicapai di suatu tempat. Pada umumnya tingkat hasil di musim kemarau berbeda dengan tingkat hasil dii musim hujan. Oleh karena itu tingkat hasil yang tercantum dalam Tabel 1 dan 2 bukan berarti hasil tertinggi yang ingin dicapai di semua tempat. Misalnya, di suatu tempat yang tingkat hasil tingginya 6 t/ha, pemberian urea melebihi takaran yang dianjurkan belum tentu dapat menaikkan hasil menjadi 7 atau 8 t/ha.
Takaran Pupuk N Sebagai Pupuk Dasar
Pada saat pemupukan dasar, BWD tidak diperlukan.
Berikan 50-75 Kg Urea/ha sebagai pupuk dasar atau pemupukan N pertama, sebelum tanaman berumur 14 HST.
Selain pupuk tunggal, pupuk majemuk juga dapat digunakan sebagai pupuk dasar.
Cara dan Waktu Penggunaan BWD
Cara Penggunaan BWD
1. Pilih secara acak 10 rumpun tanaman sehat pada hamparan yang seragam, lalu pilih daun teratas yang telah membuka penuh pada satu rumpun.
2. Letakkan bagian tengah daun di atas BWD (lihat gambar 2) dan bandingkan antara warna daun dengan warna panel. Jika warna daun berada diantara 2 skala, gunakan rata-ratanya, misalnya 3,5 untuk warna antara 3 dan 4.
Gambar 2. Pengukuran warna daun padi dengan BWD
3. Sewaktu mengukur warna daun dengan BWD, jangan menghadap sinar matahari, sebab pantulan sinar matahari dari daun padi dapat berpengaruh pada pengukuran warna daun.
4. Pilih waktu pembacaan daun pada pagi atau siang hari. Hindari menilai warna daun dengan BWD ditengah terik matahari.
5. Lakukan pengukuran pada waktu yang sama dan oleh orang yang sama.
6. Jika 6 atau lebih dari 10 daun yang diamati warnanya berada dalam batas kritis, yaitu di bawah skala 4, maka tanaman perlu segera diberi pupuk N susulan sesuai dengan tingkat hasil di tempat bersangkutan,
Waktu Penggunaan BWD
Pilih satu dari 2 waktu penggunaan berikut:
1. Berdasarkan waktu yang telah ditetapkan, biasanya berdasar pertumbuhan tanaman, yaitu saat pembentukan anakan aktif (21-28 HST) dan primordia (35-40 HST). Dengan cara ini hanya perlu dilakukan 2 kali pengukuran warna daun padi dengan BWD, karena pada pemupukan pertama tidak perlu digunakan BWD.
2. Berdasarkan kebutuhan riil tanaman, dengan membandingkan warna daun padi dengan skala BWD secara berkala, setiap 7-10 hari sejak 21 HST sampai 50 HST. Tanaman segera diberi pupuk N bila warna daun berada di bawah skala 4 BWD. Dengan cara ini petani perlu sering ke sawah untuk membandingkan warna daun padi dengan BWD.
Penentuan Takaran Pupuk N
Berdasarkan waktu yang telah ditetapkan
BWD hanya digunakan pada pemupukan ke 2 atau stadia anakan aktif (21-28 HST) dan pemupukan ke 3 atau primordia (35-40 HST) dengan membandingkan warna daun dengan skala BWD.
Bila warna daun berada pada skala 2 sampai 3, berikan 125 Kg Urea/ha kalau hasil yang biasa dicapai di tempat itu adalah 7 t/ha GKG. Berikan 75 Kg Urea/ha bila tingkat hasil adalah 5 t/ha GKG (perhatikan Tabel 1).
Bila warna daun berada antara skala 3 dan 4, berikan 100 Kg Urea/ha bila hasil yang biasa dicapai adalah 7 t/ha GKG. Cukup berikan 50 Kg Urea/ha bila tingkat hasil adalah 5 t/ha GKG.
Bila warna daun berada antara skala 4 dan 5, berikan 50 Kg Urea/ha bila hasil yang biasa dicapai adalah 7 t/ha GKG. Tanaman tidak perlu dipupuk N kalau bila tingkat hasil adalah 5-6 t/ha GKG.
Berdasarkan kebutuhan riil tanaman
1. Pengukuran warna daun padi dengan BWD dimulai pada 21-28 HST, dilanjutkan setiap 7-10 hari sekali sampai tnaman berumur 50 HST.
2. Apabila tingkat hasil di suatu tempat sebesar 7 t/ha GKG, takaran pupuk urea susulan yang diperlukan adalah 100 Kg/ha. Bila tingkat hasil adalah 5 t/ha GKG, cukup diberikan 50 Kg Urea/ha (lihat Tabel 2).
5.22.2009
Si Kukut
“Si Kukut”, begitulah kami menyebutnya. Dialah yang kini menemani saya ke tempat bekerja. Setap hari tiak kurang dari 100 km ditempuhnya mengantar saya pergi dan pulang bekerja. Sebutan “Si Kukut” terlontar karena usianya yang cukup tua dan yang pasti jenis dan modelnya sudah mendekati “kuno”, namun tetap dipelihara oleh Bapak saya. Kukut sendiri berasal dari bahasa sunda “dikukut” yang artinya “dipelihara”.
Sebelum saya gunakan, “Si Kukut” sebenarnya sudah berada di gudang selama hampir 2 tahun. Dia dibiarkan sendiri, sepi, berdebu, kedinginan, dan yang pasti pajaknya tidak dibayarkan. Kemudian, saya datang dengan kabar gembira dan langsung membawanya ke bengkel. Dua hari “Si Kukut” dibengkel, dibedah dan disatukan kembali kabel-kabel yang sempat putus, dan akhirnya dia bia kembali mengaum dan menggeram bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya.
Sembilan belas (19) tahun yang lalu, tepatnya tahun 1990, mertua saya (Bapak) membeli “Si Kukut” dengan hasil keringatnya mengajar di Sekolah Dasar. Selama 15 tahun, “Si Kukut” menemani Bapak dengan setia pergi dan pulang mengajar.
Setelah Bapak pensiun, “Si Kukut” dipergunakan oleh adik istri saya sebagai kendaraan operasional dari rumah ke toko dan sebaliknya. Karena tidak dirawat dengan semestinya, :Si Kukut” pun mulai “ngambek”. Lalu beralih kepemakaian ke tangan kakanya istri saya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah kabupaten lebak. Karena jarak dari rumah ke kantornya cukup jauh, maka diguakanlah “Si Kukut” sebagai kendaraan “dinas”. Ditangan beliau, keadaan “Si Kukut” sedikit lebih baik dari sebelumnya. Oli, busi, ban, dan accu lumayan diperhatikan.
Namun, badai sekali lagi datang menggulung kehidupan “Si Kukut”, kali ini kakak istri saya itu mendapat jatah motor dinas dari kantornya. “Si Kukut” pun mulai jarang diperhatikan dan yang pada akhirnya benar-benar ditelantarkan selama ua tahun di gudang yang pengap dan berdebu.
Kini, cerita bahagia dimulai lagi. Dengan semangat 45, “Si Kukut” menemani saya menempuh hari-hari penuh perjuangan mencari rejeki dan membangun negeri ini. Mudah-mudahan perjuangan “Si Kukut” mendapatkan balasan yang berlipat, amin…
5.05.2009
SINGKONG SEBAGAI SALAH SATU SUMBER BAHAN BAKAR NABATI (BBN)
A. Pendahuluan
Kenaikan harga minyak dunia memaksa pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Dengan meningkatnya harga BBM maka muncul kata baru Bahan Bakar Nabati (BBN). Berbeda dengan BBM dari fosil yang terbentuk dari tanaman dan hewan selama ratusan juta tahun,BBN lebih berbasiskan pada industri perkebunan dan pertanian.
BBN lebih menekankan pada budidaya energi (energy rarming). Energy farming lebih mengedepankan pengumpulan dan penyimpanan energi matahari yang dapat diperbaharui dengan sendirinya (self sustainable) dan tidak merusak lingkungan karena tidak menyebabkan polusi. Energy farming berpikir tentang membudidayakan energi melalui tumbuhan hijau sehingga dikenal sebagai energy hijau (Green energy).
Sebenarnya BBN bukan hal yang baru dalam kehidupan masyarakat hanya teknologinya yang berbeda. Salah satu contoh pemanfaatan BBN pada zaman purba yaitu dengan membakar biji jarak untuk penerangan. Saat ini dengan kemajuan IPTEK aplikasi BBN telah berubah lebih modern dan lebih populer dengan nama bioetanol dan biodiesel,keduanya disebut sebagai biofuel.
Penelitian dan pengembangan BBN telah dilakukan sejak adanya Kebijakan Umum Bidang energi (KUBE) pada tahun 1981. Salah satu wujud diversifikasi energi yang menonjol adalah penelitian dan pengembangan bioetanol. Penelitian bioetanol yang dirintis oleh Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) pada tahun 1983 berbahan dasar singkong.
Penelitian dan pengembangan biodiesel mulai dilakukan secra ekstensif pada tahun 1990 oleh Lembaga Minyak Dan Gas(Lemigas),Pusat Penelitian Kelapa Sawit dan lembaga-lembaga yang lain.
B.Peningkatan Produksi Singkong
Pada saat ini di berbagai daerah di Indonesia telah tersedia lahan yang cukup luas,tetapi sumber daya lahan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal karena kondisinya yang kritis. Kekritisan lahan ditandai dengan dengan terbatasnya suplai air dan kurangnya unsure hara tanaman.
Lahan-lahan kritis tersebut saat ini biasanya hanya ditanami dengan singkong tetapi singkong yang dihasilkan masih rendah. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan petani sehingga penanaman singkong tidak disertai teknik budidaya yang baik dan tanpa sentuhan teknologi. Sehingga tidak mengherankan jika banyak kemiskinan terjadi di lahan-lahan kritis. Sebenarnya lahan tersebut sangat berpotensi untuk ditanamai tanaman bahan baku BBN sehingga bisa dijadikan sumber pendapatan yang lumayan. Hanya saja diperlukan penerapan teknologi yang tepat dan penanganan yang intensif. Salah satu tanaman bahan baku BBN khususnya bioetanol yang bisa dikembangkan secara besar-besaran di lahan kritis adalah singkong.
Selain kondisi lahan yang kritis adanya degradasi lahan juga dapat menyebabkan penurunan hasil produksi singkong. Salah satu penyebab degradasi lahan yang cukup penting adalah penurunan kualitas fisik tanah,dalam hal ini adalah rusaknya struktur tanah. Kerusakan struktur tanah dimulai dari terbentuknya lapisan (seal) dan kerak (crust) dipermukaan tanah (surface sealing dan crusting). Keadaan tersebut dapat menyebabkan kesulitan perkecambahan biji,menghambat pertumbuhan tanaman dan pengurangan laju infiltrasi tanah. Penurunan laju infiltrasi tanah dapat mengurangi persediaan air dalam tanah,meningkatkan jumlah dan laju aliran permukaan serta meningkatkan bahaya erosi pada tanah.
Soil crusting merupakan lapisan tipis yang mengeras dipermukaan tanah dan biasanya banyak terjadi ditanah kering sedangkan soil sealing terjadi jika agregat-agregat yang hancur menjadi partikel-partikel yang lebih kecil masuk ke dalam pori tanah membentuk horizon tanah yang padat dan kemudian dapat menurunkan infiltrasi. Faktor penting yang dapat mempermudah terbentuknya sealing adalah tingginya kadar debu dan rendahnya kadar bahan organik tanah (Ramos et al 2000).
Bissonnais (1996) mengemukakan bahwa terbentuknya struktur crust pada permukaan tanah disebabkan energi kinetik hujan yang menimpa permukaan tanah dan terjadi pembasahan secara cepat yang menyebabkan slaking (perpecahan agregat) dan dispersi liat yang selanjutnya menutupi pori-pori tanah. Lapisan seal yang tipis berkembang dan setelah kering menjadi lapisan crust yang keras.
Terbentuknya crust dipermukaan tanah tergantung pada sifat dan proses pembentukan crust,pengaruh pengelolaan lahan dan tindakan pengelolaan untuk mengurangi degradasi struktur tanah. Kondisi struktur tanah cukup bervariasi tergantung pada jenis tanah,iklim dan pengelolaan lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara komplek dan selanjutnya akan mempengaruhi proses-proses fisik dan biologi dalam tanah untuk mengontrol struktur tanah.
Pengelolaan tanah yang dapat mempengaruhi pembentukan sealing dan crusting antara lain pengolahan tanah,sistem pertanaman dan penambahan bahan kimia ke dalam tanah. Ketiga faktor tersebut sulit untuk dipisahkan pengaruhnya karena dalam pelaksanaan dilapangan sering dilakukan secara bersama-sama (dilakukan secara kombinasi).
Pengaruh pengkerakan permukaan tanah pada pertumbuhan tanaman melalui berbagai cara antara lain (1) kerak dipermukaan tanah dapat menurunkan infiltrasi dan permeabilitas tanah dipermukaan. Hal ini dapat mengurangi imbibisi biji dan selanjutnya akan menghambat perkecambahan biji dan pertumbuhan tanaman. Kerak dipermukaan tanah juga dapat menghambat permeabilitas udara.(2) Dalam keadaan kering kerak dipermukaan tanah memiliki ketahanan penetrasi yang cukup tinggi sehingga dapat menghambat penyerapan hara dan selanjutnya akan berpengaruh pada produksi tanaman.
Upaya pengendalian crusting dapat dilakukan dengan pencegahan kerusakan struktur tanah dan perbaikan struktur tanah yang telah rusak. Pencegahan dan perbaikan kerusakan struktur tanah dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik dan melindungi permukaan tanah dari energi kinetik hujan dengan mengatur sistem pertanaman.
Penambahan bahan organik ke dalam tanah dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah sehingga dapat mengurangi surface sealing. Penambahan bahan organik dapat dilakukan dengan dengan pemberian pupuk kandang,pengembalian sisa tanaman maupun pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah.
Pengaturan sistem pertanaman meliputi pola tanam dan jenis tanaman yang diusahakan. Dengan mengatur pola tanam yang disesuaikan dengan distribusi hujan sepanjang tahun maka perlindungan terhadap permukaan tanah dapat terjadi secara terus menerus. Sehingga pada saat curah hujan tinggi tanah telah tertutup dengan vegetasi secara sempurna.
Perbaikan kondisi fisik tanah akibat berkurangnya crusting dapat meningkatkan produksi singkong sampai 30,92 ton/ha dibanding kontrol yang hanya 4,33 ton/ha (Therfaelder,2002)
Penanaman dan pemeliharaan singkong relatif mudah dan memiliki tingkat produksi yang sangat tinggi. Singkong mempunyai daya adaptasi yang cukup luas,mampu bertahan hidup di daerah-daerah yang cukup ekstrim dan umumnya beriklim tropis.Tanaman singkong termasuk jenis herba tahunan. Tingginya dapat mencapai 7 meter. Daunnya bertangkai panjang dengan bentuk menjari antara 5 – 9.
Singkong merupakan tanaman yang fleksibel karena dapat tumbuh dan berproduksi di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi,mulai dari ketinggian 10 – 1500 m dpl. Singkong juga cocok dikembangkan di lahan marginal,kurang subur dan kekurangan air. Lahan-lahan ini masih banyak tersedia terutama di luar pulau Jawa.
Singkong dalam pengembangannya selain sebagai tanaman pangan juga sebagai bahan baku bioetanol.Dalam budidaya singkong yang diambil adalah umbinya,sebagai bahan pangan umbi ini kaya akan karbohidrat tetapi miskin akan protein namun hal ini bisa dipenuhi dari daun singkong yang juga merupakan sumber protein cukup tinggi. Beberapa jenis singkong memiliki umbi yang beracun karena mengandung asam sianida. Saat ini singkong racun ini dianggap sebagai obat kanker.
C. Mengolah Singkong Menjadi Etanol
Sebagai bahan baku BBN singkong diolah menjadi bioetanol pengganti premium. Singkong merupakan salah satu sumber pati. Pati merupakan senyawa karbohidrat yang komplek. Sebelum difermentasi pati diubah menjadi glukosa,karbohidrat yang lebih sederhana. Dalam penguraian pati memerlukan bantuan cendawan Aspergillus sp. Cendawan ini akan menghasilkan enzim alfaamilase dan glikoamilase yang akan berperan dalam mengurai pati menjadi glukosa atau gula sederhana. Setelah menjadi gula baru difermentasi menjadi etanol.
Sebelum difermentasi menjadi etanol pati yang dihasilkan dari umbi singkong terlebih dahulu diubah menjadi glukosa dengan bantuan cendawan Aspergillus sp. Langkah – langkah dalam pembuatan bioetanol berbahan dasar singkong adalah :
1. Mengupas singkong segar,semua jenis dapat dimanfaatkan,kemudian membersihkan dan mencacah berukuran kecil.
2. Mengeringkan singkong yang telah dicacah hingga kadar air maksimal 16 % sama dengan singkong yang dibuat gaplek. Tujuan pengeringan ini untuk pengawetan sehungga produsen dapat menyimpan sebagai cadangan bahan baku.
3. Memasukkan 25 kg gaplek kedalam tangki berkapasitas 120 liter,kemudian menambahkan air hingga mencapai volume 100 liter dan memanaskan gaplek hingga suhu 100° C sam diaduk selama 30 menit sampai mengental menjadi bubur.
4. Memasukkan bubur gaplek kemudian memasukkan kedalam tangki skarifikasi. Skarifikasi merupakan proses penguraian pati menjadi glukosa. Setelah dingin memasukkan cendawan Aspergilus sp yang akan menguraikan pati menjadi glukosa. Untuk menguraikan 100 liter bubur pati singkong memerlukan 10 liter larutan cendawan Aspergillus atau 10 % dari total bubur. Konsentrasi cendawan mencapai 100 juta sel/ml. Sebelum digunakan cendawan dibenamkan ke dalam bubur gaplek yang telah dimasak agar adaptif dengan sifat kimia bubur gaplek. Cendawan berkembang biak dan bekerja mengurai pati.
5. Setelah dua jam bubur gaplek akan berubah menjadi 2 lapisan yaitu air dan endapan gula. Mengaduk kembali pati yang sudah berubah menjadi gula kemudian memasukkanya kedalam tangki fermentasi. Sebelum difermentasi kadar gula maksimum larutan pati adalah 17 – 18 % karena itu merupakan kadar gula yang cocok untuk hidup bakteri Saccaromyces dan bekerja untuk mengurai gula menjadi alcohol. Penambahan air dilakukan bila kadar gula terlalu tinggi dan sebaliknya jika kadar gula terlalu rendah perlu penambahan gula.
6. Menutup rapat tangki fermentasi untuk mencegah kontaminasi dan menjaga Saccharomyces agar bekerja lebih optimal. Fermentasi berlangsung anaerob atau tidak membutuhkan oksigen pada suhu 28° - 32° C.
7. Setelah 2 – 3 hari larutan pati berubah menjadi 3 lapisan yaitu lapisan terbawah berupa endapan protein,lapisan tengah air dan lapisan teratas etanol. Hasil fermentasi disebut bir yang mengandung 6 – 12 % etanol.
8. Menyedot larutan etanol dengan selang plastik melalui kertas saring berukuran 1 mikron untuk menyaring endapan protein.
9. Melakukan destilasi atau penyulingan untuk memisahkan etanol dari air dengan cara memanaskan pada suhu 78° C atau setara titik didih etanol sehinnga etanol akan menguap dan mengalirkannya melalui pipa yang terendam air sehingga terkondensasi dan kembali menjadi etanol cair.
10. Hasil penyulingan berupa 95% etanol dan tidak dapat larut dalam bensin. Agar larut diperlukan etanol dengan kadar 99% atau disebut etanol kering sehingga memerlukan destilasi absorbent. Destilasi absorbent dilakukan dengan cara etanol 95% dipanaskan dengan suhu 100° C sehingga etanol dan air akan menguap. Uap tersebut dilewatkan pipa yang dindingnya berlapis zeolit atau pati. Zeolit akan menyerap kadar air tersisa hingga hingga diperoleh etanol dengan kadar 99 %. Sepuluh liter etanol 99% membutuhkan 120 – 130 liter bir yang dihasilkan dari 25 kg gaplek.
Daftar Pustaka
Angers,D.A.1998. Water stable aggregation of Quebec silty clay soils,some factors controlling its dynamics. Soil Tillage Research.
Anonim. 1999. Pengembangan Usaha Agrobisnis Singkong.
Bresson,L.M.1995. A Review of Physical management for crusting control in Australian ropping systems research opportunities. Aust.J.Soil Res.
Chalifah A. 2007. Mengubah singkong menjadi bioetanol : Sebuah Upaya Meningkatkan Nilai Tambah Singkong di Kabupaten Gunung Kidul,Yogyakarta.
Le Bissonnais,Y.1996. Agregate stability and assessment of crustability and erodibity. Theory and methodology.Europ.J.Soil Sci.
Ramos,M.C.S Nacci. 2000. Soil sealing and its influence on erosion rates for some soils in the Mediterranean area. Soil sci.
Tatang, 2007. Mengebor Bensin di Ladang Singkong.
Tim Nasional Pengembangan BBN,2007. Bahan Bakar Nabati. Penebar Swadaya.Jakarta.
C Tri Kusumastuti JURUSAN ILMU-ILMU PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Singkong Bioetanol Inspirasi dari Mukibat
Tiga puluh lima tahun silam Gerard H de Bruyn, peneliti pertanian Belanda, terpesona dengan teknik mukibat. Penemuan Mukibat, pekebun asal Kediri, itu mendongkrak produksi singkong hingga 15-20 kg per tanaman. Sayang, teknik itu tak berkembang karena sulit diterapkan. Beruntung 23 tahun berselang, KH Abdul Jamil-kerabat Mukibat-menemukan varietas baru: darul hidayah. Di Malang, Jawa Timur, lahir pula singkong berkadar gula tinggi, 45%. Dua temuan itu menjadi harapan bioetanol di masa depan.
Nama Mukibat memang menjadi sumber inspirasi bagi pekebun dan peneliti ubikayu. Pria yang hidup pada 1903-1966 itu menyambung singkong biasa sebagai batang bawah dengan singkong karet sebagai batang atas. Hasilnya, panen singkong konsumsi yang lazimnya 3-5 kg per tanaman melonjak menjadi 3- 6 kali lipat. ‘Jadi sebetulnya selama ini salah kaprah. Mukibat menemukan teknik mendongkrak panen, bukan menemukan varietas baru hasil silangan,’ kata Kartika Noerwijati, peneliti ubikayu di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang.
Sayang, di lapangan teknik ala Mukibat sulit diterapkan. ‘Tak semua pekebun terampil menyambung. Apalagi untuk luasan 1 ha singkong yang mencapai 4.500-10.000 tanaman (tergantung jarak tanam, red),’ tutur Kartika. Penangkar yang siap memproduksi bibit pun langka karena harga jual bibit rendah, Rp500 per tanaman. Akibatnya, teknik ala Mukibat hanya menjadi legenda. Banyak disebut orang, tapi langka dipakai. Persepsi keliru pun berkembang, mukibat dianggap nama varietas yang telah punah.
Toh, peran Mukibat tak berarti nihil. ‘Ia menjadi sumber inspirasi pekebun lain,’ kata Kartika. Sebut saja di Tulangbawang, Lampung Utara. Sukses Mukibat memicu KH Abdul Jamil, pengasuh pondok pesantren Darul Hidayah, Tulangbawang, untuk mengeksplorasi ubikayu di hutan Panaraganjaya, Lampung Utara. ‘Ia masih kerabat Mukibat. Ia mengeksplorasi sambil berdzikir kyai pun menemukan singkong aneh berumbi besar,’ kata Niti Soedigdo, pekebun ubikayu di Lampung Timur, yang juga orang kepercayaan Abdul Jamil.
Semaian bijiSingkong berumbi besar itu lalu dikembangkan oleh Soedigdo. Ia memodifikasi teknik mukibat. Bila Mukibat menyambungkan singkong karet sebagai batang atas, maka cara Soedigdo sebaliknya. Ia menjadikan singkong karet sebagai batang bawah. ‘Di atas singkong karet, disambungkan singkong temuan Kyai yang berumbi besar,’ ujar Soedigdo. Pria kelahiran Lamongan 72 tahun silam itu menyambung 40 tanaman.
Dari 40 tanaman itulah, selama 1,5 tahun diperoleh 800 biji. Soedigdo menyeleksi biji unggul lalu menyemainya. ‘Hanya 480 yang layak semai,’ katanya. Tanaman dari semaian itulah yang menjadi cikal-bakal singkong darul hidayah. Pada umur 8 bulan per tanaman sanggup menghasilkan umbi di atas 10 kg. Umbi itu menjalar secara horizontal, bukan menembus secara vertikal. Karakter itu membuat panen darul hidayah relatif mudah. Pada umur 10- 12 bulan, mencapai 15 kg per tanaman.
Pada 1998, temuan Abdul Jamil dan Soedigdo itu menarik perhatian Dr Ir Koes Hartojo Hendroatmodjo dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Di tahun itu pula darul hidayah dilepas sebagai varietas unggul nasional. Dalam waktu 2 tahun singkong itu berkembang cepat hingga luasan 100 ha. Sayang, pada 2000 harga singkong terjun bebas dari Rp350 menjadi Rp70 per kg. ‘Harga itu tak mampu menutup biaya panen. Saya merugi hingga Rp0,5-M,’ kata Soedigdo. Nasib darul hidayah nyaris seperti mukibat.
Luka Soedigdo karena merugi dideranya selama 7 tahun. Hingga pada 2007 demam bioetanol menyerang Nusantara. ‘Tiba-tiba saja saya kebanjiran telepon. Mereka meminta bibit darul hidayah. Saya pontang-panting karena bibit tak tersedia,’ ujar ketua Gabungan Koperasi Pertanian Lampung itu. Ayah 2 putra itu harus mengumpulkan indukan yang tercerai berai. Maklum, dari 100 ha yang dikembangkan 7 tahun silam, hampir seluruhnya musnah dijarah. Yang tersisa hanyalah tanaman yang ditanam para tetangga di pekarangan. Ia menduga pasokan bibit untuk 100 ha-setara 450- ribu-1-juta tanaman baru tersedia 1-2 tahun ke depan.
Klon CMMYang juga pontang-panting gara-gara demam bioetanol tak hanya Niti Soedigdo. Di Malang, Dr Titik Sundari MS dan Ir Erliana Ginting MSc, peneliti ubikayu, pun dibuat repot. Bedanya, bila Soedigdo diserbu permintaan bibit karena singkongnya berproduksi tinggi, Titik Sundari lain lagi. Ia diberondong permintaan karena menemukan klon harapan ubikayu berkadar gula tinggi. ‘Ada 2 cara untuk memenuhi permintaan publik terhadap singkong sebagai bahan baku bioetanol. Mencari singkong berproduksi tinggi (seperti darul hidayah, red) dan mencari singkong dengan kadar gula tinggi. Apalagi bila keduanya genjah, sekitar 6 bulan,’ kata Prof Ir Nasir Saleh, koordinator penelitian umbi-umbian di Balitkabi, Malang.
Titik memilih cara yang kedua. Tujuh tahun silam-bersama tim pemulian di Balitkabi-ia menemukan klon CMM 99008-3. CMM diambil dari kata cross manihot malang alias silangan singkong malang. Klon itu istimewa karena berkadar gula 45%. Singkong biasa, 28%. ‘Pada singkong berkadar gula tinggi, jumlah bahan baku lebih sedikit. Biaya produksi bisa ditekan,’ kata Titik. Maklum, bioetanol berasal dari gula yang difermentasi menjadi alkohol. Sederhananya, produksi tinggi tak akan berarti bila kadar gula rendah, kurang dari 30%. Sayang, penelitian itu hanya dilakukan di lapangan belum diuji multilokasi.
Tengok saja hitung-hitungan ini. Untuk 1 liter bioetanol diperlukan singkong klon CMM 99008-3 sebanyak 4,23 kg. Bandingkan dengan varietas lain yang membutuhkan 8 kg. Artinya, dengan harga 1 kg singkong Rp350 di tingkat pekebun, hanya diperlukan bahan baku Rp1.500. Sementara dengan varietas lain dibutuhkan Rp2.800. ‘Bagi pengolah, dengan singkong berkadar gula tinggi, jauh lebih hemat dan menguntungkan,’ tutur Erliana. Lantaran itulah Erliana dan Titik terus meneliti singkong berkadar gula tinggi.
masjamal.blogdetik.com
2.27.2009
Tragedi Pendidikan Pertanian
Tidak ada yang mengejutkan saat melansir berita 2.894 dari 9.019 kursi kosong di 47 perguruan tinggi negeri adalah program studi pertanian dan peternakan.
Kekosongan merata di hampir semua perguruan tinggi yang membuka program studi pertanian. Bahkan, kekosongan kursi hingga 50 persen dari daya tampung. Ini bukan hal baru. Sudah lebih satu dasawarsa program studi pertanian sepi peminat.
Tutup
Yang paling mengejutkan, meski program studi pertanian kian sekarat, tidak satu pun muncul keprihatinan dari para pemangku kepentingan. Jangankan dari presiden, sang doktor pertanian dengan predikat excellent, para rektor, dekan atau pengamat pertanian tergerak. Jika prihatin saja tidak muncul, bagaimana mungkin berharap akan ada langkah nyata. Program studi pertanian kini benar-benar sekarat.
Saat ini ada 82 PTN dan 2.500-an PTS yang mengasuh 14.000-an program studi. Dari jumlah itu ada 60-an PT yang mengasuh bidang pertanian. Di sebagian kecil PT ternama jumlah peminat bidang pertanian tidak surut, tetapi di sebagian besar PT studi pertanian tak lagi jadi magnet. Data Depdiknas, rentang 2005-2006 ada 40 fakultas pertanian di seluruh Indonesia tutup karena tak ada peminat.
Keterpurukan studi pertanian hanya akibat sektor pertanian dimarjinalkan. Tidak hanya dukungan pendanaan dan kelembagaan, perhatian pun mengendur. Bahkan, lebih dari dua dasawarsa dikampanyekan segera meninggalkan pertanian, melompat ke industri dengan proyek industri mercusuar, footloose, kandungan impor tinggi, dan dibiayai dari utang luar negeri.
Karena industri tak berbasiskan resource based sektor pertanian menjadi marjinal. Maka, terjadi dualisme ekonomi: sistem tradisional yang padat tenaga kerja di pedesaan dengan koefisien teknis produksi dapat berubah dan sistem modern yang padat modal di perkotaan dengan koefisien teknis produksi tetap.
Dualisme ekonomi itu menciptakan wilayah pedesaan dan perkotaan bersifat tertutup satu sama lain. Pertumbuhan ekonomi dari sektor industri perkotaan tidak menetes ke wilayah pedesaan sehingga kesenjangan pendapatan antara kedua wilayah itu cenderung kian melebar.
Sektor pertanian akhirnya identik dengan gurem, udik, miskin, dan tidak menarik tenaga terdidik menekuninya. Masyarakat dan komunitas petani terancam lenyap. Kajian pedesaan selama 25 tahun (Collier dkk, 1996) menemui fakta getir: tenaga kerja muda di pedesaan amat langka, hanya tersisa pekerja tua renta dan lambat responsnya terhadap perubahan dan teknologi. Terjadilah gerontokrasi sektor pertanian. Jika studi pertanian kering peminat dan dilihat sebelah mata, kalah pamor dengan studi farmasi, teknik, komputer, manajemen dan akuntansi, itu semua hanya dampak ikutan.
Restrukturisasi
Dirjen Dikti menyodorkan solusi, studi pertanian direstrukturisasi menjadi dua. Studi agronomi, hortikultura, ilmu tanah, pemuliaan tanaman dan teknologi benih, arsitektur lanskap, hama dan penyakit tanaman masuk studi agroekoteknologi, sedangkan agribisnis, ekonomi pertanian dan sumber daya, gizi masyarakat dan sumber daya keluarga, dan komunikasi dan pengembangan masyarakat dilebur jadi studi agribisnis. Apakah ini solusi mujarab dan bukan sekadar kosmetik penarik minat?
Menurut evaluasi Dirjen Dikti, penguasaan ilmu mahasiswa S-1 pertanian terlalu spesifik, monodisiplin dan lebih berorientasi pada pendalaman ilmu. Dulu, perancang dunia pertanian berpikir sederhana. Menghadapi petani gurem dan kapasitasnya minim, pemikiran dibuat sederhana. Kini polarisasi baru dibuat antara pertanian berteknologi sederhana dan maju. Bahkan, karena desakan di luar pertanian, yang sederhana didorong maju, termasuk agroindustri. Desakan dari luar diupayakan dipenuhi kurikulum pendidikan tinggi pertanian. Sampailah pertanian yang berkaidah industrial dan bisnis.
Para dosen diberi kesempatan studi ke luar negeri. Mereka pulang membawa dimensi masing-masing untuk mengembangkan almamater. Sayang, jarang yang berpikir multidimensional. Hidroponik, aeroponik, kultur jaringan, sampai transgenik jadi bahan di kelas. Padahal, kondisi riil yang dihadapi adalah calon sarjana pertanian yang pertanian rakyatnya tetap gurem dan pendidikannya amat rendah.
Mestinya, hasil survei Subdirektorat Kurikulum dan Program Studi (2005) bisa jadi pemandu mencari jalan keluar. Survei itu menunjukkan, kompetensi minimal sarjana pertanian yang sesuai kebutuhan di lapangan pertanian adalah memiliki kompetensi umum di sektor pertanian, menguasai dan paham kearifan lokal (agar jadi pengembang wilayah), bisa memanfaatkan ICT, problem solver, punya jiwa wirausaha, memiliki pengetahuan bisnis, komunikatif dan kolaboratif, serta punya kemampuan superleader.
Jika kita berhasil merumuskan kurikulum studi pertanian, itu belum cukup tanpa perubahan cara pandang masyarakat atas sektor pertanian. Selama ada praanggapan yang salah, budaya tani harus dipermodern. Pola pikir ini memasung petani dan anak- anaknya. Dari segi pendidikan, anak-anak petani telah dididik untuk cita-cita di luar pertanian, yakni jadi salah satu faktor produksi bagi industri yang tak berbasis pertanian.
Khudori Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian
PERTANIAN ORGANIK; DALAM PERSPEKTIF SOSIAL, BUDAYA, DAN EKONOMI
Saat ini pertanian organik menjadi teknologi pertanian alternatif yang banyak diterapkan oleh petani. Istilah "organik" itu sendiri, di kalangan tertentu dimaksudkan untuk membedakan ciri antara pertanian dengan menggunakan asupan buatan secara kimia dan pertanian yang dibuat berdasarkan atas ketersediaan bahan di lokal tertentu. Dalam berbagai diskusi, terutama di kalangan Non Government Organization (NGO) sebagai fasilitator petani di tingkat grass root, penggunaan pilihan istilah tersebut masih beragam. Istilah lain yang sering dipergunakan ialah pertanian lestari, pertanian alami, pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), pertanian selaras alam dan LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture).
Reijntjes, et.al, (1992) mengatakan bahwa paling tidak ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam konsep pertanian berkelanjutan, (1) mantap secara ekologis, (2) bisa berlanjut secara ekonomi, (3) adil, (4) manusiawi, dan (5) luwes. Salah satu lembaga yang turut mempromosikan pertanian dengan asupan luar rendah adalah ILEIA (Information Centre for Low External Input And Sustainable Agriculture), sebuah lembaga informasi pertanian di Belanda sebagi pusat informasi dan promosi pertanian dengan asupan luar rendah dan berkelanjutan. Selain itu ILEIA juga memfasilitasi pengembangan pertanian di lokasi yang tidak sesuai untuk penggunaan asupan luar yang tinggi dan kepentingan memadukan LEISA dengan sumber-sumber dan pengetahuan lokal yang menggunakan asupan luar secara arif (Reijntjes, C, et al, 1999).
Namun dari berbagai istilah yang dipergunakan, setidaknya terdapat tiga muatan penting yang perlu ditekankan sebagai ciri yang mengikutinya, yaitu (1) basis pada sumberdaya lokal, (2) teknologi yang dipergunakan, dan (3) berkelanjutan. Ketiga hal tersebut merupakan buah refleksi atas pengalaman bertani pada masa lalu bahwa intervensi pemerintah pada sektor pertanian terlalu besar, dan petani hanya dijadikan obyek pembangunan saja sehingga petani tidak memiliki kreativitas untuk mengembangkan usaha taninya secara mandiri (Hamengku Buwono X, 2000).
Selain masalah peran petani di atas lahannya sendiri, kelemahan bertani pada masa lalu menimbulkan banyak persoalan antara lain masalah biaya operasional yang tinggi, degradasi lahan, hama yang tidak terkendali, berkurangnya kesempatan kerja perempuan, berkurangnya sumberdaya genetik dan varietas lokal, ketergantungan, dan kemiskinan di perdesaan (Maria Muris., et al, 2000; William Collier, et al, 1996; F. Rahardi, 2000; Francis Wahono, 1999; Kasumbogo Untung, 2000; Vandana Shiva, 1999; Hüsken. F, 1998). Meski demikian, beberapa penulis juga mengakui bahwa (1) introduksi berbagai varietas padi unggul berumur pendek, (2) supplai yang besar untuk pupuk yang disubsidi, (3) perbaikan dan penyempurnaan jaringan irigasi, dan (4) komitmen di semua lini birokrasi pemerintahan untuk menaikkan produksi padi mengakibatkan kenaikan produksi yang spektakuler (Fox, J.J, 1997), dan mengakibatkan Jawa Timur sebagai "rice basket" pada tahun 1980-an, dan menyebabkan propinsi Jawa Timur memberikan kontribusi terbesar dibandingkan propinsi lain di Jawa, yakni sebesar 20,1% dari total produksi nasional pada tahun 1986. Pada kisaran tahun yang sama, secara nasional produksi beras juga mengalami kenaikan yang cukup berarti. Namun Francis Wahono (1999) mengemukakan fakta yang lain bahwa import beras Indonesia benar-benar nol persen itu hanya terjadi pada tahun 1985 saja, setelah tahun 1990 impor beras nasional tidak pernah nol lagi.
Persoalan-persoalan pertanian pada masa lalu tersebut bisa dikatakan terjadi dalam seluruh lini proses bertani. Persoalan tersebut bukan lagi berada pada tataran bertani sebagai unit usaha, namun sudah meluas ke persoalan sosial, dan kebudayaan bertani itu sendiri. Maka dalam konteks persoalan pertanian secara keseluruhan, pertanian organik saat ini menjadi sebuah "solusi" terutama yang berkaitan dengan persoalan lingkungan dan sumberdaya pertanian, kultur bertani, keragaman hayati, independensi pelaku bertani, dan keadilan pasar (fair trade), seperti yang dinyatakan oleh Gunnar Rundgren (2001), presiden IFOAM tentang pertanian organik.
Karena keterbatasan literatur yang menampilkan data empiris mengenai pertanian organik di Indonesia, maka tulisan ini lebih banyak mengemukakan pertanian organik secara normatif dengan mengoptimalkan informasi yang ada. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan melihat pertanian organik secara holistik, akan tetapi mencoba "meraba" kekuatan pertanian organik dalam mengatasi persoalan di atas. Penulis mencoba mengkontekstualisasikan pertanian organik dalam situasi saat ini, di mana bangsa Indonesia mengalami krisis multi dimensi, dan bagaimana peluang pertanian organik dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya bertani.
Pertanian Organik sebagai Media Pendidikan Horisontal
Presiden IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement), Gunnar Rundgren, (2001) melaporkan bahwa terdapat banyak solusi yang ditawarkan melalui bertani secara organik. Salah satu yang penting untuk diberi highlighted adalah masalah peningkatan kapasitas organisasi tani.
Tabel 1. Beberapa kelebihan pertanian organik menurut IFOAM (2001)
Masalah yang dipecahkan
Solusi yang ditawarkan
Kesehatan yang diakibatkan oleh pestisida
Tidak menggunakan pestisida
Hormon antibiotik, dan sebagainya dalam hewan ternak yang berpotensi mengganggu kesehatan
Mengembangkan sistem ternak
Integrasi antara ternak dan tanaman
Memenuhi kebutuhan pengobatan penyakit ternak
Lingkungan akibat pestisida dan asupan kimiawi
Tanpa asupan kimia
Polusi karena kotoran ternak dan limbah organik
· Integrasi ternak dan tanaman
· Pengurangan kepadatan ternak/ternak memenuhi kebutuhan pangannya sendiri
Penurunan keragaman hayati lingkungan
Tanpa asupan kimia
Tanpa tanaman hasil rekayasa (GMO crops)
Diversifikasi produksi
Degradasi sosio kultural
Revitalisasi nilai lama dan pembentukan nilai baru
Pendapatan petani yang rendah
Mengurangi biaya produksi
Meningkatkan pendapatan
Diversifikasi pasar
Rendahnya efisiensi biaya untuk asupan
· Mengembangkan manajemen dan teknologi
· Efisiensi penggunaan sumberdaya lokal (pertanian) lebih tinggi
Urbanisasi yang mengakibatkan kemiskinan di desa dan kota
Meningkatkan pendapatan perdesaan, dan mengurangi aliran uang ke luar wilayah
Peningkatan kapasitas organisasi
Ancaman keamanan pangan
Peningkatan produksi
Ketersediaan asupan untuk produksi
Mengurangi ketergantungan asupan
Peningkatan pendapatan
Sabilitas produksi
Peningkatan keanekaragaman sumberdaya
Penggunaan sumberdaya lahan optimal
Sumber: http://www.IFOAM.org, diolah dengan berbagai penyesuaian
Bila diartikan secara lebih dalam, ungkapan peningkatan kapasitas organisasi tani mengandung muatan "pendidikan". Pendidikan yang terdapat di sini lebih ditekankan pada proses bernalar dengan pendekatan participatory action research, karena petani tidak punya sekolah dan guru, petani hanya memiliki fasilitator entah dari pemerintah, atau lembaga publik lainnya. Proses inilah yang memberikan jaminan akan partisipasi petani dalam bertani. Pengalaman empiris yang terjadi di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, diseminasi bertani secara organik lebih banyak dimulai di tingkat petani, sehingga bertani secara organik mempunyai arti sebagai media pendidikan horisontal, yang selama ini tidak diemban secara serius oleh organisasi tani "formal". Dalam hal ini sebenarnya dengan bertani secara organik yang berbasis pada konteksnya akan memberikan kontribusi pada pemberian peluang yang luas bagi petani untuk menjadi manusia cerdas (Diartoko, P, 2000), dan berdasarkan atas pengalaman pelaku petani di pegunungan kapur selatan Jawa Timur pertanian organik yang saat ini dijalankan merupakan kombinasi antara pertanian intuitif yang terwariskan secara turun temurun dengan nalar yang selalu diperbaharui menurut konteksnya. Dan inilah yang dimaksud oleh Gunnar Rundgren bahwa akan terjadi revitalisasi nilai lama dan pembentukan nilai baru dalam masyarakat petani.
Karena salah satu muatan pertanian organik adalah berbasis pada sumberdaya lokal seperti penggunaan dan pemeliharaan bibit lokal, pemanfaatan ulang sampah organik dan kotoran organik, maka nilai kearifan terhadap pengelolaan dan penataan sumberdaya dengan sendirinya akan didialogkan di tingkat horisontal menjadi point of view dalam bertani secara organik. Dengan sendirinya, peran pihak luar hanya diperlukan ketika petani memerlukan solusi khusus mengenai persoalan praktis di lapangan dan memfasilitasi hubungan keluar dengan pihak lain. Interaksi terus menerus yang menekankan pada proses mencari dan menemukan akan menjadikan pertanian di Indonesia maju, bukan dalam konsepsi Iptek dan konsepsi matematika, namun dalam konsepsi budaya (Sri-Edi Swasono, 2001).
Pertanian Organik, Lingkungan, Ketersediaan, dan Kecukupan Pangan
Dalam sejarah bertani seperti yang disebutkan Website of Indonesia Environment and Development (http://www.lablink.or.id), bahwa perkembangan pertanian dari zaman ke zaman banyak dipengaruhi pengetahuan lokal (indigenous knowledge). Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang berada dalam suatu masyarakat dimana selalu dikembangkan sepanjang waktu dan diteruskan untuk pembangunan yang bersifat berdasarkan atas pengalaman, selalu dikaji ulang penggunaannya, diadaptasikan dalam budaya dan lingkungan lokal, selalu berubah dan dinamis (http://www.panasia.org.sg). Pada konteks di atas, secara budaya[2], proses bertani organik adalah bertani yang bisa dikategorikan "masih konsisten" dalam keberlanjutan pertanian masa lalu. Artinya bahwa introduksi pertanian organik ditingkat petani akan mempengaruhi perubahan budaya yang dicirikan oleh perubahan nilai hidup komunitas. Perubahan budaya yang dimaksudkan di sini adalah perubahan yang lebih baik dan beradab selain menjawab isu-isu mendasar saat ini seperti demokrasi, gender, relasi patron-client, ketimpangan kepemilikan dan penggunaan sumberdaya.
Francis Wahono, seorang ekonom, dalam Wacana (2000) mengatakan bahwa masalah dalam kebertanian bukan semata-mata penataan lahan, produksi, dan distribusi. Tetapi kegiatan bertani adalah kegiatan yang melibatkan penataan dan pengolahan lahan, produksi dan distribusi, yang tidak hanya untuk memperbanyak makanan sehingga cukup sampai berkelimpahan, tetapi dengan bekerja demikian manusia akan semakin memaknai dan dihargai hidupnya. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa hal yang penting dalam bertani adalah faktor manusia, alam, dan teknologi [3]. Definisi yang diberikan di atas sebenarnya sudah bermuatan tujuan, dan secara argumentatif, tujuan berupa kemakmuran rakyat menurut batasan di atas, dalam konteks kini lebih ditekankan pada "kelangsungan hidup" rakyat, dimana istilah tersebut mengandung muatan kesadaran baru akan kelestarian lingkungan hidup, yaitu kelestarian terhadap hidup petani, keturunannya, alam dan isinya.
Salah satu kekuatan pertanian organik dengan muatan yang sudah didiskusikan di atas, adalah kekuatan dalam mempengaruhi cara berfikir dan sikap petani dalam memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdaya untuk produksi dan distribusi, mempertimbangkan kelangsungan hidupnya dan keturunannya. Pertimbangan memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdaya bukan lagi didasarkan oleh pertimbangan "praktis" mengenai harga dan ketersediaan barang di pasaran, akan tetapi justru akan memperluas cakrawala kreatif terhadap upaya memperpanjang siklus energi. Dengan demikian maka, dengan sendirinya kekhawatiran mengenai kelangkaan sumberdaya akan teratasi, dan petani tidak tercabut dari akar budayanya dalam kegiatan bertani.
Kembali pada kemakmuran rakyat sebagai tujuan dalam bertani, pengalaman petani di kabupaten Pacitan Jawa Timur menyebutkan bahwa penanaman padi cempo welut (salah satu jenis padi lokal) pada musim tanam yang lalu di atas lahan seluas 900m², dengan menggunakan pupuk kompos, pencegahan hama dengan gadung, dan benih sebanyak 25 beruk (sekitar 17,5kg) menghasilkan gabah kering sebanyak 450kg, hal ini berbeda sangat significant jika dibandingkan dengan pengalaman tanam pada masa lalu yang sarat dengan asupan dari luar baik pupuk maupun pestisida, bahwa dengan jumlah benih yang kurang lebih sama hanya menghasilkan gabah kering sekitar 200 hingga 250kg (Thukul, edisi 2, Maret 2001). Panenan yang diperoleh lalu dibagikan ke anggota dan non anggota kelompok tani dengan mekanisme "ijol"[4]. Mekanisme seperti ini adalah karya dari indigenous knowledge yang dimiliki petani, dipelihara dan dikembangkan secara terus menerus. Dari sisi kepentingan "lumbung benih" petani yang membagikan benih mencatat siapa saja yang menyimpan benih tersebut, dan demikian seterusnya. Dengan demikian jaminan akan ketersediaan benih yang beragam dan sesuai dengan tanahnya akan selalu menjadi bagian tanggungjawab komunitas (kolektif), seperti dalam penggunaan air. Dalam pertanian organik hal ini disebut sebagai lumbung benih komunitas yang hidup, karena bukan bersifat material seperti gudang untuk menempatkan gabah panenan, tetapi justru ditanam, dan ditanam kembali. Hal ini sebenarnya adalah usaha kolektif dalam proses stabilisasi strain (varietas) yang cocok dengan kondisi tanah setempat.
Keuntungannya selain diperoleh varietas yang "stabil" produksinya, juga varietas tersebut tidak akan punah karena kerusakan fisik, kimia, perubahan cuaca, atau kerusakan lain karena penanganan yang tidak sesuai. Dengan demikian maka pertanian organik dalam konteks lingkungan dan kemakmuran rakyat lebih berfungsi dalam membangun supporting system dalam memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdayanya. Dengan kemampuan manusia pelaku bertani, supporting system secara kolektif tersedia, maka lingkungan, keberlanjutan produksi, dan ketersediaan pangan akan terjaga. Dari sisi kecukupan pangan petani tidak akan kehilangan jenis dan jumlah pangan yang sehat.
Pertanian Organik dan Pendapatan Petani
Sebagai salah satu tumpuan hidup 44,97% penduduk Indonesia (Sakernas, 1998), pertanian justru memberikan kontribusi (17,3%) lebih rendah dari sektor industri (25,2%) (BPS, 1993). Terlepas dari persoalan penambahan tenaga kerja ke perdesaan, namun jua karena perhatian pemerintah dalam pemulihan ekonomi (economic recovery) hanya dikhususkan untuk sektor industri dan perbankan. Kalaupun ada, tidak seserius di sektor industri dan masih mengalami kendala perilaku birokrasi. Selain masalah ketertinggalan sektor pertanian sektor industri, hal ini menunjukkan pula bahwa sektor pertanian sebagai salah satu sektor perekonomian tidak mampu memberikan kehidupan (insentif) yang layak bagi penduduk yang bekerja pada sektor tersebut.
Hal ini diperkuat oleh studi yang dilakukan Collier (1996)[5], bahwa banyak buruh tani tuna kisma (landless) di Jawa mempunyai sumber-sumber pendapatan yang amat terbatas, dimana kecil peluang untuk mendapatkan pekerjaan di luar pertanian. Dan selama masa tersebut kemiskinan terdapat secara meluas baik di perdesaan maupun perkotaan di Jawa. Beberapa persoalan ini muncul akibat konversi lahan pertanian menjadi lahan industri, yang mengakibatkan penguasaan lahan pertanian menjadi lebih kecil (kurang dari 05 ha), dan penurunan nilai tukar petani.
Jika dirunut lebih jauh terdapat dua pertanyaan yang menjadi kunci dalam bertani, yaitu (1) persoalan lahan yang sempit dapat ditingkatkan produksinya, dan (2) masalah nilai tukar produk pertanian organik. Menghadapi persoalan yang begitu rumit di perdesaan, pertanian organik tidak mampu menjawab secara langsung saat ini. Akan tetapi sebagai sebuah peluang, pertanian organik tetap akan mempunyai peluang yang kuat dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga petani. Pengalaman bertani organik yang dilakukan sebuah NGO di Cisarua Bogor, menunjukkan bahwa pertanian organik mampu mengatasi persoalan lahan untuk produksi. Dari pengalaman tersebut dapat dikatakan bahwa pola bertanam yang multikultur dengan diversifikasi jenis dan pola tumpangsari bisa mengatasi hal ini. Khusus untuk sayuran, sangat memadai untuk dibudidayakan secara organik di lahan yang sempit, karena harga sayur relatif lebih baik sehingga penerimaan petani masih cukup untuk menutup biaya produksi.
Saat ini yang dapat dilakukan masih dalam taraf penghematan akibat pemanfaatan bahan sisa di komunitas petani. Bagi rumah tangga petani tambahan pendapatan masih disebabkan karena kenaikan harga produk pertanian organik karena pergeseran selera konsumen, terutama konsumen yang memiliki kesadaran akan makanan yang sehat. Pergeseran ini menyebabkan kenaikan permintaan akan produk organik. Beberapa pengalaman lapangan menyebutkan bahwa bagi petani yang belum mempunyai pasar khusus produk pertanian organik masih menggunakan acuan harga pasar umum yang belum menggunakan acuan kualifikasi produk yang ditawarkan. Artinya bahwa pertanian organik masih berada pada tataran upaya mengurangi cost untuk produksi, bukan dalam meningkatkan nilai tukar produk pertanian. Sedangkan mengenai nilai tukar produknya sendiri sangat ditentukan oleh pasar.
Beberapa hal yang paling tidak perlu dipersiapkan adalah peran pemerintah dalam menggairahkan produksi produk pertanian organik. Hal ini pernah dilakukan dalam program Jaringan Pengaman Sosial, yaitu PMT-AS (Pemberian Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah) untuk anak sekolah dasar. Sayangnya kegiatan tersebut tidak disertai dengan insentif yang memadai kepada petani sebagai penyedia bahan. Namun sebagai sebuah promosi, hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa peran pemerintah cukup baik dalam memberikan wacana baru tentang produk organik. Beberapa saat yang lalu, di sebuah media massa juga disebutkan sebuah NGO di Boyolali "membangun" pasar alternatif khusus untuk produk pertanian organik (termasuk juga warung organik SAHANI), dengan harga yang lebih tinggi daripada harga produk non pertanian organik. Pada sisi pendapatan petani, hal tersebut akan menjadi peluang yang baik, namun bagi masyarakat yang bekerja di luar sektor pertanian dan tinggal di perkotaan akan kesulitan membeli makanan yang sehat, karena makanan yang layak dan sehat baru dimiliki oleh masyarakat yang mampu secara ekonomi.
Penutup
Sebagai sebuah alternatif, pertanian organik tetap menarik untuk ditindak lanjuti, entah di lapangan atau dengan pengembangan riset di lembaga riset atau perguruan tinggi. Konsep yang ditawarkan menjawab persoalan sustainability dari pembangunan pertanian. Selain itu juga memberikan banyak manfaat bagi pelaku bertani mengenai lesson learned kebertaniannya melalui fasilitasi jaringan (networking) petani di tingkat horisontal. Selain berfungsi sebagai media untuk desiminasi, hal ini juga berperan dalam pendidikan orang dewasa agar petani juga mempunyai kesempatan untuk menjadi manusia cerdas. Pada sisi budaya, hal ini akan memberikan wacana dan proses kristalisasi nilai kebertanian yang selalu mendorong petani untuk mengalokasikan sumberdayanya secara arif. Pertanian organik akan berkembang dan meluas, maka tanpa mengabaikan pertimbangan mengenai pendapatan petani bagaimanakah peran-peran stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan) dalam memberikan dukungan pasca panen hingga pasar, sehingga pangan yang sehat akan menjadi hak dan dimiliki oleh semua.***
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS), Sakernas 1998, Jakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS), Laporan Perekonomian Indonesia 1993, Jakarta.
Collier, L.William, Santoso, Kabul., Soentoro, Wibowo, Rudi., 1996, Pendekatan Baru Dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa; Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Diartoko, Paulus, 2000, Pendidikan yang Partisipatif; artikel ilmiah yang disampaikan dalam lomba penulisan artikel ilmiah tentang Pendidikan Indonesia di Masa Depan dalam rangka Dies Universitas Negeri Yogyakarta.
Fox, JJ, 1997, Pembangunan yang Berimbang; Jawa Timur dalam Era Orde Baru, PT. Gramedia, Jakarta, halaman 167.
Francis Wahono, 2000. Menuju Penguatan Hak-hak Petani Melalui Gerakan Petani Organik. Dalam Wacana; Jurnal ilmu Sosial Transformatif VII, 2000, INSIST Press, Yogyakarta.
Francis, Wahono, 1999, Demokrasi Ekonomi; Agenda Pemerdekaan Indonesia Ke-2, Pidato Dies; disampaikan pada Dies Natalis XLIV Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Poerwanto, Hari, 2000. Kebudayaan dan Lingkungan; dalam Perspektif Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1985. Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara baru , Jakarta.
Hüsken, Frans, 1998, Masyarakat Desa Dalam Perubahan Zaman; Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, PT Gramedia, Jakarta.
IIRR, 2001, Indigenous Knowledge; What is Indigenous Knowledge?, Panasia: dalam http://www.panasia.org.sg/iirr/ik.htm.
Reijntjes, C, et.al, 1992, Pertanian Masa Depan; Pengantar Untuk pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah, ILEIA, edisi terjemahan: Y. Sukoco, SS, Kanisius, Yogyakarta.
Rundgren, Gunnar, 2001, Reasons and Arguments for Organic Agriculture, International Federation For Organig Agriculture Movement (IFOAM); Reports on Organic Agriculture Worldwide, http://www.ifoam.org.
Schumacher, E.F, 1973, Small is Beautiful; A Study of Economics as if People Mattered, london: Blond and Briggs.
Shiva, Vandana, 1999, Monocultures, Monopolies, Myths, and Masculinisation of Agriculture, Ecologia Politicacns-rivista telematica di politica e cultura, http://quipo.it/ecologiapolitica/web/1-2/articoli/shiva.htm.
Swasono, Sri-Edi, Arief, Sritua, Nurhadiantomo, Hatta, Mohamad, 2001, Ekonomi Kerakyatan, Muhammadiyah University Press, Suarkarta.
Thukul, edisi 2, Maret 2001, Melawan Kekerasan Dengan Cinta, Plan International Program Unit Pacitan-Kelompok Tani Pacitan, halaman 3.
-, 2001, Perkembangan Pertanian Dari Zaman ke Zaman, Website of Indonesia Environment and Development, http://www.lablink.or.id.
[1] Diajukan sebagai bahan tulisan untuk Seminar Mahasiswa, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada , Senin Kliwon, 9 April 2001.
[2] "Budaya" berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal) (Poerwanto, Hari, 2000. Kebudayaan dan Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, halaman 51. Lihat juga budaya menurut Koentjaraningrat (1985:180-181) bahwa budaya adalah …keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia sendiri dengan belajar".
[3] Menurut Francis Wahono, Menuju Penguatan Hak-hak Petani melalui Gerakan Petani Organik, dalam Wacana; edisi 5. Tahun II 2000, INSIST Press, halaman 129, bahwa istilah "manusia" dipilih daripada tenaga kerja karena kecenderungan ekonomi neo-klasik dan secara berseberangan Marxis/Leninis, mereduksi atau percaya manusia sebagai tenaga kerja sejajar dengan barang-barang komoditi. Sedangkan istilah "alam" lebih dipilih daripada 'tanah, bumi, sumber-sumber agraria'. Istilah "alam" meliputi ekosistem dan keanekaragaman hayati. Sedangkan "teknologi" yang dimaksud bukan saja mekanisasi, elektronikisasi, bio-teknologi, tetapi juga tecno-culture dan techno-socio. Singkat kata, teknologi adalah bagaimana manusia menyelenggarakan, mengolah, menyimpan, mendistribusikan, dan melestarikan sumber-sumberdaya alam, sehingga berguna bagi usaha menciptakan kemakmuran dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tentang hal ini, lihat juga Schumacher, E.F. 1973. Small is Beautiful; A Study of Economics as if People Mattered. London: Blond and Briggs.
[4] "Ijol" adalah proses pertukaran antar petani satu dengan petani lainnya. Mekanisme ini sudah ada secara turun temurun di tingkat komunitas petani di Pacitan. Mekanisme ini didsarkan atas kebutuhan bagi petani yang panen untuk mencukupi kebutuhan pangan (nasi) keluarganya, dan kebutuhan petani lain yang akan tanam karena butuh benih yang baik untuk ditanam di lahannya. Sedangkan jumlah yang dipertukarkan tergantung kesepakatan dari yang bertransaksi, ada kalanya dengan jumlah yang lebih sedikit, sama, atau lebih banyak.
[5] Secara lengkap dapat dilihat pada buku hasil studi William L. Collier, et.al, 1996, Pendekatan Baru Dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa; Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, halaman 1-2 dan 36-55.
diartokop.blogspot.com